"Aku datang ke sini karena ingin tahu, apa yang kau lakukan di sekolah Nia dan Noah?" tanya Rie dengan nada sedikit kesal.
"Kau benar-benar tak ingin makan lagi?"
Rie memutar bola matanya jengah mendengar Isaac secara sengaja mengalihkan pertanyaannya.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Isaac Thunder."
Seperti tak mendengarkan ucapan wanita di hadapannya, Isaac bangkit lalu meletakkan punggung tangannya di kening Rie. Perbuatan itu tentu membuat Rie mematung sesaat.
"Masih sedikit hangat. Apa kau sudah minum obat?"
Melihat senyum yang sudah lama tak ia lihat, membuat Rie mau tak mau teringat akan masa lalu. Senyum sehangat matahari yang tak pernah membuatnya sampai berdebar dengan kencangnya. Namun...apa gunanya semua itu sekarang. Jika senyuman yang ia sukai itu malah akhirnya juga yang menoreh luka terlalu dalam.
Setelah sadar dari keterpakuan, Rie langsung menepis tangan Isaac seolah itu sangat mengganggunya.
"Jangan lakukan itu."
Mendengar ucapan sinisnya, Isaac kembali ke posisinya sambil tersenyum kecut.
"Langsung saja. Apa yang kau rencanakan?"
Mendengar pertanyaan itu, Isaac dengan spontan meletakkan kembali sendok makannya ke atas piring.
"Kenapa kembali muncul ke hadapanku?"
"Takdir," jawab Isaac lirih. "Ini semua karena takdir, Ari."
Rie yang mendengarkan hal itu dari mulut seorang pria yang pernah meninggalkannya tersebut hanya bisa tertawa miris. Hal itu disaksikan oleh Isaac yang akhirnya hanya bisa tertunduk, malu.
"Takdir? Gerak-gerik mu sama sekali tak memperlihatkan hal itu."
"Awalnya aku memang tak berpikir seperti itu. Tapi --'
Ingatan Isaac kembali pada saat ia masih di Singapura. Bagaimana James memberikan sebuah laporan yang membuatnya kembali bangkit dari keputusasaan.
"Anda bisa sembuh total jika menemukan donor sumsum tulang belakang yang cocok. Akan jauh lebih aman jika pendonor itu adalah anggota keluarga anda sendiri."
Isaac tersenyum meremehkan, "Mana mungkin saudara-saudara tiriku akan suka rela menjadi pendonorku? Mereka pasti menjadi garda terdepan mendoakanku kematianku," ucap Isaac putus asa.
"Anggota keluarga bukan berarti dari hubungan kakak beradik yang sedarah saja, tuan. Tapi juga dari keturunan anda sendiri."
Isaac tertawa, "Keturunan? Aku memang pernah tidur dengan beberapa wanita tapi aku yakin selalu berhati-hati."
"Termasuk dengan nona Ari? Mantan kekasih anda?"
Wajah Isaac berubah merah. Entah bagaimana ketika nama wanita itu disebut, ada kupu-kupu yang menggelitik perutnya hingga ia bisa mengingat semua bagaimana mereka pernah memadu kasih.
Berkeringat bersama untuk mencapai sensasi membara anak muda saat itu. Seolah waktu tak akan pernah berhenti meninggalkan luka, mereka terbakar dalam api cinta.
Hanya pada wanita itu, Isaac benar-benar menikmati apa itu cinta. Hingga ia tak tahu harus bagaimana melupakan dan mengobati luka darinya.
"Tentu."
"Untuk itu saya menganalisa hal ini. Apa anda yakin anak-anak itu adalah anak nona Rie dari pernikahannya yang sekarang?"
Isaac menoleh,"Itu mungkin saja kan?"
"Tapi nyatanya nona Rie belum pernah mendaftarkan pernikahannya dengan siapapun."
Isaac spontan terduduk hingga ia harus merasakan sakit di punggung tangannya yang tengah di infus. Akibatnya, aliran darah naik ke selangnya. James lantas bergegas membereskan hal itu lalu kembali berbincang dengan tuannya yang masih mencerna semua berita yang ia sampaikan tadi.
"Jadi maksudmu.....Rie bisa saja hamil dan melahirkan anak-anakku?"
"Ya. Jika kita bisa memastikannya dan benar mereka adalah anak-anak anda, maka anda bisa saja sembuh.
Kembali ke masa kini, Isaac dengan kesadaran penuh menatap mata sayu Rie yang ada di hadapannya itu. Melanjutkan ucapannya yang sempat tertunda.
"-- tapi aku mulai mencari semua alasan mengapa kita berpisah. Aku ingin dengar semua penjelasan darimu," ungkapnya.
"Apa untungnya bagimu sekarang? Semuanya sudah berlalu dan aku sudah melupakan semuanya."
"Penting bagiku karena aku pernah berusaha untuk mencarimu. Aku pernah percaya bahwa apa yang kudengar tentangmu waktu itu semuanya tidak benar. "
"Lalu kau menyerah?"
Isaac terdiam sesaat sambil mencari alasan yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Namun yang ia lakukan justru hanya diam seribu bahasa hingga Rie tak bisa menyembunyikan kekecewaannya tersebut.
"Lalu bagaimana denganmu? Apa alasan sebenarnya kau meninggalkanku?"
Berbalik Rie lah yang terdiam. Lewat tatapan tajam Isaac yang seperti menyedot semua perhatiannya, Rie seperti bertekuk lutut di hadapan pria itu.
"Aku --"
"Kau bisa mengatakan apapun padaku sekarang. Aku ingin dengar semua dan menjelaskannya padamu."
"Tapi aku sudah tak butuh alasan itu lagi. Aku ingin hidup tenang seperti sebelumnya," jawab Rie mantap. "Jadi please...jangan pernah muncul di hadapanku lagi."
Tanpa menunggu jawaban dari Isaac lagi, Rie pun mengambil kesempatan itu untuk kabur. Rie meninggalkan Isaac yang masih terpaku di tempatnya. Melihat punggung Rie yang kian menjauh, Isaac pun bergegas menyusul namun terhalangi kewajibannya untuk membayar semua makanan yang telah ia pesan. Beberapa menit menyelesaikan p********n, Isaac keluar kafe sambil terus merutuki kebodohannya sendiri. Pria itu sekarang harus berlari ke sana kemari untuk mencari keberadaan Rie yang telah meninggalkannya. Dan sialnya, ia tak menemukan Rie di manapun meski ia sudah mencari wanita itu ke mana-mana.
Ternyata Rie bersembunyi tak jauh dari kafe. Ia bersembunyi sebaik mungkin seperti yang selama ini ia lakukan. Dari kejauhan, Rie bisa melihat raut kekhawatiran Isaac yang tengah mencarinya tersebut. Dan di satu momen, Rie menatap punggung pria itu seperti saat pertama kali ia melihatnya.
Punggung lebar yang entah bagaimana menariknya untuk mendekat. Mereka tak saling kenal, namun bisa sedekat itu. Rie sendiri yang terus berkata bahwa punggung Isaac bagai magnet yang membuat siapapun ingin memeluknya. Seperti ada rasa resah dan gelisah dari punggung lebar seorang pria yang terlihat kuat dari luarnya itu.
"Apa kau tidak apa-apa?" tanya Rie saat itu.
Sebuah luka tampak serius dialami oleh Isaac yang baru saja terjatuh dari sepedanya. Isaac hanya diam sambil mengamati Rie yang datang dengannya mengenakan payung kuning. Mata keduanya saling bertemu sesaat, lalu beralih ketika Rie mulai berbicara lebih dulu padanya.
"Kau terluka. Apa terasa sangat sakit?"
Isaac menangis tanpa sadar, "Iya. Ini sakit sekali."
"Di seberang jalan sana ada sebuah klinik. Cepatlah ke sana dan obati lukamu --"
"Bukan tanganku yang sakit," ucap Isaac sambil menunjukkan pergelangan tangannya yang mengeluarkan banyak cukup darah. Mendengar ucapan pria itu, Rie seperti menyadari maksudnya.
Rie mengangkat tangan kirinya ke wajah Isaac yang tengah menangis. Ia sengaja berdiri di sana untuk menutupi wajah Isaac dari siapapun yang tengah melewati mereka. Isaac tertegun. Ia tak menyangka akan dilindungi oleh gadis mungil yang ada di hadapannya itu. Tangisannya langsung mereda begitu ia mendapatkan perhatian seperti itu. Lebih tepatnya, Isaac langsung berdebar ketika mendapatkan perhatian itu.
Saat itulah mereka saling jatuh hati.
Di satu sisi, Isaac sudah kelelahan. Ia lupa akan obatnya. Di tengah terik matahari, Isaac harus berkutat dengan rasa sakit dan dehidrasi yang membuatnya ingin pingsan. Matanya mulai mengabur dan jalannya sedikit sempoyongan. Isaac berusaha mencapai ke parkiran, namun tungkai kakinya seperti tak bisa diajak bekerja sama.
Mendengar suara dentuman keras ke tanah, Rie yang bermaksud melarikan diri dari arah lain, tiba-tiba balik badan. Ia khawatir suara jatuh itu asalnya dari Isaac. Dan benar saja, Isaac tergeletak di pinggir jalan tanpa ada orang yang melihatnya. Tanpa banyak berpikir, Rie langsung menghampiri sambil berderai air mata tanpa ia sadari entah kapan ia kembali menangisi pria yang pernah ia miliki itu.
"Isaac! Bangun! Isaac!"