Semakin malam, suara dentum sang Dj semakin membuat keseruan sendiri bagi pengunjing lantai tiga ini. Namun, ada suasana yang timpang saat Aga berusaha menghentikan Liona untuk tidak lagi meminum alkohol berlebihan.
"Liona, please stop. Kamu enggak biasa minum, kan? Udah jangan minum terus," ujar Aga yang mengambil gelas dari tangan Liona.
Wanita itu tidak terkendali saat Aga menurutinya masuk ke dalam bar. Awalnya Aga mengajak untuk berkenalan juga dengan James selaku sahabatnya, hingga akhirnya ia memilih untuk duduk di sekitar standing bar. Duduk di depan bartender dan memesan minuman beralkohol yang nyatanya sedari tadi cukup banyak ditenggak.
Awalnya, Aga pikir Liona hanya ingin meminumnya sedikit, sebab sebelum itu ia bilang bahwa tidak terbiasa minum-minuman beralkohol. Pernah sesekali saat ia kuliah S2 di Bali, itu pun hanya untuk menghormati senior yang mengajak. Namun, pada kenyataannya, Liona tidak kontrol diri.
Aga yang menemani minum langsung berhenti menenggak minuman dan menjaga kesadarannya untuk Liona. Tidak lucu jika mereka sama-sama hangover di tempat ini, bisa merepotkan orang lain nantinya.
"Liona, sudah, jangan minum terus."
Semakin dilarang, wanita itu memberontak bak anak kecil yang direbut mainannya.
Tidak ingin menjadi pusat perhatian dan merusak malam perayaan pembukaan usaha milik temannya, Aga membiarkannya. Hingga, kini rasanya sudah cukup. Aga tidak bisa melihat Liona minum lagi sebab dirasa wanita itu sudah benar-benar mabuk.
"Liona, sudah cukup. Ayo, aku antar pulang."
"Kenapa pulang, sih?" rengek Liona yang berusaha lagi mengambil gelas di samping Aga.
Sekali lagi Aga mencoba mencegahnya. Persetan dengan kontak fisik yang sedikit keras, ia tidak akan membiarkan Liona mabuk hingga keterlaluan. Celotehan yang konyol sedari tadi juga sudah menguar. Lebih menyesakkan lagi, ia terus menerus melontarkan kekecewaan pada sang tunangan yang membuat Aga tahu sedikit banyaknya tentang perjalanan hubungan mereka.
Hal yang membuat Aga sedikit geram, sebab Liona seperti ini hanya untuk pria itu.
"Alex, is there any problems?" James, yang tiba-tiba datang dari belakang membuat atensi Aga langsung beralih.
"No, tidak ada masalah. James, saya harus pulang. Semua tagihan wanita ini tolong kirimkan ke saya. Nanti saya yang akan bayar."
Aga kemudian berdiri dan mulai memapah Liona ke dalam pelukannya, sebab benar-benar sulit untuk berjalan. Tubuhnya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.
"Take it easy. Kamu bisa membawanya?" tanya James lagi.
"Ya, tenang saja. Sorry, saya tidak bisa lama di sini dan terima kasih undangannya."
James hanya mengangguk. Kemudian Aga dengan sedikit usaha keras membawa tubuh Liona ke arah lift yang tersedia. Hal yang membuat pria itu bersyukur bahwa tempat ini juga dilengkapi lift tanpa perlu lagi turun melalui tangga.
Berat langkah Liona juga turut dirasakan Aga. Rasanya wanita itu memang sudah tidak ingin berjalan dan justru mengomel tidak jelas sedari tadi. Hingga beberapa langkah kemudian, usaha Aga akhirnya membuahkan hasil. Ia berhasil memasukan Liona ke dalam mobilnya.
Sejenak ia menghela napas. Tidak munafik bahwa tubuh Liona juga berat saat semua otot gerak wanita itu enggan berfungsi.
"Li! Liona. Li, rumah kamu di mana?" tanya Aga yang masih berada di sisi pintu di mana ia meletakkan Liona di bangku penumpang.
Namun, tidak ada balasan berarti. Wanita itu justru tertidur dan kemungkinan tidak lagi mendengar pertanyaan Aga.
Sedangkan Aga hanya menepuk jidat dan menggaruk tengkuknya bingung. Liona benar-benar tidak bisa diajak untuk berkomunikasi dengan benar. Hingga, akhirnya ia berderap ke sisi lain dan mulai memasuki mobilnya.
Dalam beberapa detik ia kembali menatap wajah wanita di sisinya. Apakah ini saat yang tepat untuk sekadar merindu? Dalam lubuk hati Aga, ia benar-benar merindukan Liona.
"Kalau tau kamu seperti ini jadinya, aku tidak akan pernah melepaskanmu, Liona. Maaf, dulu aku benar-benar egois."
Penyesalan dan rasa bersalah itu masih tersemat manis dalam benak Aga. Mendadak ia ingat ucapan ayah Liona saat berusaha meyakinkan bahwa peristiwa masa lalu orang tua mereka tidak ada hubungannya dengan dirinya dan Liona. Aga baru menyadari hal itu benar adanya.
Tanpa berpikir lebih dalam lagi, ia melajukan mobilnya meninggalkan halaman bar and lounge milik James. Entah, akan dibawa ke mana Liona, mungkin beberapa saat nanti wanita itu bisa kembali diajak berkompromi.
****
Hampir saja tubuh wanita itu jatuh lagi ke lantai andai Aga tidak kuat untuk menahan diri. Sungguh, merepotkan saat nyatanya Liona belum bisa diajak berkomunikasi dan justru celotehannya semakin tidak berarah.
Sepanjang perjalanan tadi, Liona memang tertidur dan membuat bingung Aga sebab pria itu berputar-putar di jalanan sembari menunggu Liona setidaknya bangun. Namun, karena kepalanya juga sedikit pusing sebab beberapa kali menerima asupan alkohol, membuat mobil yang dikendarai Aga akhirnya berbelok menuju apartemen pribadi milik pria itu.
Sudah tidak kuat rasanya harus mengendarai sampai ke kediamannya yang berada di Jakarta Pusat. Akhirnya saat ini ia tengah menahan tubuh Liona sembari mengeluarkan card lock untuk unitnya.
"Liona, bangun dulu. Ya Tuhan ...," desah Aga yang kembali kesulitan hanya untuk sekedar mencari kartu akses kamar itu.
Terpaksa pula Aga membawa Liona ke unit apartemennya sebab wanita itu sama sekali tidak bisa dengan benar menyebutkan alamat tempat tinggal. Bahkan tadi waktu kembali sadar ketika sudah sampai di basement parkir apartemen, ia hanya menatap sekitar sejenak setelah itu kembali tidak terkontrol dan hampir saja berjalan ke arah lain jika bukan Aga yang berlari mencegah.
Bak seperti mengasuh anak kecil, kepala Aga yang pusing semakin sakit melihat tingkah konyol Liona. Beruntung Aga masih cukup sadar untuk membopong Liona hingga ke lantai empat, di mana kamarnya berada.
"Lex, tau enggak. Aku nggak akan pernah mau diajakin nikah kalau tau begini, haha. Dibohongin terus tapi nggak bisa apa-apa, haha. Bodoh emang."
Lagi, Liona mengungkapkan segala bentuk kekecewaan dan mungkin kata hatinya. Sedangkan Aga tidak terlalu merespon itu lagi dan fokus untuk mencari kartu akses unitnya.
Hingga, beberapa detik kemudian kartu itu ketemu dan ia membuka kamarnya serta menutup pintu dengan kaki, sebab badannya tengah menyangga tubuh Liona.
Beberapa langkah lagi, akhirnya ia berhasil membawa Liona ke sofa terlebih dahulu sebab rasanya tubuh itu benar-benar berat. Sejenak, waktu berhenti. Aga membenarkan cara tidur Liona sehingga posisinya lebih rileks.
Setelah itu, ia menatap wajah Liona yang tengah terpejam dan membuat nalurinya kembali merindu. Liona benar-benar tumbuh dengan sempurna.
Wajah yang dulunya terlihat polos kini berubah menjadi dewasa, sungguh mengangumkan. Bibir yang tidak terlalu tebal ataupun tipis dan tersapu dengan warna merah itu benar-benar membuat Aga menelan saliva. Siapa yang tidak mengagumi pahatan indah ciptaan-Nya ini? Hanya pria bodoh yang bisa mengabaikan Liona.
Tubuh Aga sedikit mendekat, pengaruh alkohol yang juga bersarang dalam tubuhnya mempengaruhi seluruh cara berpikir untuk sejenak. Hingga akhirnya kecupan hangat dan singkat ia berikan untuk Liona. Kegiatan yang justru tertahan untuk beberapa menit sebab Liona pun ternyata merespon dengan menahan tubuh pria itu. Namun, Aga seketika sadar diri dan mulai menjauh.
Ia memijit kepalanya yang kembali terasa menyakitkan. Jantungnya kembali berdetak dua kali lipat. Beruntung Liona masih belum sadar sepenuhnya, bisa salah tingkah dirinya jika semua tampak disadari wanita itu. Mungkin menyegarkan diri lebih baik guna mendinginkan otak yang mulai sedikit kacau dan hampir saja lupa diri.
Akan tetapi, pergerakannya justru berhenti kala tangan halus itu memegang pergelangan tangannya. Liona membuka matanya walau hanya bisa terbuka sedikit. Ia menatap ke arah Aga yang masih berdiri tepat di sampingnya dan tersenyum tipis.
"Aku mimpi ya? Kenapa aku mimpi kamu, Lex? Padahal aku udah nyerah buat bisa berharap ketemu kamu lagi. Kenapa sekarang kamu di depanku?"
Aga, yang mendengar celotehan Liona hanya mengerutkan dahi. Namun, tampaknya ungkapan itu terlalu serius untuk dikatakan hanya bercanda. Aga terduduk di tepi sofa dan tanpa ragu mengusap lembut pipi Liona. Hal yang membuat wanita itu kembali menggenggam tangan Aga, merasakan kenyamanan dalam lubuk hatinya.
"Andai kamu nggak pergi dan tetap sama aku, mungkin aku bakal bahagia sekarang, Lex."
Aga terdiam dan membiarkan Liona melontarkan segala isi hati. Entah itu semua benar atau hanya terbawa oleh pengaruh alkohol, Aga tidak peduli. Ungkapan Liona justru membuat hatinya menghangat, seakan rasa rindunya berbalas.
"Aku kangen sama kamu, Lex. Aku bener-bener kangen sama kamu."
Liona kembali mengungkapkan apa yang ia rasakan. Sedangkan Aga benar-benar tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun dengan ungkapan Liona. Syok dan senang menjadi satu membentuk perasaan yang sulit untuk diungkapkan.
Memendam perasaan rindu bertahun-tahun membuat Aga nyaris saja kembali egois. Ia lantas bangkit dan melepas blazernya. Kemudian, kembali ke arah Liona dan membopong tubuh wanita itu untuk ditidurkan dengan nyaman di ranjangnya.
Akal sehat Aga masih berjalan walau ada sedikitnya pengaruh alkohol yang bisa saja membuatnya kembali lupa diri. Namun, ia tidak akan mampu menyentuh perempuan mana pun, apalagi Liona dengan keadaan tidak sadar sepenuhnya seperti ini.
Sepuluh tahun terpisah dan Aga tidak ingin mencetak hal buruk di mata wanita itu, saat mereka dipertemukan lagi seperti saat ini.
"Kamu enggak pantes sama dia, Liona. Andai kamu tau, aku juga menyesal melepasmu," lirihnya lagi.
Sekali lagi ia mengusap pelan kepala Liona dan berakhir menyelimuti wanita itu. Setelahnya Aga beranjak dan membiarkan Liona tertidur tanpa mengganggunya lagi.
****
Pagi yang tampaknya sedikit mendung itu membuat Liona mengerjapkan mata, sebab hawa dingin menggelitik kulit tubuhnya. Rasa pusing itu masih ada, bahkan rasanya mata itu enggan untuk sekadar membuka.
Baru kali ini merasakan hal yang membuatnya jera untuk menenggak alkohol. Kini, perutnya seperti teraduk dan membuat rasa mual itu menguat. Ia segera bangkit dan berusaha keluar dari kamar yang dipikirnya adalah kamar hotel dan mencari kamar mandi.
Hingga, akhirnya ia memuntahkan seluruh isi perut dan terlihat lega. Kembali ia menyandarkan kepala ke dinding dan menatap dirinya sendiri di depan wastafel.
"Siapa yang membawaku ke sini?"
Di tengah dirinya yang termenung sejenak, bayangan Aga mulai kembali dalam ingatan. Menerka-nerka apakah pria itu yang membawanya sampai ke tempat ini. Liona belum sadar bahwa ia bukan berada di hotel melainkan apartemen Aga.
Ia pun membasuh wajahnya dan karena tanggung akhirnya wanita itu memutuskan untuk mandi. Tanpa sedikit pun rasa tidak enak hati dan masih belum sadar di mana kakinya berpijak, ia berlama-alama di kamar mandi itu.
Air hangat yang merendam tubuhnya cukup membuat pikirannya rileks. Ia bersumpah tidak akan mencoba meminum alkohol lagi jika efeknya akan setragis semalam. Setelah dua puluh menit berlalu, Liona menyudahi acara berendamnya.
Ia membasuh diri dan mulai berjalan mencari sesuatu di kamar mandi itu. Barangkali ada handuk atau piyama yang menjadi fasilitas.
"Ah, ketemu," ujarnya yang akhirnya menemukan piyama handuk berikut handuk kecil di sebuah almari kecil dalam kamar mandi itu.
Liona yang masih beranggapan bahwa ia berada di hotel bahkan mendecak kagum akan desain interior hotel itu. Tidak biasanya hotel bisa sedetail dan semewah itu. Namun, Liona tak lagi memikirkan dan mulai menyilangkan ikatan di piyama, kemudian keluar dari kamar mandi.
Kamar mandi yang terletak sedikit maju itu tidak akan membuat Liona sadar jika ada dapur di belakangnya. Sehingga, Liona juga belum tahu ada seseorang berdiri di sana dan memerhatikannya.
"Sudah mandinya, Li?"
Liona yang tengah mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil seketika terdiam. Badannya tidak bergerak sedikitpun sebab suara tidak asing itu mulai diproses oleh sistem sensoriknya.
"Minumlah dulu air kelapanya biar sedikit reda mabukmu."
Tanpa berpikir panjang lagi, Liona memutar tubuhnya 180 derajat dan menganga saat matanya menangkap sosok Aga yang tengah sibuk di dapur. Bahkan handuk yang ia pegang saja sampai jatuh dan matanya membulat mendapati pria itu.
"Loh, kok. Alex, kok di sini?"
"Ini apartemenku, Li."
"Apartemenmu? Hah?"
Liona benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Jika apartemen ini milik Aga, bisa dipastikan tingkah lakunya tadi sangat memalukan. Apalagi di kamar mandi dengan waktu yang lama dan sambil bernyanyi tidak jelas guna merilekskan tubuh, membuatnya malu setengah mati.
"Oh, aku di apartemenmu. Aku pikir ini hotel," ujar Liona dengan tawa sumbang dan terlihat canggung.
Hanya tawa kecil yang menjadi tanggapan Aga. Pria itu tahu bahwa Liona mendadak canggung dan baru sadar bahwa ia tidak sendiri di tempat ini.
"Kemarilah, kamu minum ini dulu, biar lebih enakan. Aku bikin omelet, ya tidak terlalu bisa masak sih, tapi kayaknya semua juga bisa bikin beginian. Sini."
Sungguh, Liona benar-benar malu sekarang. Apalagi perlakuan Aga yang seolah tidak mempermasalahkan tingkah tidak jelasnya dan justru menawarkan sarapan. Memang, tidak tahu diri.
"Alex, aku minta maaf, ya. Aku pikir ini tuh di hotel makanya tadi aku agak nggak jelas. Tapi, kok aku bisa sampai sini?"
Aga mulai duduk di kursi samping Liona sebab hanya itu bangku yang tersisa. Ia tersenyum menatap wanita itu.
"Ya karena kamu susah dimintain alamat. Aku nggak tau rumah kamu di mana. Ya maaf kalau akhirnya aku bawa kamu ke apartemenku. Bisa sih aku sewain hotel, tapi aku nggak bisa ninggalin kamu gitu aja."
Liona dapat melihat Aga tersenyum lagi. Lalu, jika ini apartemen Aga, kenapa saat bangun ia tidak menemukan pria itu sama sekali?
"Kamu tidur di mana? Oh ini apartemen dua kamar tidur, ya?"
Aga menggeleng sembari memasukkan satu potongan kecil omelet ke dalam mulutnya.
"Aku tidur di sofa semalam. Mungkin kamu enggak sadar soalnya kayaknya tadi buru-buru banget ke kamar mandi."
"Oh, hehe, itu tadi perutku mual banget."
Aga hanya mengangguk memaklumi. Ia juga kembali menyuruh Liona untuk memakan sarapannya dan membuat suasana tidak canggung.
"Alex?"
"Hemm ...."
Liona menahan ucapannya dan membuat Aga sedikit mengerutkan dahi. Ia menunggu kalimat apa lagi yang akan dilontarkan wanita itu padanya. Sejak semalam, meskipun Liona mengatakan rindu di bawah pengaruh alkohol, tetapi hal itu cukup membuat Aga mampu tersenyum seharian ini.
Walau ia tahu Liona memiliki pasangan yang mungkin saja akan menikah dalam waktu dekat, hal itu benar-benar teralihkan oleh rindu yang seakan berbalas.
"Semalam, enggak ada yang terjadi sama kita kan? Emm, kita enggak ngapa-ngapain kan? Maksud aku, emm ya kamu tau lah ...."
Pertanyaan konyol yang dilontarkan Liona membuat Aga kembali mengerutkan dahi. Tidak aneh memang pertanyaan itu, sebab mereka berada dalam satu kondisi dan tidak menutup kemungkinan juga bisa lupa diri.
Mendengar kekhawatirkan Liona, membuat Aga berhasil meloloskan tawanya. Padahal sudah sangat jelas bahwa ia tadi mengatakan bahwa dirinya tidur di sofa.
"Kalau pun aku macam-macam, harusnya kalau kamu bangun, ngelihat aku di sampingmu kan? Bukan justru malah anggep ini di hotel karena kamu sendirian."
Jawaban Aga membuat Liona kembali merasa malu. Rasanya bodoh menanyakan hal itu dan entah, wajahnya inginnditaruh di mana setelah ini. Hanya tawa sumbang yang menjadi tanggapan atas pernyataan Aga.
Namun, Liona bisa menarik kesimpulan jika memang pria yang duduk di sampingnya ini memang bukan pria b******k seperti kebanyakan. Bahkan saat kondisi yang memungkinkan saja Aga tidak sembarangan menyentuh perempuan.
"Kamu enggak perlu khawatir. Enggak ada yang terjadi di antar kita. Hilangin pikiran yang bikin kamu mikir kalau aku bakal macem-macem sama kondisi kamu semalam. Aku enggak ada niatan kayak gitu, Liona."
Hanya anggukan ringan yang menjadi balasan pernyataan Aga.
"Makasih ya, Lex. Makasih udah bantu dan nemenin aku semalam. Maaf juga udah ngerepotin kamu sama tingkahku yang mungkin malu-maluin."
Aga kembali tersenyum dan menatap Liona sekali lagi.
"Aku enggak akan keberatan kalau itu untuk kamu, Li."
"Ha?"
Aga menatap Liona lebih intens. Sudah tidak mampu rasanya menahan gejolak rindu dalam hati.
"Because, i miss you. Aku cukup seneng bisa sama kamu seharian ini. Semua itu karena aku masih memikirkanmu. Sepuluh tahun, nama kamu enggak pernah hilang, Li."
Terkejut mungkin hal yang dirasakan Liona kali ini. Ungkapan Aga membuatnya membisu dan memerhatikan seksama pria itu. Sepuluh tahun berlalu, tidak mudah baginya untuk bisa membuka hati pada orang lain. Dan semua itu disebabkan tidak lain karena sosok Aga yang masih bertahta kuat.
Mereka berpisah disaat rasa sayang itu bertahta tinggi. Saat rasa cinta dan kepercayaan sudah menjadi ikatan kuat untuk menjalankan sebuah kisah asmara. Namun, apa boleh buat jika perpisahan menjadi hal yang harus terjadi.
"Jujur, waktu ketemu kamu lagi di depan makan Papa aku. Rasanya seperti mimpi, padahal sebenarnya aku mampu menemuimu. Tapi, selama ini, rasa bersalah yang bikin aku enggak yakin untuk ketemu sama kamu, Li. Aku takut kamu belum maafin aku."
"Kenapa, kamu--"
"Susah buat aku bisa menghilangkan kamu dari sini." Aga menunjuk dadanya seajaan mengisyaratkan hati. "Tapi aku sadar diri kalau kamu sudah enggak sendiri. Itu yang bikin aku ragu untuk ngomong kayak gini. Tapi kamu tau aku kan, aku nggak bisa mendem terlalu lama."
"Dan peristiwa semalam. Ngelihat kamu diperlakukan nggak baik sama orang yang katanya calon suamimu, bikin aku makin sadar, kalau aku salah ngelepasin kamu, Liona. Aku minta maaf, kalau aku nyesel ninggalin kamu dan terlambat menyadari itu."
Sudah hilang semua kata-kata yang akan terucap oleh wanita yanh kini bahkan masih menatap Aga. Tidak ada kebohongan sama sekali dari mata pria itu. Membuat ruang yang selama ini tertutup rapat mulai terbuka dan justru menjadi perasaan pedih.
"Liona, kembalilah padaku. Aku janji enggak akan ninggalin kamu lagi."
"Hah?"
Genggaman tangan Aga kini mulai dirasakan oleh telapak tangan Liona.
"Tinggalin Alvin, dia nggak baik buat kamu, Liona." Lagi, Aga berusaha meyakinkan Liona.
Tinggalin Alvin?
Kembali sama Aga?
Setelah sepuluh tahun lamanya?
Liona lantas menarik tangannya tiba-tiba dari Aga. Seakan sadar bahwa ia sudah terlena kembali oleh pesona Aga dan rasa yang sulit untuk dibendung, membuatnya lupa dengan Alvin.
Selama sepuluh tahun, ia merasa terbuang. Selama itu ia dibayangi rasa kehilangan. Ucapan Aga sepuluh tahun lalu juga membuat dirinya takut membuka diri sebab mendapati kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang kriminal. Hal yang membuatnya merasa tidak pantas dicintai siapa pun.
Belum lagi kasus bunuh diri sang ayah semakin membuatnya kembali sakit hati. Semua berkaitan dengan keluarga Aga.
Sekarang, Aga ingin kembali? Semudah itu? Bagaimana mungkin ia mampu diterima Aga begitu saja?
Mendadak suasana hati Liona kembali berubah, tadinya ia merasa sangat senang dan nyaman. Kini ia merasa kesal dan muak. Ia mrrasa bahwa Aga tidak tulus memintanya kembali. Liona berpikir bahwa justru Aga yang akan membalaskan dendam orang tuanya. Sekonyol itu pemikiran Liona, tetapi semua berhasil membuatnya khawatir berlebihan.
"Kamu enggak tau Alvin ya. Jadi kamu enggak bisa bilang dia baik atau enggak. Aku kenal dia udah empat tahun, jangan sembarangan nuduh dia nggak baik! Justru dia yang selama ini jagain aku. Sedangkan kamu, kamu justru nggak kasih kesempatan sama aku dan mutusin gitu aja tanpa persetujuanku. Sekarang kamu mau kita balik? Are you kidding me?
Liona menatap Aga seakan mencari jawaban lagi. Sedangkan Aga justru bingung dengan sikap Liona yang mendadak berubah.
"Liona, kamu tau sendiri kan Alvin sama perempuan lain dan kamu lihat pakai mata kepala kamu sendiri."
Liona sadar sepenuhnya dan tidak lupa dengan kejadian semalam yang membuatnya harus menenggak alkohol terlalu banyak.
"Aku masih percaya Alvin."
Liona lantas menjauh dan kembali ke kamar mandi. Tidak lama, hingga ia keluar dan sudah berpakaian rapi seperti semalam.
"Aku mau pulang. Makasih udah numpangin aku tempat tidur. Maaf ngerepotin kamu. Emm, aku harap kita nggak bahas soal ini lagi."
"Liona, tunggu. Aku antar. Jangan pulang sendiri, aku antar ya ...."
Liona kembali melepas genggaman tangan Aga padanya. Ia menggeleng kuat dan membuka pintu apartemen itu buru-buru.
Wanita itu pergi, meninggalkan Aga dalam keterbingungan akan sikap Liona yang tiba-tiba berubah menjadi sangat emosional.