Kata kebanyakan orang, Paris selain dinobatkan sebagai salah satu dari empat kota dengan julukan kota mode dunia juga dijuluki sebagai kota cinta. Apalagi di musim dingin seperti ini, salju pertama yang turun sedikit demi sedikit telak membuat pemandangan semakin indah di beberapa titik, khususnya di dekat Eifell yang menciptakan kedamaian saat menatapnya.
Sayang, Aga harus ke kota seindah itu sendirian. Jessica benar-benar tidak bisa meninggalkan tanggung jawabnya akan pekerjaan dan membuat Aga akhirnya harus berangkat sendiri ke tempat ini.
Hari ini, Aga melajukan mobil menyusuri jalanan kota sendirian menuju ke pinggiran kota. Mobil itu berbelok ke sebuah daerah di pedesaan yang tidak terlalu ramai kendaraan dan justru masih terbilang memiliki lahan hijau di sekitarnya.
Beberapa saat kemudian, mobil itu berhenti persis di depan sebuah rumah berhalaman terbuka nan luas. Pria itu segera turun dari mobil dan sejenak menatap sekitar. Hiasan lampu warna warni dan pernak pernik Natal menghiasi sepanjang rumah. Membuat senyum itu juga terkembang dengan sendirinya. Begitu damai dan menghangatkan sanubari.
Suasana di sekitar bangunan megah yang berarsitektur eropa kalsik itu begitu menyejukkan. Bangunan unfinished dengan batu alam yang menjadi pondasi membuat kesan yang menyatu dengan alam. Jika ia datang di pagi atau siang hari maka akan terlihat pemandangan asri rerumputan hijau dan pepohonan rindang di sekeliling rumah.
Kini ia berdiri tepat di depan sebuah pintu berwarna cokelat dan sesegera mungkin mengetuknya. Tidak butuh waktu lama, pintu itu terbuka dan sosok di baliknya cukup terkejut.
"Aga! How are you, Brother?" Evanders yang sedikit terkejut dengan kedatangan Aga tanpa pemberitahuan itu langsung memeluk adik tirinya.
Rasa rindu sudah tersemat cukup dalam. Bagaimana pun Evanders tidak pernah menganggap Aga sebagai adik tiri, melainkan adik kandung. Jelas ia sangat merindukan sosok saudaranya itu.
"Kenapa enggak ngomong? Kapan lo dateng?"
"Tadi siang, ya sengaja enggak ngasih tau, mau bikin surprise sama kalian."
"Ayo masuk, kebetulan banget, istri gue lagi masak banyak. Dia pasti seneng lo dateng."
Evanders lantas merengkuh bahu Aga dan masuk bersama ke kediaman pria itu.
"Honey, let's see ... who is coming?" Evanders langsung berbicara sebab tidak sabar memberitahu sang istri.
Wanita itu, yang kebetulan tengah menyiapkan makan malam lantas menoleh. Sontak saja raut sumringah menyerang. Meylira langsung berjalan cepat memeluk adik iparnya. Memang, mereka tahu Aga akan datang sebab perusahaan yang dipimpin Evanders mengadakan rapat penting besok, tetapi bahkan mereka tidak tahu Aga akan berangkat kapan. Jelas saat ini semua terkejut dan senang menatap pria itu sudah hadir di tengah-tengah mereka.
"Kapan dateng? Kenapa enggak bilang sih? Kalau tau gini kita jemput."
"Sengaja, Kak Mey."
Sang keponakan, seorang gadis berusia kurang lebih delapan tahun yang berada persis di dekat ruang keluarga juga lantas berjalan ke arah Aga. Meskipun jarang bertemu tetapi ketiga anak Evanders itu tahu siapa Aga. Terutama gadis bernama Rose ini.
"Uncle Aga?" sapa gadis itu.
"Rose?" tebak Aga, sebab Evanders memiliki anak kembar perempuan saat awal menikahi Meylira. Dan selalu saja Aga harus sedikit menebak siapa yang berbicara dengan.
"Yes, right."
"Where is Daisy?"
"Ada di belakang, Uncle, maybe sebentar lagi dia ke sini sama Goerge."
Aga mengangguk dan tersenyum sembari mengusap lembut kepala gadis cantik itu. Pandangannya kini kembali ke arah Meylira.
"Kamu tuh ya, ada kali dua tahun enggak ke sini, loh. Sering-sering lah ke sini biar keponakannya juga kenal deket. Itu untung si Rose masih ngenalin kamu."
Aga tersenyum. "Kerjaan di kantor sana itu padet banget, Kak. Masih banyak pembangunam dan beberapa bulan lalu pun ada masalah."
"Oh iya, masalah kebocoran.
Gue udah denger. Terus gimana udah enggak masalah, kan?" tanya Evanders menyela.
"It's okay. Semua udah teratasi dan udah berjalan normal lagi."
"By the way, sekarang makin cakep, iya enggak sih?" Meylira mulai melirik ke arah Evanders meminta persetujuan ucapannya.
"Lebih dewasa, Honey. Enggak kayak dulu masih keliatan bocah. Oh iya, Sayang, panggil Liona sama anak-anak, gih, kita makan malem."
Deg!
Aga mendadak seakan kehilangan udara dalam paru-parunya kala Evanders menyebutkan nama itu. Apa ia tidak salah dengar? Atau ia kembali berhalusinasi? Masihkah pikiran dan relung hatinya itu tertuju pada Liona?
"Wait? Liona? She is here?"
Evanders kini menatap Aga.
"Iya, Liona di sini. Baru satu minggu. Lo masih inget dia, kan? Enggak lupa kan lo? Jangan mentang-mentang lama banget enggak ada contact, lo jadi lupa ingatan," ujar Evanders diiringi canda tawa.
Aga masih termangu di tempatnya tanpa memerhatikan pria itu. Bukan ia lupa atau berusaha melupakan. Namun, sudah enam bulan lebih kabar Liona kembali menghilang. Bahkan Jessica pun juga tidak pernah bertemu dengan Alvin yang notabene sangat kenal dengan keluarga besarnya.
Jelas hal itu membuat Aga sedikit terkejut saat Liona ternyata berada di sini. Belum hilang rasa keterkejutan yang terjadi, sosok yang dipikirkan berjalan santai menuju ke ruang makan. Sedangkan dua ponakan Aga juga sudah berlari menuju ke ruang makan dan menempati kursi masing-masing.
Fokus Aga tetap ke arah Liona, hingga lupa menyapa dua ponakannya. Raut wajah wanita itu sangat datar, bahkan Aga yakin Liona tahu dirinya berdiri tak jauh dari meja makan itu. Namun, apa yang terjadi? Liona bahkan tidak sekadar 'say hello' dan langsung terduduk di kursi meja makan itu.
"Liona, enggak nyapa Aga?" Meylira, sang kakak ipar wanita itu mulai berbasa basi.
Masih dengan tatapan datar, ia menoleh ke Aga yang terdiam tanpa senyum atau apa pun.
"Hai ...," sapanya singkat dan pandangan itu kembali ke arah meja makan.
Apa ini? Sungguh, Aga semakin tercengang dengan sikap Liona. Hingga Aga yang kini turut bergabung di meja makan itu pun Liona masih bersikap tidak acuh.
Namun, semua itu seakan tertelan dengan sikap hangat keluarga Evanders. Meskipun sosok Liona kembali mendominasi pikiran Aga dengan berbagai pertanyaan, tetapi melihat sikap wanita itu bahkan Aga tidak banyak bicara dan hanya menanggapi obrolan ringan keluarga Evanders.
"Oh iya kamu sampai kapan di sini, Ga? Jangan sampe bilang habis rapat besok langsung pulang ya!" Meylira kembali membuka obrolan di tengah makan malam mereka.
"Enggak, Kak Mey. Maybe satu minggu atau lebih."
"Sampai Natal aja, ya. Kita rayain di sini bareng-bareng."
Aga terdiam sejenak. Sejauh ini memang dirinya tidak pernah merayakan Natal bersama keluarga besar. Sejak kepergian kedua orang tuanya, ia terbiasa sendiri. Apalagi di momen berharga seperti Natal selalu ia lewati sendirian.
"Oke."
"Akhirnya kita bisa rayain bareng, deh, rame-rame. Oh iya, kamu udah punya calon, Ga? Kapan nikah, sih?"
"Iya, gue enggak pernah denger ada kabar bahagia dari lo. Kapan lo nikah?"
Aga kembali terdiam sejenak, lantas ia melirik ke arah Liona yang terlihat cuek sembari memakan makanannya.
"Mungkin sebentar lagi," ujar Aga.
"Really? Siapa nama calon adik iparku?" tanya Meylira antusias seakan menjadi topik pembicaraan yang mengasikan.
"Jessica, Kak. Dia perempuan baik dari keluarga baik-baik. Kenalannya Tante Silvi dan ya sekarang jadi kekasih Aga. Rencananya sudah mau serius, mungkin beberapa bulan ke depan."
"Ah, ikut seneng dengernya. Semoga lancar ya dan sesuai sama apa yang direncanakan. Semoga kita bisa juga pulang ke Indonesia buat kamu," sahut Meylira yang benar-benar terlihat senang mendengar kabar itu.
"Semoga, Kak. Aga harap kalian bisa dateng kalau hari bahagia itu terlaksana."
Makan malam pun kembali berjalan dengan suka cita. Kehadiran Aga di tengah-tengah keluarga sang kakak menambah suasana semakin hangat. Seolah jarak yang terbentang sudah diputus begitu saja.
Hingga beberapa waktu kemudian, saat Aga berniat menuju ke ruang keluarga setelah makan malam itu berkahir, ia melihat sosok Liona duduk di halaman belakang rumah, sendirian. Entah, apa yang dipikirkan wanita itu, tetapi dengan musim yang seperti ini Liona seolah tidak menghiraukan kondisinya yang hanya memakai kaos berlengan pendek.
Aga lantas berjalan ke arah Liona untuk memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja. Diliriknya sekali lagi, di mana Evanders dan keluarga kecilnya sedang asik di ruang keluarga, membuat Aga memutuskan untuk menemani Liona. Sebelum itu ia juga menyabet jaketnya yang sempat ia lepas tadi sebelum makan malam.
"Hai ...," sapa Aga sesaat setelah langkahnya berhenti di belakang tubuh itu.
Namun, Liona sama sekali tidak menengok atau apa pun, membuat Aga semakin diliputi banyak pertanyaan menggantung. Hingga, akhirnya ia memilih untuk duduk di sisi Liona yang terduduk di kursi kayu.
Tidak ada kata yang keluar saat Aga menatap Liona yang fokusnya seakan tidak bisa diganggu. Hari semakin malam, jika bisa jujur udara malam itu juga semakin dingin. Hal yang membuat Aga semakin khawatir dengan kondisi Liona. Namun, beberapa saat kemudian air mata jatuh membasahi pipi wanita itu dengan sendirinya.
Satu bentuk kondisi yang membuat Aga tidak lagi bisa mematung tanpa perlakuan. Pria itu tidak akan tinggal diam dan memiliki kepedulian tinggi pada orang lain, apalagi orang itu masih atau pernah terlibat dalam kehidupannya.
"Hei, kenapa? Liona, are you okay? Liona ...."
Liona yang mendadak tersadar langsung menoleh ke Aga. Seakan benar bahwa ia tidak menyadari kehadiran pria itu sama sekali.
"Kamu di sini sejak kapan?"
"Are you okay?" Lagi, Aga melontarkan kalimat itu saat yakin bahwa Lioma tidak baik-baik saja.
Sedangkan, Liona segera menghapus air mata yang mengalir dan berusaha bangkit dari tempatnya berniat menghindari siapa pun. Namun, langkah wanita itu langsung dicegah oleh Aga yang memegang pergelangannya.
"Ada apa?" tanya Liona.
"Duduk. Kamu enggak harus menghindariku terus. Aku enggak tau apa masalahmu, tapi untuk sekarang kamu duduk di sini dan jangan berusaha menghindar lagi."
Liona terdiam sejenak, kemudian mengembuskan napas perlahan dan kembali duduk di tempatnya. Sedangkan Aga, meraih jaket yang ada di sisinya dan bergerak ke belakang Liona.
"Cuacanya dingin. Kamu bisa kedinginan kalau cuman pake pakaian itu," ujar Aga yang menangkupkan jaket miliknya ke tubuh Liona.
Perlakuan manis itu membuat Liona menatap Aga. "Kenapa kamu masih peduli?"
"Ha?"
"Kenapa kamu masih peduli kayak gini? Harusnya kan enggak perlu."
"Kenapa aku harus enggak peduli?" tanya Aga balik.
Liona kembali terdiam dengan pertanyaan itu. Rasanya aneh, bukan ia tidak terkejut Aga ada di sini. Bahkan ia sudah cukup tercengang saat berjalan dari halaman belakang dan melihat kehadiran pria itu. Namun, sebisa mungkin dirinya tidak terlalu menunjukkan perasaannya dan memilih diam sepanjang makan malam tadi.
Sudah enam bulan lebih bahkan hampir satu tahun ia mengeyahkan nama Aga untuk kesekian kalinya. Berusaha menjalani kehidupan seperti semula tanpa adanya Aga dan fokus terhadap Alvin semata. Namun, semua itu justru berakhir menimbulkan luka.
Hanya karena sosok Alvin, Liona tidak mampu berpikir jernih dan hanya bisa berpikir saat itu juga. Lari ke Paris dengan seluruh uang tabungan hanya untuk menenangkan diri. Beruntung kampus sudah tidak ada proses belajar mengajar sebab sudah memasuki waktu libur setelah ujian semester. Justru ia telah mengirimkan surat resign seminggu lalu.
Liona tidak lagi peduli apakah semua ini beretika dan justru meninggalkan tanggung jawab begitu saja. Namun, semua tidak terpikirkan jauh saat ia hanya ingin menyendiri.
"Liona, are you okay? I think you are not fine."
"Maaf, Lex."
"Maaf? Untuk apa?"
"Sikapku waktu itu yang marah-marah enggak jelas ke kamu, nyuruh kamu pergi padahal juga enggak perlu. Aku terlalu berlebihan. Maaf ...."
Iya, Aga sangat mengingat kejadian itu. Hal yang membuatnya berhenti untuk mencari tahu tentang Liona dan berakhir membuka hati untuk Jessica. Kata-kata emosional yang diungkapkan Liona juga menggiring Aga untuk tidak lagi memikirkan wanita itu dalam beberapa bulan terakhir. Namun, semua itu nyatanya harus berakhir sia-sia, sosok Liona kembali hadir di depan mata tanpa sengaja.
"Udah lama, Liona, enggak ada yang perlu dimaafin. Meskipun memang banyak pertanyaan di benakku tentang kamu, tapi lupakan aja kalau memang kamu enggan cerita apa pun."
Liona masih terdiam dan menatap lurus ke depan. Aga dapat menangkap sorot mata tanpa gairah itu. Pria itu juga dapat melihat wajah lelah dan tidak bersemangat.
Aga mengembuskan napasnya saat Liona masih bungkam. "Seberat apa pun hidupmu, kamu harus bisa nikmati itu, Liona. Semua proses itu suatu hari bakal membuat kamu semakin dewasa dan paham akan hal-hal kecil yang mungkin kamu lupakan. Jangan sampai menyiksa diri dan terlarut dalam permasalahan, apalagi kesedihan."
"Aku ... capek, Lex." Liona menjeda sejenak dan memejamkan matanya untuk beberapa detik. "Jadi dewasa sesulit itu ya? Capek banget rasanya."
"Iya memang sulit, berat juga, dan kamu enggak harus selalu pura-pura kuat untuk menghadapi proses itu. Terkadang kita juga butuh melampiaskan rasa sedih, kecewa, atau apa pun itu. Bukankah tidak ada larangan untuk meluapkam apa pun emosi dalam diri?"
Aga melirik ke arah Liona yang masih menatap lurus ke halaman luas belakang rumah Evanders. Namun, tidak butuh waktu lama sampai air mata itu mengalir dan membuat Liona menangis sesegukan dengan menutup wajahnya.
Tidak tega menjadi hal pamungkas yang selalu berdiri di tempat tetinggi tingkat kepedulian Aga. Pria itu tidak mampu membiarkan siapa pun merasa terpuruk dan dengan sigap Aga mendekat untuk memeluk Liona. Membiarkan wanita itu untuk menangis di dadanya.
"It's okay. Everything will be okay, Liona. Menangis lah kalau yang kamu butuhkan hanya itu," ujar Aga lagi yang turut mengusap punggung wanita itu.
Sedangkan Liona semakin menangis di pelukan Aga, semua beban yang membelenggu akhirnya terluapkan tanpa mampu dikendalikan lagi. Entah dalam hal ini, kehadiran Aga seakan tepat pada waktunya. Liona tidak akan lagi berusaha menepis kehadiran Aga.
Yap, hanya Aga yang dibutukan Liona saat ini.