Registrasi Ulang Kuliah

1190 Words
Dua minggu setelah pesta pertunangannya digelar, hari ini Ziel akan pergi ke salah satu universitas negeri di Jakarta, tempat ia mendaftar untuk melanjutkan pendidikan kuliahnya, setelah beberapa waktu lalu ia telah dinyatakan lolos dan diterima di universitas tersebut. Sejak pagi lelaki itu sudah bersiap dengan segalanya. Terutama penampilan yang menurutnya adalah yang paling utama. "Jam berapa kamu mau berangkat?" tanya Sita —sang ibu, ketika mereka tengah menikmati sarapan pagi. "Paling nanti jam 9-an atau jam 10, Bu!" "Enggak terlalu siang?" timpal sang Papa. "Ya .... Aku sih gimana si Evelyn, kalau sebelum jam 9 dia udah siap, ya kita berangkat." Tampak raut tidak suka dari wajah Ziel saat menyebut nama gadis tomboy itu. Sejak kemarin Ziel memang sudah kesal. Pasalnya, sang kakek memaksanya untuk mengajak Evelyn untuk registrasi ulang bersama. Ya, gadis itu pun akhirnya bisa lolos penerimaan mahasiswa baru di universitas yang sama dengan dirinya. Flashback On "Dia 'kan bisa berangkat sendiri, Kek!" protes Ziel ketika itu, yang sedang menikmati tontonan acara televisi bersama seluruh keluarganya. "Memang betul, tapi 'kan sekarang kamu tunangannya, jadi kalian sudah harus mulai membiasakan diri untuk kemana-mana bersama." "Gimana gua bisa bebas cari cewek kalo kaya gini!" lirih suara Ziel pada diri sendiri. "Kamu ngomong apa, Ziel?" tanya Tuan Rifki. "A-eh, enggak ada, Kek!" Gelagapan Ziel menjawab pertanyaan sang kakek. "Ya sudah, kamu hubungi Evelyn supaya besok berangkat bareng sama kamu." "Iya, Kek, nanti Ziel telepon si Evelyn." "Sekarang!" "Ya ampun, Kek! Apa bedanya sih, nanti atau sekarang? yang penting 'kan aku telepon." "Nanti kamu lupa," jawab Tuan Rifki enteng. Ziel segera merogoh kantung celana dan mengambil ponselnya di sana sembari cemberut. Disentuhnya layar dengan warna warni menyala. Ia scroll daftar kontak telepon dan mencari nama 'CEWEK BAR²', untuk dihubungi. "Hallo!" [Iya, hallo!] "Eh cewek, besok daftar kuliah, gua jemput ke rumah lo!" [Hah? Maksud lo apa sih?] Ponsel yang Ziel pegang tiba-tiba diambil paksa oleh sang kakek dan berpindah tangan. "Hallo, Evelyn! Ini Kakek." [Eh, hallo Kek. Apa kabar?] "Alhamdulillah, kabar Kakek baik. Kamu sendiri bagaimana, Nak?" [Kabar Evelyn juga baik, Kek. Tumben, ada apa Kakek telepon Evelyn?] "Sebelumnya, maafkan Ziel yah, Evelyn, kalau ia tadi berbicara kurang sopan." Dilihatnya sang cucu memutar bola matanya tak suka. [Oh, enggak apa-apa kok, Kek. Kami berdua memang sudah terbiasa bicara dengan gaya seperti itu di sekolah. Cuma tadi Evelyn enggak nangkep aja maksud kalimat Ziel apa.] "Nah, itu. Karena sikapnya dalam berbicara asal, jadinya apa yang akan dikatakan enggak tersampaikan dengan baik." Ziel semakin keki dengan kalimat yang terlontar dari mulut kakeknya. Sedangkan kedua orang tua dan neneknya —Nyonya Lingga, tampak tersenyum menahan tawa. [Iya, enggak apa-apa kok, Evelyn paham. Jadi, apa sebetulnya yang mau Ziel sampaikan tadi, Kek?] "Begini, besok 'kan kalian sudah harus registrasi ulang kuliah, nah, Kakek menyuruh Ziel untuk pergi bareng kamu." [Maksudnya?] "Iya, maksudnya kamu besok dijemput oleh Ziel untuk berangkat bareng ke kampus." [A-eh, Evelyn bisa berangkat sendiri kok, Kek. Ziel enggak usah repot-repot untuk jemput Evelyn ke rumah.] "Enggak repot. Ini memang sudah seharusnya, Evelyn. Kalian 'kan sudah tunangan, mulailah untuk selalu bersama." [E-eh, ya ... terserah kakek saja kalau begitu.] "Bagus. Ini kamu ngomong lagi sama Ziel." Tuan Rifki memberikan ponsel kepada pemiliknya. "Iya, hallo!" [Besok lo mau jemput gua jam berapa?] "Gua berangkat dari rumah jam 8. Gua harap pas gua sampai sana, lo udah siap, jadi kita bisa langsung jalan." [Ya udah, ok!] Ziel memutus sambungan teleponnya dengan Evelyn tanpa berbasa-basi. "Kamu tuh, masih saja berbicara seperti itu pada seorang gadis." Sang kakek terlihat menggelengkan kepalanya. Flashback Off "Kamu sudah hubungi Evelyn lagi?" tanya sang kakek. "Mau ngapain, Kek?" "Ya, kalau kamu jadi jemput dia." "Ah, enggak perlu 'lah, Kek. Cewek itu juga tahu kalau aku itu pasti nepatin janji karena ada peran Kakek dibelakang ini semua." "Maksud kamu apa, Ziel?" tanya Tuan Rifki. "E-eh, enggak ada maksud apa-apa. Kakek sensitif bener sih!" Ziel terlihat pura-pura mengalihkan pembicaraan. "Pah, kenapa sih aku harus ambil jurusan manajemen bisnis? Emang aku enggak boleh pilih fakultas atau jurusan lain?" tanya Ziel yang terlihat tidak bersemangat. "Kamu itu 'kan penerus Papa satu-satunya, Ziel. Kalau kamu enggak belajar ilmu bisnis dari sekarang, gimana nanti kamu bisa nerusin perusahaan yang udah Kakek kamu rintis dari dulu itu!" Azka menjelaskan kembali alasan dibalik pemilihan jurusan yang harus putranya ambil. "Sepertinya Ziel enggak punya alasan lain untuk menolak yah, Pah?" "Sebetulnya bisa saja, tapi apakah kamu sanggup seandainya tanpa memiliki ilmu yang cukup, kamu bisa menjalankan perusahaan dengan baik nantinya? Sedangkan para karyawan di perusahaan Papa saja, rata-rata mereka adalah lulusan sarjana dengan jurusan yang sesuai dengan bidang pekerjaannya masing-masing." Ziel mulai memikirkan rentetan kalimat yang Papanya ucapkan. Sungguh ia tidak keberatan jika nantinya akan dijadikan penerus bagi perusahaan keluarga, yang Kakeknya bangun sejak nol itu. Hanya saja, Ziel tidak suka dengan jurusan yang harus ia pilih. Sejatinya, sejak dulu ia sudah tertarik dengan jurusan pendidikan yang lain. "Kamu bisa ambil kuliah hukum, kalau sudah menyelesaikan ilmu manajemen terlebih dahulu. Toh, keduanya berkaitan cukup erat dalam kamu menjalankan suatu perusahaan." "Ok deh." Ziel terlihat pasrah. Setidaknya, sang Papa masih memberikan harapan baginya untuk belajar ilmu hukum sesuai keinginannya. "Ya sudah, aku berangkat sekarang yah. Udah cukup siang nih," ucap Ziel berpamitan sambil berdiri. Satu persatu telapak tangan seluruh keluarganya ia ciumi. "Lain kali Ziel minta Kakek enggak perlu ikut campur mengenai hubungan Ziel dan Evelyn," ujar Ziel ketika mencium tangan sang kakek. "Tenang saja, kakek akan berhenti ikut campur kalau misi Kakek sudah berhasil." "Misi? Misi mana maksud Kakek?" tanya Ziel dengan menyipitkan kedua matanya. "Misi menikahkan kamu dengan Evelyn 'lah, apa lagi?" jawab Tuan Rifki terkekeh. Ziel memilih untuk tidak mengomentari ucapan sang kakek, yang Ziel yakini bahwa ia tak akan menang melawan pria tua yang sangat dicintainya itu. Ia segera meninggalkan ruang makan dan bergegas menuju garasi dalam rumah, untuk mengambil motor sport-nya. *** "Selamat pagi, Tante!" sapa Ziel yang baru tiba di kediaman Narendra. Saat itu ia melihat Amelia —Bunda Evelyn, yang sepertinya baru mengantar sang suami —Dirga, berangkat kerja. Karena ketika Ziel akan memasuki gerbang kediaman Narendra, motor yang ia kendarai berpapasan dengan mobil milik Dirga —ayah Evelyn. "Eh, Ziel. Selamat pagi. Apa kabar?" Wanita itu membalas sapaan Ziel, "kok baru nongol lagi kemari! Ada apa nih?" tanya Amelia. "Kabar Ziel baik, Tante," jawab Ziel. "Ngomong-ngomong Evelyn-nya ada?" tanya Ziel balik. "Oh, ada. Kamu sudah ada janji sama Evelyn?" "Sudah, Tante." "Begitu. Ya sudah, ayo, masuk! Tante akan panggilkan Evelyn-nya dulu." Ziel memasuki kediaman Narendra untuk kesekian kali, sehingga sudah tidak asing lagi di matanya. Rumah bergaya modern klasik yang selalu terlihat asri bila memandang halaman luarnya itu, membuat Ziel merasakan sesuatu yang berbeda di hati dan pikirannya. "Kamu mau minum apa, Ziel?" "Oh, enggak perlu, Tante. Ziel cuma mau jemput Evelyn aja kok, enggak akan lama!" "Ya, tapi masa kamu enggak Tante ambilkan minum sama sekali." "Beneran kok, Tante. Ziel cuma sebentar aja, Tante enggak perlu report." Ziel bersikukuh tak ingin merepotkan Bunda Evelyn. Lagipula ia sedang tidak haus, jadi sangat mubazir jika sang calon ibu mertua repot-repot menyediakan air minum untuknya. "Iya, Mom. Kita udah mau jalan kok!" sebuah suara terdengar dari arah pintu penghubung antara ruang tamu dan ruangan lainnnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD