Bab 3. Jadi Istri Kedua

1857 Words
"Omar, aku mau pulang aja! Aku gak mau dirawat sama mantanmu!" Sophia tidak terima dengan perlakuan dokter yang seharusnya merawatnya, malah lebih perhatian pada Omar. Siapa lagi kalau bukan dokter Farahila alias MANTAN OMAR JONES. "Eh, beneran?" Omar agak kaget, kemudian terkekeh. "Bagus deh kalau kamu gak jadi ke rumah sakit. Uangku bisa aman," katanya, tidak memikirkan kalau setelah ini bisa dipastikan dia akan dalam bahaya. Dan benar saja, sedetik kemudian setelah ia mengatakan itu, Sophia menatapnya kesal dan menyentil bibirnya Omar. "Ini mulut keterlaluan banget deh perasaan! Malah lebih mentingin uangnya daripada kesehatan aku! Diaduin ke mama nanti nangis!" Menyentil bibir Omar sekali lagi, memuaskan hatinya. Ia akan semakin puas kalau Omar semakin kesakitan. "Aww! Jangan disentil dong. Ini kan bibir, bukan bola bekel," melindungi bibirnya dari serangan sentilan Sophia lagi. Ia menoel-noel bibirnya, "untung masih sehat jasmani dan rohani. Masih bisa kiss-kiss cewek setelah ini." Katanya santai. "Awas aja, nanti aku beneran sentil dua bola bekel kamu yang nakal itu!" Sembari pandangan Sophia turun ke bawah, tepatnya ke s**********n Omar. "Disentil mungkin gak enak, ditendang baru bisa dikatakan enak. Mau?" Seketika Omar langsung merapatkan kakinya. "Jangan dong. Aset berharga nih. Meski jumlahnya cuman dua, makyus tokcer jos ke semua cewek!" Membanggakan dirinya sendiri, padahal ada satu cewek yang susah sekali ditaklukkan olehnya. Tidak lain dan tidak bukan adalah Sophia sendiri. Omar merangkul Sophia pergi dari hadapan Farahila yang menganga, tidak menyangka ditinggalkan begitu saja tanpa ada kalimat perpisahan. Untungnya Sophia masih punya perasaan sebagai sesama perempuan, dia mengingatkan Omar. "Om, besok-besok kalau ketemu sama mantan, kalau mau pisah itu setidaknya dadah-dadah kek, gimana kek. Biar kesannya dia nyesel putus sama kamu," saran dari Sophia langsung dipraktekkan Omar. Dia berbalik, melambaikan tangan pada Farahila, dan nyengir. Sudah, begitu saja. "Bodoh banget ni cowok. Cuman dadah-dadah doang, sama nyengir dikit, anehnya banyak perempuan langsung klepek-klepek sama dia. Heran deh aku, padahal si Om-Om ini B aja alias biasa aja, alias basi aja. Tapi kenapa banyak yang suka sama dia? Hadeh... Lebih keren, lebih manis, lebih mantap, lebih gantengan Nevan kemana-mana." Batin Sophia, masih tetap memposisikan Nevan di atas Omar. "Udah, gitu aja?" Tanya Sophia. Omar mengangguk. "Emangnya apa lagi?" Tanya Omar. Sophia menggeleng-gelengkan kepalanya heran, "bodoh!" Katanya tanpa penyesalan sedikitpun. Dia sering mengatakannya, bahkan mungkin menjadi kosa kata wajib Sophia saat mengata-ngatai Omar. Omar pun sering mengata-ngatai Sophia lebih buruk lagi, saking kesalnya dengan perempuan itu. "Kamu ngatain aku bodoh?" Tanya Omar, dia berkacak pinggang mau melawan Sophia. Tentu Sophia tidak mau kalah. Dia ikut berkacak pinggang, melototkan matanya penuh ancaman pada Omar. "Iya, aku ngatain kamu bodoh, emangnya kenapa? Pengen banget diakui jadi cowok yang pintar?" "Ya mau lah, masa enggak." Balas Omar. "Syaratnya satu!" "Apa?" Tanya Omar. "Antar aku ke kantornya Nevan, baru aku bilang kamu cowok pintar." Tantangnya yang selalu berujung pada Nevan dan Nevan. Dia harus menguntungkan dirinya sendiri, sedangkan Omar harus lah merugi. Ya seperti itu lah peraturan di antara dua orang ini—Omar dan Sophia. "Berani gak? Kalau gak berani kamu beneran aku cap sebagai pria yang bod—" "Oke. Kita pergi ke sana!" Putus Omar dengan sangat terpaksa. Sophia sangat senang, sampai berjingkrak-jingkrak. Ia melupakan sakit perutnya, melupakan kalau dia sedang memakai high heels juga. Bagaimana kalau ujungnya patah dan membuatnya terjatuh? Pada akhirnya yang disalahkan tetap Omar, kan? Tepat sekali. Tanpa diragukan lagi. "Sial! Nevan lagi, Nevan lagi," Omar kesal mendengar nama Nevan terus, sampai menggaruk kepalanya yang tidak gatal sedikitpun. Masuk ke dalam mobil pun ia masih mengutuk Nevan di dalam hatinya. "Awas aja Nevan. Nyesel banget aku punya temen kayak kamu." Batinnya penuh kekesalan kemudian mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan rumah sakit. Sedangkan Farahila, dia sudah merasakan malu bukan main. Menengok ke kanan-kiri dan melihat banyak orang yang menyaksikannya. Langsung tutup muka, merasakan malu yang amat terasa sampai ke tulang-tulang. "Aduh, malu banget. Padahal tadi udah sempat-sempatnya dandan buat ketemu mantan. Kirain ngajak balikan, eh malah ditinggal. Apes banget." *** Begitu semangatnya bertemu dengan Nevan, Sophia berdandan di tengah perjalanan. Memang Sophia tidak membawa tasnya, tapi perlengkapan make-upnya selalu ada di setiap titik barang-barang yang dimiliki Omar, termasuk mobilnya. Sophia sengaja melakukannya agar perempuan-perempuan yang gatal terhadap perhatian Omar akan menyingkir dengan sendirinya, menduga kalau Omar sudah memiliki pasangan. Di mobil ini, tidak hanya menampung make-up Sophia saja, tapi banyak lagi barang-barang Sophia yang terselip di mobil ini. Mulai dari baju, high heels, bahkan sampai ke pakaian dalam pun bisa ditemukan di sini. Ya, sekedar sebagai umpan saja semisal Omar berani membawa cewek lain. Dan hal ini didukung sepenuhnya oleh Jenny sehingga Omar tidak bisa melarang Sophia. Makanya kalau Omar mau kencan dengan perempuan lain, dia pasti akan menggunakan mobil yang berbeda. "Make-up jangan tebal-tebal. Kamu mau nyaingin nenek lampir?" Omar selalu menggerutu kala Sophia mau bertemu dengan Nevan dan berubah jadi cewek yang kegatelan. "Perasaan kamu kegatelan terus kalau mau ketemu Nevan. Harga dirinya dijaga sedikit kek." "Emangnya kenapa? Kamu mau di make-up in?" Tanya Sophia dengan sangat ketus. Ia menarik kepala Omar, mencorengkan lipstik kemerahan di pipi pria itu. "Tuh aku udah pake in kamu lipstik merah merona janda, jadi kamu jangan kegatelan juga, Om. Harga diri kamu juga jangan dimurahin, mau aja digoda cewek sana-sini. Celap-celup sana sini." Ejek Sophia membalas Omar. Setiap kali bertemu, kedua orang ini akan terus bertengkar, saling mengejek satu sama lain, bahkan saling pukul pula seperti saudara. Tapi di satu waktu yang bersamaan, mereka juga bisa saling peduli satu sama lain. Aneh. Omar kesal, ia sengaja mengebut, kemudian mengerem mobilnya berulang kali hanya demi mengganggu Sophia menebalkan make-upnya lagi. Karena kenakalan Omar, Sophia sampai gagal membuat alis. Berusaha sabar, tapi tidak bisa. Sophia bukan tipikal orang yang bisa bersabar jika berhadapan dengan Omar. "Om, kamu diam atau aku sunat?! Alis aku rusak nih!" Teriak Sophia tepat di samping telinga Omar. Omar malah terkekeh-kekeh, kembali melakukan hal yang sama. Dia kembali mengebut hingga membuat Sophia berteriak, kemudian mengeremnya lagi sampai membuat badan Sophia terlempar ke depan. "Awww! Kepala aku kejedot!" Sophia lupa memakai sabuk pengaman dan ini lah akibatnya. Dengan cepat Omar menghentikan mobilnya sementara setelah mendengar teriakan kesakitan Sophia. "Kamu gak apa-apa kan?" Tanyanya, khawatir pada kening Sophia yang terjedot. Sophia mendesis kesakitan, mengusap-usap keningnya yang sakit. Sophia mendelik tajam pada Omar yang sebenarnya khawatir, namun terpaksa menarik senyumnya. Omar mengulurkan tangannya hendak ikut mengusap kening Sophia, tapi tidak bisa. Sophia lebih dulu menyambar rambut Omar dan menjedotkannya sekali di kemudi mobil pria itu. "Gimana? Enak gak rasanya?" Tanya Sophia. Omar menggeleng. "Enak dari lubang sedotan?! IQ aku langsung anjlok, kampret! Pusing banget." "Terserah!" Sophia tidak peduli. Dia lanjut memperbaiki alisnya. Meski pada akhirnya Omar harus mendapatkan batunya, ia tetap mau lanjut menuntaskan janjinya. Mengemudikan mobilnya menuju kantor Nevan yang jaraknya tidak jauh lagi. Beberapa kali Omar menoleh melihat Sophia yang masih saja berjibaku dengan alat-alat make-upnya. Omar jadi serba salah. "Please, Sophia spesies cewek yang kayak gimana sih? Ditegur gak mau, gak ditegur malah jadi makin gila. Masa iya pake make-up sampai tebal gitu? Nevan pasti ilfeel!" "Kamu bisa gak jangan pake make-up lagi? Itu make-up kamu udah tebal, tapi kamu tebelin lagi. Udah kayak topeng badut, tahu gak?! Nevan pasti ilfeel sama kamu." Sophia malah memeletkan lidahnya pada Omar. "Biarin! Nevan gak mungkin ilfeel sama aku, dia pasti terpincut sama aku. Aku kan cantik, gak kayak kamu yang jelek!" "Idih!" *** Sophia berlari seperti anak kecil masuk lobi kantor Nevan, membuat Omar menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keheranan. Padahal beberapa menit yang lalu dia merasakan sakit perut yang teramat sangat hingga membuatnya pucat. Sekali lagi, kunci dari seorang Brenda Lan Sophia adalah Nevan, dan sepertinya Omar harus benar-benar menanamkan mindset itu agar kedepannya tidak terheran lagi. Memasuki lobi, sama seperti yang sebelum-sebelumnya, Omar ditatap penuh kekaguman oleh kebanyakan karyawan-karyawan Nevan. Didambakan dan dijadikan sebagai calon suami idaman. Banyak yang melambaikan tangan kepadanya, tapi dia hanya memperhatikan Sophia. Sophia hampir saja terpeleset saat baru saja sampai di depan lift, mungkin karena high heelsnya. Spontan saja Omar berteriak, "makanya jangan kekanakan!" Teriaknya. Ia pun juga berlari menyusuli Sophia dan merangkul bahu perempuan itu. "Jangan rangkul aku, nanti Nevan bisa salah paham." Sophia melepaskan tangan Omar dari bahunya. Omar hanya bisa memutar matanya malas, mendengus kesal. "Percaya diri banget sih. Nanti kalau udah tahu yang sebenarnya malah nangis." Batin Omar. Sesampai di lantai kantor Nevan, Sophia sudah mulai murka. Pasalnya, baru saja keluar dari lift, ia melihat Cindy yang masih bekerja sebagai sekretaris Nevan. "Aku pikir Nevan sudah pecat cewek gatal yang satu ini, ternyata dipertahanin juga," gumamnya kesal. "Jangan buat masalah. Aku malu sama Nevan kalau kamu gini terus," Omar memperingati Sophia lebih cepat sebelum Sophia bertemu Cindy. "Aku juga malas ngobrol sama dia. Rasanya tanganku pengen tarik mulutnya terus sampai putus." Kesal Sophia. "Jaga sikap kamu. Kalau kamu bertingkah, Nevan bisa usir kita," ujar Omar. Dan dalam hati ia berkata, "dan aku juga gak mau kamu sedih hanya gara-gara dimarahin sama cowok itu. Kalau aku yang marahin kamu, mungkin kamu akan lawan aku. Tapi kalau Nevan, kamu langsung sedih, nangis. Aku hanya mau jaga perasaan kamu, dan juga menjaga keamanan ku di tangan mama." Sophia melengos tidak peduli kala Cindy menyapanya dan menyapa Omar. Ia langsung berlalu masuk ke dalam ruangan Nevan, dan seketika suasana hatinya berubah sesaat begitu cepatnya. Ia menjadi sumringah, hatinya berbunga-bunga. "Halo, Nevan! Calon istri kamu dah dateng nih!" Seru Sophia dengan sangat percaya diri. Dia tidak menyadari kalau selain Nevan, di ruangan ini ada cewek lain lagi. "Maksud lo apa ngaku-ngaku jadi istri Nevan?" Interupsi itu hadir dari samping Sophia, seorang perempuan cantik nan anggun yang duduk manis di sofa, menatapnya murka. Sophia menoleh, menilai perempuan itu dari atas sampai bawah. "Adiknya ya?" Sophia mendekat dan mengulurkan tangannya di depan perempuan itu. "Perkenalkan, aku Sophia, calon istrinya Nevan, calon kakak ipar kamu." Malah tangan Sophia ditepis oleh perempuan itu. "Jangan sombong! Aku tunangannya Nevan!" Balas perempuan itu ketus. "Gak mungkin!" "Iya, itu benar, Sophia. Dia tunangan aku." Nevan nyeletuk, mendekati dua perempuan itu, disusul oleh Omar dari belakang mereka. Omar sudah menduga ini dan dia melihat raut kesedihan dari muka Sophia. Sophia kaget mengetahui kalau Nevan punya tunangan, sedangkan selama ini ia sudah berusaha membuat Nevan putus dengan pacarnya. Ia menatap Nevan yang hanya tersenyum saja padanya, sedangkan Omar? Pria itu menariknya. "Mereka dijodohin." Kata Omar. "Kok kamu gak kasih tahu aku?" Mata Sophia berkaca-kaca, tentu ia kecewa dan sakit hati. Dia melampiaskannya dengan memukul d**a Omar. "Kan aku yang mau jadi istrinya, bukan cewek itu." "Mau gimana lagi? Mereka dijodohin keluarganya. Kali ini kamu gak bisa buat mereka putus. Mereka akan menikah, otomatis kamu gak bisa kejar-kejar Nevan lagi." Omar ikut sedih melihat Sophia menangis. Ia merengkuh tubuh perempuan itu. "Jangan sedih. Masih banyak cowok keren yang bisa kamu pacarin." "Contohnya aku," lanjutnya dalam hati "Pokoknya aku cuman mau nikah sama Nevan. Aku mau kok jadi istri keduanya." "Tapi aku yang gak mau punya istri dua, Sophia." Tolak Nevan, telah membuat Sophia malu bukan main. Nevan menolaknya untuk kesekian kalinya, tidak hanya di depan Omar, tapi juga di depan perempuan yang diduga menjadi tunangan Nevan. "Kok jahat?" Tangis Sophia, menatap Nevan yang hanya mengedikkan bahu. "Padahal aku sudah lama kejar-kejar kamu, tapi kamu malah suka sama cewek lain. Sakit lho hati aku diginiin."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD