Instalasi gawat darurat terlihat cukup sibuk sore ini. Para medis terlihat berlalu lalang menangani para pasien yang datang dengan berbagai macam keluhan dan penyakit yang mereka bawa. Dan salah satu di antara mereka adalah Rie dan Isaac yang dibawa ke ruangan tersebut karena belum juga sadar dari pingsannya.
Sudah hampir sejam lebih ia berada di sana menemani. Dan rasa gelisah sempat menyelimutinya sesaat. Meski masih ada rasa kesal dan marah di hatinya, Rie tetap saja tak bisa mengabaikan situasi ini. Apalagi Isaac juga bukan orang asing baginya.
"Apa yang terjadi padamu?" ucap Rie dalam hati sambil mengamati wajah Isaac yang tadi sempat pucat pasih.
"Apa kau sakit? Waktu itu kau juga sempat mimisan."
Kali ini Rie tak hanya sekedar bermonolog dalam hati, namun ia juga memeriksa Isaac dengan seksama. Keringat dingin mengalir di wajah pria itu. Rie mencoba menyekanya dengan sapu tangan yang ia punya. Namun gerakan tangannya terhenti ketika Rie mengingat semua lagi kemarahan yang ia tuju untuk pria yang tengah terbaring di hadapannya itu.
Untungnya, suasana canggung itu tak dilihat oleh siapapun kecuali James. Asisten pribadi Isaac itu tampak mengawasi dari kejauhan. Setelah mendapatkan panggilan darurat dari Rie beberapa jam yang lalu, ia segera bergegas ke rumah sakit di mana tuannya dirawat. Dan sesuai instruksi, siapapun tak boleh mengetahui penyakit tuannya. Setelah mendapatkan perawatan, dengan cepat James meminta bantuan para medis untuk tidak menjelaskan lebih rinci penyakit tuannya itu. Apalagi saat ini, ada nona Rie yang pastinya tak boleh mengetahui apapun tentang rencananya dan Isaac.
Dokter yang menangani Isaac pun melakukan pemeriksaan. Rie dengan cepat bangkit dari kursinya untuk memberikan ruang kepada dokter dan perawatnya untuk memeriksa kondisi Isaac yang sampai saat ini masih tertidur. Setelah dilakukan pemeriksaan, barulah Rie memberanikan diri untuk bertanya. Di dampingi James yang datang setelah tadi permisi kepada Rie untuk pulang membawa beberapa barang yang diperlukan jika tuannya terpaksa harus dirawat inap.
"Bagaimana kondisinya, dok?"
"Uhm...ini faktor kelelahan saja. Setelah ia tidur cukup, kesehatannya akan pulih kembali."
Rie sempat bernapas lega. Namun tetap saja ia masih merasa ada yang ganjil dari kondisi kesehatan mantan kekasihnya itu.
"Tapi beberapa hari yang lalu ia juga mimisan. Kali ini juga sama. Apa itu biasa terjadi?"
James diam-diam memperhatikan dengan seksama raut wajah Rie yang tampak khawatir. Setelahnya, tanpa diketahui oleh wanita itu, James mengangguk tanda puas hati.
"Ya...itu biasa terjadi. Kami akan melakukan pemeriksaan menyeluruh jika pasien bangun nanti. Kabari kami jika beliau sudah sadar," pinta sang dokter sambil melirik ke arah James. Keduanya saling berdeham lalu berpisah ketika dokter jaga tersebut pamit dari ruangan.
Rie masih termenung di tempatnya. Ia juga sesekali mengamati jam dinding yang terus bergerak maju. Setelah James kembali ke tempatnya setelah mengantarkan dokter keluar dari ruangan, Rie langsung berhadapan dengan James untuk menyampaikan sesuatu.
"Uhm tuan James --"
"Nona Rie, bisakah saya meminta bantuan anda untuk berada di sini menem tuan hingga sadar? Karena saya memiliki pekerjaan penting untuk diselesaikan," ungkap James tanpa memberikan kesempatan pada Rie untuk menyampaikan juga keinginannya.
"Tapi aku juga punya urusan," ucap Rie bimbang. Ia juga sempat melirik ke arah Isaac yang masih tenang dalam tidurnya. Rasa iba kembali merasuk batinnya. Ia juga mempertimbangkan bahwa urusannya mungkin tak terlalu penting. Justru jika diungkapkan secara gamblang, malah terkesan ia hanya ingin menghindari Isaac saja.
"Anda bisa membantu saya sedikit lebih lama? Saya janji akan segera kembali setelah menyelesaikan tugas ini."
"Apa keluarga Isaac tak ada yang bisa menjaganya?" tanya Rie dengan nada rendah.
James mendengar hal itu dan mulai sedikit beraut wajah sedih, "Seperti yang anda tahu...hubungan keluarga mereka sedikit rumit. Tuan bahkan sudah lama tak berkunjung ke rumah ibunya. Ia juga tak pernah mau bertemu dengan saudara-saudara tiri atau kandungnya. Tuan terlalu sibuk untuk menghandle perusahaan hingga ia harus kelelahan seperti ini."
"Dia memang orang yang ambisius. Karena itulah ia bisa berada di titik ini."
"Nona dan tuan Isaac tampaknya saling memahami satu sama lain, ya?" goda James yang sama sekali tak membuat Rie tersipu. Wanita itu bahkan harus menatap sinis ke arah James yang menurutnya telah asal bicara.
"Jadi kau sudah tahu semuanya?"
"Bahwa anda dan tuan Isaac dulunya pernah bersama?" tanya James yang tentunya hal itu hanyalah pertanyaan pura-pura.
Rie mengangguk dengan sedikit keraguan dalam hatinya. Meski begitu, James tak membutuhkan pernyataan itu karena ia tentunya sudah tahu jawabnya.
Tak lama, ponsel James berbunyi. Dan James terus berbicara dalam berbagai bahasa untuk membalasnya. Melihat kesibukan James tersebut, Rie menghela napas panjang hingga ia pun kembali duduk di kursi penjaga pasien.
"Pergilah. Aku akan di sini sampai anda kembali. Atau sampai Isaac terbangun nanti."
Mendengar ucapan Rie barusan, James langsung berterima kasih dan bergegas mengejar ketertinggalannya. Dan sekali lagi, rencananya benar-benar berjalan dengan baik.
"Sepertinya aku harus menghubungi Jinny dan juga pengurus panti lain kalau aku akan datang terlambat," monolognya.
Ketika memainkan ponselnya untuk memberikan pesan demikian, Rie lagi-lagi memperhatikan Isaac diam-diam. Tampak Isaac masih berkeringat dingin dan belum sadarkan diri. Rie yang selesai memberi kabar itupun segera mengulang kembali niatnya yang tadi sempat tertunda. Yaitu menyeka keringat dingin yang ada di wajah Isaac tersebut. Dengan perlahan namun pasti, ia pun akhirnya berhasil menyelesaikannya tanpa harus membuat Isaac terganggu.
"Aku belum pernah melihatmu tertidur begitu lama seperti ini. Apa kau benar-benar hanya kelelahan?"
Tanpa sadar, jari mungil Rie mendarat di atas rambut Isaac yang menutupi matanya itu. Rie menggesernya agar bisa menatap dengan lekat wajah Isaac yang menurutnya sama sekali tak berubah sejak delapan tahun yang lalu itu. Setelah puas memandang, Rie kembali duduk di tempatnya. Dengan punggung tangannya, Rie menutupi setengah wajahnya yang memerah. Bukan hanya sekedar menutupi rasa malu yang tersampir di wajahnya, ia juga menutupi tetesan air matanya yang tiba-tiba meluncur jatuh.
"Kau benar-benar membuatku bingung," ucapnya dalam hati.
"Kemunculanmu kembali seperti memberi sinyal padaku bahwa aku harus menghindarimu. Tapi di satu sisi....aku juga bahagia bisa melihatmu kembali," ungkapnya lagi dalam hati.
Isaac mulai bergerak gelisah dari tempat tidurnya. Setelah ia yakin bahwa kesadarannya telah kembali, samar-samar Isaac mendengar suara wanita yang ada di sampingnya itu.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan? Apa semua ini untuk menebus rasa bersalahmu?"
Isaac masih berpura-pura tidur untuk mendengarkan semua.
"Aku masih ragu dengan apa yang kau lakukan. Tapi....aku juga tak ingin melihatmu menutup mata begitu lama seperti ini --"
Dengan spontan Isaac menoleh sambil membuka matanya. Tepat berada di hadapan Rie yang masih menunggunya untuk terbangun. Isaac tersenyum lembut lalu tangannya bergerak menghapus jejak air mata yang ada di pipi Rie tersebut.
"Aku tahu kau masih mengkhawatirkanku."