10 ~ PROGRESS HUBUNGAN

2171 Words
Enam bulan berlalu, Aga kembali dengan kehidupannya tanpa Liona. Selama beberapa bulan memang rasanya tidak ada momen yang mempertemukan mereka lagi, membuat Aga juga tidak berharap lebih. Justru waktu yang ada diisi oleh sosok Jessica. Hari ini, iris mata cokelat tua itu masih menatap layar laptop dengan serius. Jemari tangan juga tak luput untuk meraih sebuah cangkir berisi kopi guna menghangatkan tenggorokan dan membuat pikiran tetap jernih. Aga, meskipun hari libur sudah di depan mata, tetap saja di rumah dengan segala kesibukan mengurus perusahaan. Tidak ada hal lain selain mengecek segala pekerjaan agar tidak terlalu menunda waktu. Pria mapan itu benar-benar menjelma sebagai mendiang sang ayah yang gila kerja. Mungkin yang berbeda, Aga masih waras untuk sekadar menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat dan bisa setidaknya meluangkan waktu untuk kehidupan yang lain. Suara pintu terketuk membuat atensi pria itu kini menyorot ke arah ujung ruangan, di mana ternyata sang Tante sudah berdiri di sana. "Eh, Tante, kapan dateng? Kok Aga enggak tau Tante dateng?" "Gimana mau tau kalau fokusmu ke laptop terus. Lagian weekend ngerjain apa sih, Ga?" "Ya kerjaan, Tan. Daripada nganggur kan?" "Ya Tuhan, monoton sekali hidup ponakan hamba! Sama aja kayak bapaknya dulu." "Ck, Tante mulai kan ... ada apa sih, Tan?" tanya Aga yang akhirnya menutup laptop, melepas kaca mata dan mulai bangkit dari kursi kerjanya. Ia dan wanita paruh baya itu melangkah keluar ruang kerja pribadi Aga di rumah. Satu ruangan lagi dalam rumah yang tidak pernah diubah sejak sang ayah menempati. Kini, menjadi ruang pribadi untuk Aga termenung selain menyelesaikan tanggungan kantor. "Loh, ada Om Reno? Maaf, Aga enggak tau kalau rame." Aga cukup terkejut saat melangkah ke ruang tengah, terdapat Reno--adik sang ayah--bersama keluarganya juga turut berkunjung. Senyaman itu Aga di ruangannya hingga tidak mendengar keributan dari sepupu-sepupunya kali ini. "It's okay. Kita ngerti, Aga. Kata ART, kamu lagi urus pekerjaan, jadi kita enggak ganggu." "Astaga, maaf, Om. Tadi Aga lagi urusin beberapa berkas di kantor. Ini ada apa kok rame-rame ke sini?" "Enggak ada, kita cuman mau ngunjungi ponakan aja. Om kan jarang banget bisa kemari, mumpung lagi off di rumah sakit, jadinya sekalian ke sini. Kebetulan Tante kamu ini ngajak." Aga hanya melesungkan senyum dan akhirnya menyuruh sang ART untuk menyiapkan beberapa makanan. Setelah itu, ia kembali duduk bercengkerama bersama keluarga. Hal yang cukup membuat Aga tidak terlalu kesepian sebab sepupunya masih ada yang kecil dan hal itu membuat hiburan tersendiri saat melihat mereka bermain di rumahnya. "Oh iya, Ga. Udah enam bulan nih, mau setahun. Gimana perkembangan kamu sama Jessica?" "Eh, Aga kamu jodohin lagi, Sil?" tanya istri dari Reno ke iparnya itu. Wanita itu hanya tersenyum lebar dan siapa lagi yang tidak tahu tingkah laku Silvi yang dari dulu berusaha menjodohkan sang keponakan ke sana kemari. "Habisnya aku sebel lihat bujang satu ini enggak pernah ngenalin ke kita punya calon, loh. Padahal usia Aga udah pantes banget buat nikah, kan?" Silvi mulai membakar obrolan yang mencatut nama Aga. "Emang ada standar nikah harus usia sekian ya? Semua kan harus siap lahir batin, masa iya dipaksain?" "Bukan gitu, Aga. Ish, kamu tuh ya ... jangan sampe Tante ragu kalau kamu enggak suka perempuan ya?" Byur! Minuman yang Aga tenggak barusan mendadak keluar begitu saja dari mulutnya ketika mendengar tuduhan sang tante. Sementara itu Reno dan sang istri berserta suami Silvi cukup tertawa ringan mendengar celotehan wanita paruh baya itu. "Ya Tuhan, Tante! Kenapa mikirnya begitu? Aga masih normal!" Sumpah! Aga malu sekarang di depan Om dan Tantenya. Memang benar, jika berhadapan dengan Silvi itu harus super duper sabar, sebab sang Tante memang dari dulu sudah terkenal dengan ucapan asal bunyi, tetapi tepat sasaran. Bahkan karena kebiasaan absurd itu, semua justru hanya tertawa. "Emangnya kamu jodohin sama siapa lagi si Aga?" Kini, suara suami Silvi mulai turut andil. "Anaknya keluarga Sukmajaya, Mas. Yang cewek itu, si Jessica. Kak Reno juga kenal kan?" Tidak dipungkiri, Reno pun juga mengetahui keluarga Sukmajaya sebab ia sempat turut membantu Silvi dulu untuk memegang usaha milik keluarga sampai adik perempuannya itu mampu mengatasi sendiri. Pria paruh baya itu hanya mengangguk tanpa berkomentar lebih lanjut. "Padahal Jessica itu cantik loh, Ga, pinter juga, cocok sama kamu. Masa sih kamu enggak tertarik buat pacaran sama Jessica?" "Kenapa harus pacaran kalau bisa langsung lamaran sih, Tan?" Pernyataan spontan dari Aga itu membuat sejenak keheningan turut hadir di antara mereka semua yang ada di ruang keluarga. Ucapan tanpa memikirkan konsekuensi dan hanya bersumber dari rasa kesal diminta progress, seolah memang sudah deadline, membuat Aga membeo dengan lantangnya seperti itiu. "Lamaran! Oke, kita lamar Jessica! Setuju semua kan? Kak Reno setuju kan?" Reno hanya mengangguk di susul istrinya dan juga suami Silvi yang juga menyetujuinya. Sedangkan Aga, membulatkan mata saat respon sang tante justru semakin di luar kendali. "Tan, loh, maksud Aga--" "Psstt! Sudah deal!" cetus Silvi yang sudah menempelkan sebuah ponsel di telinganya. Mampus! Aga hanya bisa menggaruk tengkuknya saat lagi-lagi ucapannya menjadi boomerang bagi diri sendiri. Maksud hati hanya sebuah pengkiasan agar segera terhindar dari pertanyaan lain, tetapi sang tante sangat serius menjodohkan dengan wanita pilihannya. Tidak bisa berbuat apa-apa lagi saat keputusan besar itu Silvi yang memegang. Walau dalam hati pun sebenarnya Aga juga tidak terlalu menolak, sebab selama enam bulan berlalu kedekatan yang tercipta semakin intens. Ia dan Jessica sering menghabiskan waktu bahkan sempat berlibur sebentar berdua. Waktu enam bulan memang cukup singkat bagi Aga, tetapi pria itu bahkan seakan sudah paham bagaimana sifat dan keseharian Jessica. Namun, beberapa detik kemudian, ia kembali termenung di tempatnya. Pendengaran yang masih tajam mendengar bahwa Silvi ternyata menelepon keluarga Sukmajaya untuk melakukan pertemuan keluarga, di saat itu juga hatinya kembali bergejolak. Apakah ia siap kembali menjalin sebuah komitmen bersama orang lain? Apakah ia mampu membuat pasangannya bahagia dan tidak menimbulkan luka lagi? Aga menarik napas perlahan dan mdngembuskannya dalam diam. Keraguan dan ketakutan itu kembali hadir dalam benak Aga. Apalagi ia masih ingat ucapan dan respon Liona saat ia meminta kembali. Beberapa kali luka menjadi suatu hal yang membuat Aga menyematkan bahwa dirinya hanya bisa melukai hati pasangannya. Belum lagi, Aga sudah terlalu lama menyendiri hingga mungkin lupa cara untuk mencintai seseorang secara tulus. "Oke, minggu depan kita ketemu dulu sama keluarga Sukmajaya. Aga siapin diri kamu ya ... haahh, akhirnya ponakan Tanye yang satu ini melepas masa lajangnya." "Tante, tapi--" "Tenang saja, hanya pertemuan keluarga, masih ada waktu buat kamu memikirkan untuk benar-benar maju atau mundur," ujar Reno, yang mungkin memang perasa terhadap perasaan sang keponakan, hanya bisa menenangkan Aga. Tidak ada lagi pembelaan yang bisa dilontarkan mulut Aga. Semua terbungkam dan hanya bisa mengangguk. Ia tidak tahu atau lebih tepatnya belum tahu apakah semua ini memang diterima baik oleh Jessica atau apakah justru akan membuat wanita itu risi. Aga kembali menelan saliva memikirkan opini terburuk dalam pikiran. **** "Minggu depan, kita ketemu keluarga Aga, ya, Jess," ujar Berlin--ibu Jessica yang tiba-tiba membuka obrolan saat mereka tengah berkumpul. "Ha? Maksudnya gimana, Ma? Ketemu? Mama ada acara lagi?" Berlin hanya tersenyum penuh arti dan mulai duduk di sisi suaminya lagi dengan menggantung pertanyaan sang anak. Sedangkan Jessica mengerutkan dahi sebab tidak benar-benar tahu tujuan itu. "Kayaknya ada yang mau nyusul kakaknya nih, Pa." Andalas--sang ayah yang tadinya tengah menatap layar ponsel--kini menatap istrinya kemudian beralih ke Jessica yang berada di sisi kiri. Seolah pria paruh baya itu tahu topik yang dibicarakan sang istri. "Jessica mau nyusul nikah? Sama siapa, Jess? Papa kok baru tau kamu punya pacar?" "Hah? Pacar? Nikah? Jess enggak punya pacar, Pa. Tau ih Mama enggak jelas!" "Itu loh, Pa, si Aga. Ponakan si Silvi, barusan Silvi nelepon, katanya minggu depan mau ajak keluarga kita ketemu sekalian mau ngomongin hubungan Jessica sama Aga ke depannya. Roman-romannya si Aga ini maunya langsung serius, enggak pake pacaran deh, Jess." Jessica yang sedari tadi memerhatikan sang Ibu langsung menganga mendapati informasi itu. Aga? Mau serius? Maksudnya apa? Batin Jessica langsung penuh dengan pertanyaan dan hal itu telak membuat degup jantungnya mendadak berpacu dua kali lipat dari biasanya. Bahkan wanita itu langsung meletakkan telapak tangan di d**a guna menenangkan diri. Aga suka aku? Tapi selama ini dia nggak ngomong apa-apa, kok? Semakin dipikirkan, justru hal itu membuat senyum Jessica terkembang sempurna. Apakah kali ini perasaannya berbalas? Bahkan sebelum ia mengungkapkan perasaan itu pada Aga. Enam bulan memang cukup singkat bagi pertemuan dan perkenalan mereka. Namun, Jessica menyadari bahwa ia menyukai Aga bahkan jika ditanya ingin memiliki, sisi lain Jessica sudah lantang ingin semua itu terjadi. Aga pria yang baik dan sopan. Pria itu benar-benar sempurna di mata Jessica. Tidak pernah sedikit pun ada sikap yang membuatnya menghindar dan justru semakin dibuat kagum. "Tapi, kamu setuju kan Jess kalau emang pertemuan nanti bakal bahas tentang hubungan kalian?" tanya Berlin. "Setuju! Eh, maksud Jessica, ya kalau emang udah jalannya Jessica terima aja, kok." "Wah, ada yang lagi kasnaran deh kayaknya, Pa. Cepet banget jawabnya, enggak ragu lagi," goda Berlin. "Apaan sih, Ma, udah ah, jangan godain Jess mulu dong, Pa, Mama loh ...." Andalas hanya tertawa melihat sikap salah tingkah Jessica. Pria itu mendukung apa pun yang mungkin nanti akan menjadi keputusan besar. Apalagi melihat latar belakang keluarga Aga, pria itu rasanya tidak akan ragu menerima Aga masuk ke dalam keluarganya. Andalas tidak munafik, ia setuju apabila Jessica bersama Aga bukan lagi tentang bagaimana keluarganya kenal baik dengan keluarga Aga. Namun, sosok pemuda itu sendiri sudah terbilang mapan di usia yang memang matang untuk mengikat sebuah komitmen. Tidak bisa dipungkiri jika sang anak benar-benwr bisa bersama Aga, semua itu sepadan. Aga seorang pemilik perusahaan yang tengah melejit saat ini. Kehidupan yang terjamin sudah mampu dilihat bahkan dengan mata telanjang. Apalagi jika melepas putri kesayangan dengan sosok yang mapan secara finansial dan memiliki budi luhur baik, jelas sangat diinginkan Andalas sebagai seorang ayah. Banyak hal yang ada di pikiran pria paruh baya itu saat ini. Kemungkinan me-merger usaha yang tengah dijalankan keluarga Kavindra juga salah satunya. Pria itu tersenyum tipis membayangkam bagaimana perusahaannya akan semakin besar dan pastinya keuntungan yang akan didapatkan semakin berlipat. **** Malam harinya, Jessica melemparkan diri ke kasur empuk berukuran besar. Berbantal boneka kesayangannya, Jessica merebahkan diri di sana. Ia lantas membuka ponsel dan mencari kontak Aga. Sesenang itu hatinya sekarang. Ia lantas mengetikkan beberapa pesan untuk Aga, memastikan bahwa segala informasi yang ia terima hari ini benar-benar nyata. Jessica tidak akan malu-malu untuk menanyakan langsung, setelah sebelum itu masih menyiapkan hati untuk sekadar menanyakan kabar Aga hari itu. Beberapa detik setelah mengirim sebuah pesan teks pada pria itu, Jessica meletakkan ponsel dan menatap langit-langit kamarnya. Suasana hati yang berbunga mampu membuat senyum itu bertahan lama. Hingga, sebuah nada dering membuyarkan lamunan dan membuat Jessica seketika meraih ponsel dengan cepat. Nama Aga tertera di layar benda pipih itu, membuat dadanya berdegup kencang dan mendadak gugup lagi. Jessica mengembuskan napas kasar guna menghempas segala kegugupan yang menyerang. Kemudian, barulah ia mengangkat panggilan itu. "Hallo, Aga ...." "Lagi ngapain? Udah tidur belum?" Suara Aga mulai menjadi candu bagi Jessica kali ini. Jika bisa melompat, wanita itu bahkan akan melompat kegirangan. Jatuh cinta membuatnya kembali seperti remaja dengan segala tingkah konyolnya. "Kenapa, ya?" "Mau ajak keluar sebentar. Bisa?" "Bisa! Eh, itu ... iya bisa, kok. Tapi, ini udah jam sembilan." "Iya, aku tau. Tapi kalau kamu bisa, aku udah di depan rumah kamu." "Hah?" Jessica langsung melompat kala mendengar penuturan Aga. Wanita itu seketika beranjak dari ranjang menuju ke jendela kamar. Dengan sedikit terburu-buru ia membuka kembali jendela itu dan langsung keluar ke arah balkon. Ia lantas menatap ke arah gerbang dan dilihatnya Aga yang juga mentap ke arahnya walau jarak yang terlihat lumayan jauh. "Bisa, enggak? Kalau enggak, aku pulang sekarang," ujar Aga memastikan lagi. "Oh, bentar-bentar. Tunggu aku sebentar. Aku keluar sekarang. Oke ...." "Oke, aku tunggu di bawah. Maaf kemalaman." Jessica hanya tersenyum dan langsung mematikan panggilan itu. Ia segera berbalik masuk ke dalam kamar dan mulai berbenah diri. Sementara di luar rumah Jessica, Aga tampak menunggu dengan sedikit gugup. Baru hari ini, ia merasakan lagj bagaimana rasanya gugup karena seseorang. Bahkan ia ada di depan rumah Jessica malam ini sebab sedari tadi memikirkan wanita itu. Rasa ragu yang selama ini bersarang dalam hati, tampaknya hanya ketakutan Aga untuk mengakui bahwa ia sudah menjatuhkan pilihannya tanpa sadar. Belenggu masa lalu yang seolah terikat bersama Liona, mungkin sudah harus benar-benar terputus guna masa depan yang lebih jelas. Aga tidak bisa seterusnya mengharapkan sosok yang bahkan menyuruhnya untuk pergi. Pikiran realistis itu mulai hadir membuka mata hati Aga, bahwa Jessica bisa menajdi cahaya berikutnya yang mampu membawa Aga pergi dari kubangan gelap masa lalu. "Aga ...." Pria itu menoleh dan sebuah senyum yang terpancar dari wanita di depannya membuat ia juga melesungkan senyum simpul. "Udah siap? Mama sama Papa kamu enggak kenapa-kenapa kalau kamu keluar? Aku perlu ijin dulu, mereka masih bangun?" "Mereka udah istirahat sih kalau jam segini. Kita langsung aja nggak papa kok." "Oh gitu, ya udah ayo." Jessica mengangguk dan senyum yang bertahan serta rasa rindu yang sedari tadi merangsek hati sudah mendapat penawarnya. Wanita itu masuk ke dalam mobil Aga, setelah dibukakan pintu oleh pria itu. Setelahnya, barulah Aga menuju ke arah kemudi dan melajukan mobil meninggalkan kediaman Jessica.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD