Amira pulang setelah lewat jam makan malam, dan dengan menghela nafasnya Amira memasuki rumah, rumah yang sejak saat ini akan seperti neraka untuknya, Dari arah berlawanan dia melihat Frans dan Kinan sedang berbincang di sofa, keduanya tengah asik dengan Frans yang sesekali mengusap perut Kinan.
Ya, pemandangan yang sungguh menyayat hatinya, dan Amira harus terus melihat ini sampai Frans melepaskannya. Siap atau tidak, Amira harus merelakan hatinya hancur setiap detik saat melihat suaminya dan madunya bermesraan di depannya.
Amira mencoba tegar, dan melewati keduanya hingga Frans menyadari kedatangannya "Dari mana kamu?" tanyanya dengan nada tajam.
Amira menghentikan langkahnya "Mencari udara segar," jawabnya acuh.
"Kenapa tidak menjawab telepon mas, Kamu tahu mas khawatir." perkataan Frans membuat Amira mendengus ...
"Raut wajah kamu tidak seperti orang yang khawatir mas." jika benar Frans khawatir, dia tidak akan duduk santai sambil mengelus perut madunya.
"Amira, kenapa kamu banyak membantah sekarang, dan sejak kapan kamu pergi tanpa pamit, kamu bahkan melupakan suamimu."
"Mas, sudah ... Lagi pula sekarang mbak Amira sudah pulang," ucap Kinan dengan lembut.
Amira terkekeh saat melihat Kinan mengusap tangan Frans seolah wanita itu sedang menenangkan Frans "Kamu mau tahu sejak kapan? Sejak kamu berkhianat aku gak peduli, memangnya apa yang kamu harapkan, aku diam di rumah dan menyambut maduku datang, jangan gila kamu mas, sudah cukup kegilaan kamu dengan membawa dia kemari, jadi jangan berharap aku akan menyambutnya dengan hangat," tunjuk Amira pada Kinan, yang kini menunduk dalam.
Amira belum tahu wujud asli Kinan, meski wanita itu terus bersikap lembut dan bahkan baik padanya tapi bagi Amira tak ada wanita baik yang akan menikahi pria yang sudah beristri. Jadi dalam hati Amira dia begitu membenci Kinan.
"Sayang," panggil Frans saat Amira meninggalkan mereka di sana, dan masuk ke kamarnya. "Mas mau lihat Amira dulu ya," ucapnya seraya mengelus rambut Kinan.
Kinan mengangguk lalu tersenyum "Iya, sana ... Mas ..." baru saja beberapa langkah Kinan kembali memanggil Frans "Jangan marahi mbak Amira. Aku mengerti apa yang mbak Amira rasakan, jadi jangan bertengkar karena aku." Frans tersenyum lalu mengangguk, selama ini Kinan sering mengalah meski waktunya lebih banyak di habiskan bersama Amira, Kinan juga tak banyak menuntut untuk apapun, dan selalu menerima apa yang Frans berikan.
Jadi saat ini, hati Frans merasa kasihan dan tak tega dengan apa yang Kinan alami karena dirinya.
Frans memasuki kamar tamu yang saat ini di isi oleh Amira "Sayang," panggilnya. Frans melihat sekelilingnya tak ada Amira disana, namun, dari arah kamar mandi Frans mendengar suara gemericik air.
Merasa Amira sedang di kamar mandi Frans memutuskan untuk menunggu dan duduk di tepi ranjang.
Beberapa saat kemudian Amira keluar dari kamar mandi dan terkejut mendapati Frans ada di sana "Mau apa, kesini?"
Frans tertegun melihat tubuh Amira yang hanya terlilit handuk dari d**a hingga ke paha, menampakan kulit mulus dan putih yang amat ia rindukan.
Frans menelan ludahnya saat Amira berjalan santai dan mengambil pakaiannya, sudah beberapa hari setelah pertengkaran mereka Frans tak bisa menyentuh Amira dan kini Frans harus menahan hasratnya dari istri pertamanya itu.
Amira sebenarnya tak menyangka jika Frans akan masuk ke kamarnya, jadi dia tidak membawa pakaian ganti ke kamar mandi, Amira mencoba tenang meski jantungnya berdebar sangat kencang, mengingat Frans saat ini tengah memperhatikannya, Amira tahu Frans sedang dalam puncak hasratnya dan Amira tak ingin melayaninya jadi Amira meraih asal pakaian lalu berjalan kembali ke arah kamar mandi. Namun, belum juga mencapai kamar mandi Frans sudah mencekal tangannya.
"Sayang, kamu tidak merindukan aku," bisiknya dengan suara berat dan serak. Frans memeluk Amira dari belakang hingga Amira merasakan hasrat pria itu memang sedang dalam puncaknya, terasa dari tekanan di bawah sana yang sudah menegang.
"Lepas mas!" Amira meremang saat merasakan kecupan di pundaknya yang basah.
"Mas kangen kamu, sayang." kecupan Frans naik ke leher jenjang Amira lalu ke cuping memberikan gigitan kecil berupa godaan untuk menaikan libido sang istri.
Frans menyeringai saat merasakan nafas Amira memberat, dia tahu Amira sudah mulai tergoda.
Amira merasa jijik pada dirinya, bagaimana bisa dia merasakan tubuhnya memanas karena sentuhan Frans, pria yang jelas- jelas telah berkhianat dan menyakitinya hingga hancur.
Amira memejamkan matanya menahan godaan dari Frans, dengan cepat Amira membalik tubuhnya lalu menghadap Frans "Jangan harap kamu bisa menyentuhku setelah apa yang kamu lakukan mas!" geramnya, dengan amarah tertahan.
"Kamu ingin melakukannya, lakukan dengan istri muda kamu itu." Amira berjalan cepat ke arah kamar mandi lalu menutup pintu dengan keras.
Frans mengumpat saat Amita sudah tak ada lagi di dalam pelukannya, bagaimana bisa dia di tolak begitu saja, padahal Frans tahu Amira sudah mulai tergoda oleh sentuhannya.
Di dalam kamar mandi Amira menyandarkan tubuhnya di balik pintu, Amira tahu apa yang dia lakukan salah, menolak keinginan suami adalah sebuah dosa besar, tapi Amira juga tak sudi di sentuh oleh pria yang juga sudah menyentuh wanita lain. Bagaimana bisa ada pria yang tanpa rasa bersalah menyentuh dua wanita bersamaan.
Saat keluar dari kamar mandi Amira masih melihat Frans berada disana, kali ini pria itu sudah setengah berbaring dengan punggung yang dia sandarkan di sandaran ranjang "Kenapa mas masih disini?" tanya Amira bingung, seharusnya Frans sudah keluar dan menghabiskan malam dengan istri mudanya itu, setelah dia tolak bukan, kenapa dia masih disini.
"Kamu masih istri mas, dan dimana ada istri disana juga ada suami."
Amira mendengus lalu mendudukan dirinya di meja rias, dan mulai membubuhkan beberapa perawatan di wajahnya "Kalau begitu kenapa kamu tidak membelah diri bukankan di kamar yang lain juga ada seorang istri, siapa tahu dia menunggu suaminya untuk menemani."
Frans terkekeh "Lupa, kalau semalam aku sudah bersamanya, jadi malam ini giliran kamu."
Amira mendengus jijik "Aku gak masalah meskipun gak dapat giliran."
"Tapi aku tetap harus bersikap adil kan," ucap Frans tanpa rasa malu.
Amira kehilangan kata- kata, "Terserah! Tapi jangan harap kamu bisa melakukan apa yang ada di pikiran kamu itu mas!"
Amira berjalan ke arah sisi lain di ranjang dan membaringkan dirinya membelakangi Frans.
Frans tersenyum saat Amira sudah menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut. "Selamat malam, sayang." Frans mengecup dahi Amira yang memejam, meski Frans tahu Amira belum tertidur, tapi Frans tidak akan mengganggunya, biarkan wanita itu beristirahat dengan tenang, Frans tahu Amira merasa sakit dengan apa yang dilakukannya, tapi Frans tak punya pilihan lain, semua sudah terjadi dan dia juga tak bisa memilih diantara keduanya, Frans mencintai Amira, sangat dalam, bahkan mungkin melebihi rasa cintanya pada Kinan, tapi Frans juga tak bisa menceraikan Kinan sebab wanita itu juga tengah mengandung anaknya, dan tak dapat di pungkiri jika dia juga memiliki perasaan untuk Kinan. Frans menghela nafasnya, Amira tak tahu betapa khawatirnya Frans saat Amira tak menjawab teleponnya tadi, tapi, Frans juga tak bisa meninggalkan Kinan yang saat itu baru tiba di rumah mereka, jadi Frans hanya bisa menunggu Amira hingga wanita itu benar- benar pulang.
"Maafkan mas, sayang," ucapnya sambil memejam dan memeluk Amira. "Semoga suatu saat kamu bisa mengerti dan menerima ini," bisiknya lagi. Frans harap suatu hari nanti mereka bisa hidup berdampingan dan bahagia bersama dia, Amira dan Kinan tentunya.
Amira mengepalkan tangannya 'Apapun alasan kamu mendua, aku tetap tidak akan menerima dan memaafkan kamu mas,' ucapnya dalam hati. Bagi Amira saat Frans mengkhianatinya saat itulah cinta Amira hilang tak berbekas. Sebab yang kini ia rasakan hanya rasa sakit.