PERASAAN SEMU

2377 Words
"Liona, tunggu! Aku akan antar kamu, jangan pergi sendirian." Aga tetap mengejar Liona yang sudah berjalan cepat meninggalkan Aga. Aga, yang sebelumnya masih bertanya-tanya akan sikap Liona yang cepat berubah, seketika sadar dan beranjak mengejar wajita itu. Tidak mungkin ia membiarkan Liona pergi sendirian sepagi ini. Langkah yang cepat dari Liona membuat Aga sedikit berusaha untuk meraihnya. Hingga, lengan itu akhirnya teraih dan otomatis menghentikan langkah Liona. "Liona, what happened to you? Kenapa kamu semarah ini? Kalau aku salah kamu bilang, jangan begini." Liona terdiam, menahan emosi yang sulit untuk dikendalikan. Entah, rasanya cukup sesak dan hanya ingin marah saat Aga justru mengejarnya saat ini. "Kamu masih nanya aku kenapa? Sepuluh tahun, Lex. Sepuluh tahun lalu kamu udah ngebuang aku--" "Aku nggak ngebuang kamu!" sela Aga spontan. "Terus apa? Aku enggak pernah lupa ya, Lex. Kamu yang mutusin semua tiba-tiha tanpa kita ngomong baik-baik, cuman karena Papaku bermasalah dengan Papamu. I know, mungkin memang berat dan aku tau kesalahan Papa aku nggak mungkin kamu maafin. Tapi apa semua harus aku yang nanggung juga? Aku bahkan nggak ngerti apa pun. Setelah itu kamu sama sekali nggak ada kabar. Kamu menghilang, dan bikin aku mikir kalo emang aku bener-bener nggak pantes buat siapa pun. Kenapa sekarang tiba-tiba kayak gini?" Ada air mata yang tertahan di pelupuk mata Liona. "Aku ... aku hanya mau kamu nggak disakitin kayak gini, Liona." "Ya apa pedulimu? Harusnya kamu nggak perlu peduli lagi!" "Li, aku nggak bisa ngeliat kamu kayak gini, semua ini bikin aku ngerasa bersalah. Kamu nggak sadar kenapa kita kembali dipertemukan? Aku yakin ini bukan lagi kebetulan, tapi ini memamg takdir kita, Liona. Semua masih bisa diperbaiki." "Perbaiki? Kamu lupa kalau aku udah punya tunangan? Kamu enggak akan gila dengan ngancurin hubunganku lagi kan, Lex?" tanya Liona penasaran. "If you want me to do all that, will do anything." "Are you really crazy?" Liona kembali menatap Aga yang terlihat serius mengatakan semua itu. Gelengan Aga dan tatapan itu membuat Liona semakin berasumsi negatif. Masih saja hati kecilnya menduga hal terburuk dari niat Aga. Liona tidak mampu mempercayai begitu saja. Ia kembali menghentakan tangannya demi melepaskan diri dari Aga. "Anggap kita nggak pernah kenal. Tolong jangan ikuti aku lagi!" Liona kembali melangkahkan kakinya secepat mungkin dan lagi-lagi meninggalkam Aga dalam keterdiaman. Sementara Aga sendiri tidak mampu lagi mengejar Liona saat kini, ponsel dalam saku celana itu berbunyi membuyarkan konsentrasinya. "Iya, hallo." Spontan saja Aga mengangkat panggilan itu, meskipun pandangannya masih ke arah Liona. "Selamat pagi, Pak Alex. Ada masalah internal, Pak. Sistem keamaan perusahaan mengalami kebocoran." "What? Kenapa bisa? Saya akan ke sana sebentar lagi!" seru Aga. Aga langsung melihat angka digital pada ponsel yang masih menyambungkan panggilan. Ia langsung mendecak, tetapi urusan perusahaan memang tidak mungkin ia sepelekan begitu saja. Apalagi tentang kebocoran data seperti ini. Panggilan dengan sang sekretaris itu pun berakhir dan hanya geraman tertahan yang bisa Aga ekspresikan. Rasanya semua kacau di waktu yang bersamaan tanpa memberi jeda. "Sia!l" umpat Aga yang tidak percaya bahwa semua akan berkahir seperti ini. Liona juga seakan menutup akses untuk mereka kembali dekat. Apakah mungkin ia mampu untuk menganggap tidak pernah sama sekali mengenal Liona, setelah perasaannya semakin menguat untuk wanita itu? Aga tidak akan berbohong jika perasaanya mulai kembali berharap setelah kembali bertemu Liona. Apalagi dengan pernyataan wanita itu semalam, meskipun di luar kesadaran. Namun, bukankah alam bawah sadar adalah pernyataan yang paling jujur? Aga mulai memijit pangkal hidungnya sebab rasa pusing menjalar. Pandangan yang masih tertuju pada wanita itu, tetap mengekor sampai Liona benar-benar menghilang dari pandangan. **** Duduk di halte beberapa menit berlalu cukup membuat Liona berpikir. Sikapnya tadi pada Aga lah yang justru membuat pikiran wanita itu kembali suntuk. "Aku kenapa, sih? Kenapa harus marah sampai segitunya? Ish, bodoh banget!" runtuknya pada diri sendiri. Namun, pikiran tentang masa lalu mereka juga silih berganti hadir dan membuat Liona kembali kesal. Andai peristiwa itu tidak ada, mungkin hatinya benar-benar menghangat saat bersama Aga. Liona juga tidak munafik untuk mengakui bahwa Aga memang sosok yang sulit untuk dilupakan dalam hidupnya. Seketika ia memegang bibirnya. Ingatan semalam masuk begitu saja di tengah keresahan hati. Mata indah miliknya langsung membulat. "Jadi semalam itu bukan mimpi? Ish, Liona kenapa harus-- ck, bego!" umpatnya sekali lagi saat menyadari bahwa ciuman dengan Aga adalah nyata. Liona beberapa kali mengutuk diri sendiri yang mendadak bimbang dan labil. Bahkan karena peristiwa yang diyakini tidak sengaja itu membuatnya merasa sangat bersalah pada Alvin. Beberapa busway sudah berlalu lalang silih berganti, tetapi Liona bahkan tidak masuk ke dalam salah satu bus mana pun. Pagi yang terbilang mendung tetapi jalanan tetap padat itu tidak terlalu mengganggu Liona yang tengah melamun. Bahkan ia masih belum sadar di mana ia berada dan hanya duduk di sekitar halte terdekat dari apartemen Aga. Sudah sepuluh menit ia mencoba untuk menetralkan perasaan bimbang dan kadang kala menyalahkan diri sendiri yang tidak kontrol untuk mengungkapkan emosi. Wanita itu kadang juga uring-uringan sendiri dan membuat atensi beberapa yang berada di halte tertuju padanya. Meskipun Liona sendiri tidak terlalu memikirkan pandangan orang, tetapi beberapa yang ada di sana cukup merasa khawatir bahkan terang-terangan menghindar. "Aku kenapa, sih?" Lagi, Liona meruntuki diri sendiri yang seakan kehilangan jati dirinya sekarang. Hingga, beberapa saat kemudian, ketika satu bus berhenti dan Liona melihat arah tujuannya, ia berdiri dan masuk ke dalam bus itu. Kembali duduk dan menyandarkan kepala ke jendela merupakan kegiatan selanjutnya. Perasaan hampa itu muncul. Jalanan yang basah karena mungkin semalam hujan, membuat teduh pandangan sekaligus sendu. Hingga, suara ponsel yang memekikan telinga bersumber dari benda pipih dalam tas kecil miliknya. Liona segera membuka tas dan mengambilnya. Kemudian ia mengangkat panggilan itu sebab ternyata Alvin yang tengah meneleponnya. "Iya, Vin." "Kamu itu di mana? Kok enggak ada di rumah? Mobil ada tapi rumah kekunci, emangnya udah ke kampus?" "Eh, itu ... aku di jalan." Kembali, ingatan tentang Alvin semalam muncul dan membuat suasana hati Liona tidak karuan. Ada rasa muak dan benci sekaligus rasa bersalah saat ia semalaman bersama Aga. "Loh, emangnya kamu pergi ke aman pagi-pagi gini?" "Enggak ada. Kamu pulang aja deh jangan nungguin aku." "What? Kamu ngusir aku? Cepet pulang! Aku tunggu!" Panggilan pun terputus sepihak dan membuat Liona serta merta memasukkan ponsel itu dengan kasar. Pulang ke rumah dan akan mendapati masalah baru sudah membuat malas. Apakah ia mampu berbicara di depan Alvin soal kejadian semalam? Lalu apa alasan yang tepat saat ia tidak di rumah pagi ini? Liona pusing memikirkannya dan kembali menyandarkan kepala ke jendela guna menenangkan diri. **** Tiga puluh menit waktu yang ditempuh oleh Liona hingga sampai di kontrakannya. Kini, ia berjalan dengan sedikit melamun untuk mencapai ke arah rumah yang terletak agak masuk ke dalam sebuah jalan yang tidak jauh juga dari jalan besar. Sedikit malas dan masih memikirkan kejadian demi kejadian, membuat semangat paginya menurun. Hingga, beberapa langkah kemudian ia sudah berada tepat di depan sebuah rumah bercat putih dengan halaman luas di depannya. Wanita itu membuka pintu gerbang yang tertutup dan masuk begitu saja menyusuri halaman rumah. Mampu dilihatnya Alvin duduk di kursi bercat cokelat di depan teras dengan menyilangkan kedua tangan di d**a. "Ke mana aja kamu?" Liona tidak menjawab dan masih sibuk mencari kunci rumahnya. Kemudian, wanita itu justru masuk ke dalam rumah di susul Alvin yang merasa tersulut karena keterdiaman Liona. "Liona, kamu ini kenapa?" tanya Alvin yang menghentikan tubuh wanita itu sedikit kasar. "Duh, apa sih, Vin! Sakit tauk! Kenapa kamu pagi-pagi udah ke sini, sih?" "Loh, emangnya kenapa? Bukannya biasanya juga kayak gitu. Biasanya kamu bakal biasa aja. Kamu masih marah soal kemarin siang? Bukannya harusnya aku yang marah sama kamu?" Liona berbalik menatap Alvin. Pria di depannya itu memang bisa dikatakan sempurna. Pantas memang jika beberapa kaum hawa tertarik pada Alvin. Namun, sifat buruk Alvin masih saja masih tersemat dan selalu membuat Liona meradang. Bukan sekali dua kali Liona mendapati tingkah laku Alvin seperti semalam. Bodohnya ia selalu memaafkan tanpa memupuk dendam sama sekali. Akan tetapi, kali ini mungkin berbeda. Liona sudah muak dan jika pun harus berpisah menjadi keputusan yang baik, ia akan lakukan. "Kamu mau marah? Marah aja, aku enggak akan peduli." Liona menghentikan ucapannya. "Kamu ke sini itu mau ngapain? Mastiin kalau aku ngerasa bersalah ke kamu dan mohon-mohon maaf dari kamu?" Alvin yang mendengar ucapan Liona hanya bisa mengerutkan dahi, bertanya-tanya dengan sikap Liona yang berbeda. "Aku enggak akan merasa bersalah karena aku nggak salah! Jadi mending kamu balik aja, aku mau siap-siap ke kampus." Liona kembali berbalik dan mulai berjalan meninggalkan Alvin. Namun, bukan Alvin namanya jika tidak mendapatkan jawaban jelas dari seorang wanita, apalagi itu Liona. Pria itu melangkahkan kaki panjangnya sedikit cepat dan meraih lengan Liona lagi. Kembali rasa menyakitkan dirasakan oleh Liona sebab tekanan pada kulit lengannya cukup kuat. "Vin, lepas! Kamu apa-apaan, sih?" "Kamu ini kenapa? Jawab aku dulu, baru kulepas!" "Harusnya kamu yang ngerasa bersalah ya, harusnya kamu yang minta maaf sama aku. Bukan aku lagi. Tolong lah sekali-kali, sadar sendiri apa kesalahan kamu. Kamu pikir aku diam itu nggak tau apa-apa? Yakin kamu aku enggak tau apa pun?" Alvin masih mengerutkan dahi, belum menemukan titik pembahasan sang kekasih. Hingga, Liona menghentakan tangan Alvin agar ia bisa meraih ponsel dalam tas kecilnya. Wanita itu sudah sibuk mengulir benda pipih di tangannya, kemudian menunjukkan pada Alvin tepat di depan wajah pria itu. "Semalam kamu ke sini kan? Kamu lupa kalau akses email kamu ada di ponsel aku? Dan semalam kamu pergi ke hotel mana lagi? Sama cewek mana lagi?" Liona tidak peduli dengan ucapannya yang terbilang tidak sopan pada Alvin saat ini. Emosinya sudah berada di puncak, meskipun ia terlihat tenang. Bahkan air mata sudah membendung di pelupuk karena ia benar-benar lelah menahan semua keresahan selama ini. Namun, bukannya pria di depannya ini merasa bersalah. Ia justru tersenyum tipis, nyaris tertawa. "Kamu lihat aku di sana? Semalam? Kenapa nggak kamu tegur?" Liona mengerutkan dahi, gagal paham dengan sikap Alvin. "Kalau pun aku ke hotel biasanya ada laporan pembayaran yang masuk ke email kan? Coba lihat di situ ada nggak? Kalau kamu enggak tau siapa cewek yang bareng sama aku itu siapa, tanya. Bukan nuduh nggak jelas begini!" "Semua udah jelas, Vin! Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kamu balik sama perempuan lain!" Alvin kembali melesungkan senyumnya dan menghela napas. Ia meletakkan tangannya di pundak sang tunangan dan menatap mata Liona dengan intens. "Sayang ... kamu lihat jelas banget apa enggak sih? Kamu enggak sadar kalau itu si Grace? Sahabat aku sejak kecil. Kamu bukannya udah kenal ya?" "Grace? Dia di sini?" Liona tahu perempuan itu. Wanita yang dikenalkan padanya empat tahun silam. Namun, yang didengar kemudian Grace pergi ke luar negeri untuk pendidikannya. Jelas ia sedikit terkejut saat Alvin mengatakan bahwa itu adalah Grace. Sebenarnya, Liona tidak juga melarang Alvin berteman dengan siapa pun, tetapi berdua menghabiskan waktu dengan sahabatnya, apalagi perempuan tetap saja membuat hati Liona resah. Bukan tidak mungkin semua ada sangkut pautnya dengan sebuah perasaan. Bukankah sebuah hubungan terjalin memang berawal dari sebuah pertemanan? "Kalau kamu masih nggak percaya, oke aku telepon Grace biar dia ngomong sendiri sama kamu. Dia itu baru balik dari LA, dia pengen aku nemenin semalem. Katanya kangen main bareng, masa iya aku salah ngeiyain ajakan sahabat aku? Aku kenal Grace dari kecil, jadi enggak mungkin aneh-aneh atau seperti tuduhanmu itu," papar Alvin sembari menatap ponsel guna mencari kontak Grace. Bimbang dirasakan Liona. Di saat rasa muak muncul, tetapi pria di depannya ini justru ingin membuktikan bahwa semua hal yang ia lakukan adalah hal lumrah. Sedangkan semua tuduhannya adalah salah. Bahkan kini nomor ponsel itu sudah tersambung dan berdering. "Hallo, ngapain sih, Vin, gue masih ngantuk. Nelepon tau waktu kenapa?" Liona masih memerhatikan dan hanya bergeming. Sedangkan Alvin justru tersenyum nyaris tertawa, seolah ia menyalahkan semua tuduhan Liona. "Sorry-sorry. Gue dituduh selingkuh nih gara-gara jalan sama lo semalem. Tunangan gue nih Liona, ngira gue sama cewek lain dan cek-in. Coba lo jelasin ke dia, Grace." "Astagaa ...." Ada cekikikan di ujung sana, sarat bahwa semua ini memang salah paham. "Liona, eh ini lo lagi sama Liona kan?" Ada sebuah deheman dari Alvin yang menegaskan wanita di seberang sana. "VC aja, Vin." Alvin langsung mengubah panggilan itu menjadi panggilan video. Lalu mengarahkan ke arah Liona. "Haii, Liona. Ah, sorry banget ya, gue tuh baru dateng kemarin sore. Terus minta jemput Alvin dan lupa ngabarin lo. Suer deh gue beneran lupa. Jangan anggep calon suami lo ini selingkuh. Dia sama gue semalem dan setelah dari sana pun langsung pulang ke rumah masing-masing, kok. Gue minta maaf ya kalau jadi salah paham begini." Jujur saja hati Liona masih merasa janggal. Emosi yang tertahan berhasil membuatnya tidak mengucap sepatah kata pun. Justru dengan bodohnya, senyum yang kini bertengger di bibir Liona, walau sedikit ada unsur paksaan. "Iya, enggak kenapa-kenapa, Grace. Maaf, aku salah paham ternyata," ujar Liona yang kembali melesungkan senyum kecutnya. "It's okay. Harusnya gue juga minta maaf. Lain kali kita ketemu aja deh ya, tapi jangan sekarang, gue masih ngantuk." Liona hanya mengangguk dan ponsel itu kembali ke Alvin, hingga beberapa kalimat setelahnya, panggilan pun berakhir. Pria itu menatap sang tunangan yang masih diam di tempatnya. "Udah kan? Jelas?" Alvin mulai memastikan Liona mempercayai semua itu. "Kamu enggak perlu lah curiga begini sama aku. Ya oke lah dulu banget sebelum kita tunangan aku salah sempet jalan sama yang lain. Tapi kan sekarang semua udah beda. Aku hargai kita yang udah nggak mau main-main. Kamu percaya kan sama aku? Dan kamu enggak bakal curiga kan sama sahabat aku sendiri? " tanya Alvin yang menengadahkan pandangan Liona ke arahnya. Usapan lembut jemari Alvin di pipi Liona pun telak membuat wanita itu kembali luluh. "Aku cuman takut kamu kayak dulu." Alvin tersenyum, menggeleng dan kembali meyakinkan Liona bahwa dirinya tidak akan pernah seperti itu. Walau semua itu memang palsu. Alvin tahu kelemahan Liona yang mudah luluh jika semua perlakuan baik itu dihadirkan. Pelukan yang kini terjadi semakin membuat Liona kembali memaafkan Alvin. Justru ia yang merasa bersalah sebab membungkam seluruh peristiwa yang lagi-lagi melibatkan Aga. Rasa bersalah itu yang membuat Liona akhirnya menurunkan ego dan benar-benar mengalah pada Alvin. Bersikap seperti sedia kala tanpa kecurigaan yang sedari kemarin merangsek hati. Liona tidak sadar jika dalam pelukan hangat yang terjadi dan dalam buaian permintaan maaf pria itu, Alvin tengah mengetikan sebuah pesan pada nomor seseorang. Seseorang yang Liona ketahui hanya sebagai sahabat Alvin. Nyatanya bukan sahabat biasa bagi pria itu. Grace Thanks, Grace. Terkirim
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD