Ellea bergegas mengejar pintu lift yang masih terbuka di pagi hari ini, pintu itu hampir tertutup hingga seorang menahannya.
“Jangan lari-lari sih,” ujar Kenzi yang sudah berada di dalam lift, melihat Ellea yang berlari, dia membuka kembali pintu itu dengan menahan tombol panahnya.
“Males nanti nunggunya lama lagi,” kekeh Ellea. Kenzi hanya mendengus, mereka hanya berdua di lift itu. Ellea bersandar di belakang, mesin berbentuk kotak itu memang tertutup tidak seperti lift di mall. Kenzi menempelkan lengannya di lengan Ellea. Membuat wanita itu tersenyum.
“Bagaimana urusan kemarin sudah selesai?” tanya Ellea.
“Syukurlah sudah fixed semua, aku juga sudah hubungi penjual rumah itu, sepertinya harganya masuk. Ada sedikit sisa untuk beli barang-barang dan furniture nanti, soalnya barang-barang di rumah lama sudah banyak yang enggak bisa dipakai, sebagian barang di rumah ibu juga sudah tua, mau dijual sama mbak Disa,” jawab Kenzi.
“Oh gitu, syukurlah kalau mencukupi,” ujar Ellea.
“Semoga sih minggu depan kita sudah bisa hunting barang-barang di toko khusus,” ujar Kenzi menyebut nama toko besar yang menjual perabotan rumah tangga, bahkan design untuk kamar. Mata Ellea membelalak. Lalu pintu lift terbuka, berhenti di lantai yang mereka tuju.
Mereka berpencar di depan lift, Kenzi memilih ke toilet sementara Ellea langsung menuju ruangannya.
“Ella, Ella you are my umbrella, eaaaa,” senandung Tora ketika Ellea baru saja masuk ke ruangannya, meletakkan tas sambil mendengus.
“Ellea not Ella,” ujar Ellea sambil bersungut.
“You know ada kabar baikkkkk?” ujar Tora.
“Apa tuh? Bonus? Naik gaji? Liburan?” tanya Ellea sambil duduk di kursinya.
“Salah,” ujar Tora.
“Apa?”
“Audit bulan depan dimajukan,” ujar Tora sambil bertepuk tangan dengan ekspresi wajah yang mengyiratkan kegetiran. Ellea memukul lengan empuknya kesal.
“Itu berita buruk namanya!” sungut Ellea.
“Bagus ya? Kita bakalan banyak lembur,” ujar Tora. Ellea hanya menggeleng kesal.
“Lembur terosss, gaji enggak naik!” sungut Ellea.
“Gaji siapa yang enggak naik?” tanya Nando yang tiba-tiba memasuki ruangan tersebut. Ellea menggigit bibirnya dan memukul lengan Tora lagi.
“Enggak Mas, bercanda aja kok,” ujar Ellea. Nando hanya tersenyum sumringah.
“Kamu tahu pak Guntur akan pensiun kan? Jadi beliau meminta audit dimajukan agar beliau tenang menghabiskan masa pensiun. Jadi divisi accounting akan bekerja lebih keras lagi, termasuk departmen finance dan purchasing,” ujar Nando.
“Siap, Mas,” tutur Tora.
“Kalian sudah mulai bisa menyiapkan berkas-berkas dan mengecek kelengkapan dokumen ya, agar saat audit nanti kita enggak terlalu capek,” ungkap Nando dengan nada suara yang dewasa sekali.
“Baik,” timpal Ellea. Nando kemudian pamit untuk ke ruangannya. Sementara Ellea dan Tora saling mengangkat bahu.
“Terlalu kaku enggak sih dia?” bisik Tora.
“Little,” ucap Ellea. Mereka pun berkutat dengan pekerjaan pagi mereka. Sementara itu Kenzi menuju ruang kerjanya, dia mengecek email dan menyadari ada pemberitahuan tentang audit. Padahal minggu ini dia akan sangat sibuk untuk mengurus segalanya. Dia pun mengumumkan di grupnya untuk mengadakan rapat pukul sepuluh nanti. Divisi accounting adalah divisi yang paling diperhatikan ketika audit, jelas saja karena pengelolaan keuangan dan sebagainya bermuara di tempat itu.
***
Minggu ini Kenzi benar-benar sangat sibuk, terkadang di siang hari dia harus keluar dari kantor untuk urusan penjualan rumahnya dan rumah ibunya, belum lagi dia harus menemui notaris untuk mengurus itu semua. Termasuk membeli rumah yang diinginkannya.
Sehingga di hari jumat dia sudah selesai membeli rumah tersebut, sepertinya memang sudah menjadi rejeki mereka. Semua urusan terasa sangat lancar. Ya ada uang tentu semuanya jadi lebih lancar.
Sabtu pagi menjelang siang, Kenzi mengajak Ellea dan kedua anaknya ke daerah Tangerang, di mana terdapat toko besar yang menjual furniture rumah tangga. Ghais dan Ghania sangat senang, mereka duduk di kursi belakang, bercanda dan berbicara apa saja. Tak ada yang memegang gadget karena mereka sibuk berkomentar banyak hal.
Ellea yang duduk di samping Kenzi itu hanya sesekali memperhatikan Kenzi, pria itu tampak sangat lelah. Kerut di keningnya mungkin bertambah, Ellea mengusap rambut Kenzi, semakin banyak rambutnya yang memutih.
“Kamu enggak niat warnain rambut? Jadi cokelat gitu?” ujar Ellea. Mengingat bahwa managernya, pak Guntur saja masih sering mengecat rambut menjadi warna Burgundy atau Cokelat tua.
“Mau sih tapi malas ke salon,” ujar Kenzi.
“Aku yang warnain nanti,” ucap Ellea.
“Janji ya?”
“Iya janji,” ucap Ellea sambil mengusap lengan Kenzi. Mereka pun tiba di toko besar itu. Ghais dan Ghania berjalan lebih dulu.
“Ell,” panggil Kenzi. Ellea menoleh ke arahnya. Kenzi menggenggam tangannya untuk berjalan bersisian.
“Tiara akan tinggal sama kita, kalau dia libur kuliah,” ucap Kenzi.
“Tiara?”
“Iya,” jawab Kenzi.
“Selama ini dia tinggal sama ibu soalnya ya?”
“Iya. Sejak kecil tinggal sama ibu.”
“Mas kalau boleh tahu, kenapa dia enggak tinggal sama orang tuanya?” tanya Ellea. Kenzi terdiam. “Maaf mas aku enggak bermaksud apa-apa, jangan salah paham. Aku hanya mau tahu saja. Aku enggak masalah kok tinggal sama Tiara, toh di pernikahan ini pun aku membawa dua anak,” ucap Ellea.
“Syukurlah kalau kamu enggak keberatan. Dia lebih dekat aku dibanding mbak Disa dan suaminya,” ujar Kenzi. Ellea hanya tersenyum lalu mengeratkan pegangan tangan Kenzi.
“Enggak apa-apa Mas, nanti kita belikan perlengkapan untuk kamarnya juga, kalau mas ada uang,” kekeh Ellea.
“Aku sudah pikirkan juga kok,” ucap Kenzi seraya mengusap rambut Ellea.
Tidak mau membuang waktu, Kenzi dan Ellea menyewa jasa designer ruangan yang tersedia di tempat itu. Terlebih mulai minggu depan mereka benar-benar akan sibuk dengan audit perusahaan.
Wanita muda itu menujukkan banyak foto untuk kamar anak, Ghania sibuk memilih kamar perempuan dan Ghais tentu saja kamar laki-laki dengan design remaja yang sederhana. Mereka menurut ketika Kenzi mengutarakan tentang budget. Kamar untuk Tiara pun cukup sederhana dengan nuansa warna cream dan cokelat seperti yang dia utarakan melalui pesan pada Kenzi.
Ellea cukup bingung melihat design kamar untuk kamar utama mereka, semua sangat indah. Kenzi menghitung dengan kalkulator di ponselnya, dia memang orang yang penuh perhitungan yang matang. Dia mengatakan pada Ellea tentang budgetnya sehingga mereka menyesuaikan peralatan dengan uangnya. Terlebih mereka belum membeli kulkas dan peralatan dapur lainnya.
Setelah menanda tangani kontrak kerja sama, mereka berkeliling sekali lagi untuk membeli pernak pernik lainnya. Lalu memutuskan makan di restoran.
“Ghania dan Ghais nanti di kamar atas ya, kalian belum liat rumahnya ya?” ujar Kenzi yang terlihat mulai mendekatkan diri dengan kedua anak Ellea itu.
“Belum, iya aku mau di atas,” ujar Ghania. Ghais pun mengangguk.
“Sore ini pulangnya kita ke rumah ya, karena om minta barang-barang dikirim secepatnya, jadi besok pagi harusnya sudah dikirim barang-barangnya, tadi juga om minta semua barang yang ready,” ucap Kenzi.
“Kita belum boleh panggil papa?” tanya Ghais tiba-tiba. Kenzi dan Ellea saling menoleh. Sepertinya Kenzi lupa membahasakan dirinya sebagai papa. Terlebih panggilan ayah sudah tersemat ke ayah kandung mereka.
“Iya tentu boleh, maaf om eh papa lupa,” kekeh Kenzi membuat Ghais dan Ghania tertawa. Kenzi memang tampak canggung, namun Ellea mengerti memang tidak mudah untuk tiba-tiba akrab dengan anak-anak dari pasangan. Terkadang berbeda dengan perempuan yang biasanya lebih mudah berbicara atau menyapa. Ellea sangat mengerti tentang hal itu.
“Jadi malam ini kita sudah tidur di sana?” tanya Ghania.
“Enggak dong, nanti kalian tetap tidur di rumah nenek kakek, besok pagi baru minta anter kakek ke rumah itu,” ucap Ellea.
“Terus mamah?” tanya Ghania.
“Mamah mau jaga rumah sama papa,” kekeh Ellea. Kenzi hanya mendengarkan mereka sambil makan. Mungkin mereka akan tidur di karpet malam ini.
***
Ketika sore tiba, Ghania dan Ghais benar-benar sangat senang berkeliling rumah itu, decak kagum tak henti keluar dari mulut mereka, terlebih saat mereka melihat area kolam renang. Ghania menyesali tadi tidak membeli balon untuk renang. Ellea berjanji akan membelikan balon flamingo besar untuknya nanti.
Setelah makan malam, Kenzi mengantar Ghais dan Ghania pulang ke rumah neneknya.
“Kamu tidur di sini saja, biar aku tidur di rumah itu sendiri, lagi pula belum ada kasurnya,” ucap Kenzi.
“Pakai tikar enggak apa-apa Mas, masa kamu sendiri. Apa kamu mau tidur di sini saja?” tanya Ellea. Kedua anaknya sudah bersih-bersih dan bersiap tidur, katanya agar hari cepat pagi.
“Masa pakai tikar? Nanti badannya sakit. Aku bisa tidur di mobil,” ucap Kenzi.
“Nih bawa kasur busa,” ujar ayah Ellea yang tiba-tiba menyodorkan kasur busa yang ada di ruang tamu, sudah menggulungnya dan diikat dengan tali. Ellea hanya tertawa dan menggeleng geli.
“Bapak nguping?” seloroh Ellea. Kenzi menerima kasur yang telah digulung itu.
“Kedengeran, enggak nguping,” ocehnya.
“Pinjam semalam ya Pak,” ucap Kenzi.
“Iya pakai saja, bawa bantal sekalian Ell,” ucap ayah Ellea yang disetujui Ellea. Setelah memastikan kedua anaknya tidur, Ellea pun kembali ke rumah itu dengan Kenzi. Mereka meletakkan kasur busa itu di kamar utama. Rasanya sangat aneh, di kamar seluas itu hanya ada satu kasur busa berukuran single.
“Besok ini akan terisi,” ucap Kenzi.
“Kita terlalu terburu-buru enggak sih Mas? Biayanya jadi bengkak kan?” cicit Ellea, mereka sudah berbaring bersisian. Memandang lampu gantung yang memang sudah tersedia di kamar itu.
“Habis mau bagaimana lagi, kita akan sangat sibuk minggu besok. Enggak apa-apa uang bisa dicari nanti. Semuanya sudah aku perhitungkan kok.”
“Nih enaknya nikah sama orang Finance kayak ini,” ucap Ellea seraya berbaring miring dan memeluk Kenzi. Kenzi mengusap kepalanya.
“Nikah sama orang purchasing juga seperti ini, nawar terusssss,” ujarnya membuat Ellea tertawa.
“Untung penawaran aku disetujui ya,” ucap Ellea.
“Lumayan hemat beberapa persen,” balas Kenzi sambil memejamkan mata. Tubuhnya terasa sangat lelah. Dia mengaktifkan mode tidur di smart watchnya.
“Selamat tidur,” ucap Kenzi. Ellea mengecup pipinya.
“Selamat tidur,” balas Ellea.
“Jangan macam-macam ya, aku capek,” ujar Kenzi sambil memejamkan mata.
“Ish geer,” seloroh Ellea. Kenzi mengusap lengan sang istri dan tak lama napasnya terdengar teratur, sepertinya pria itu benar-benar sangat lelah. Sementara Ellea tidak bisa tidur, mengapa sangat susah tidur di samping Kenzi? Mungkin memang belum terbiasa. Dia tak berani banyak bergerak, khawatir membangunkan Kenzi yang kelelahan. Karena itu dia menahan dirinya, memaksa memejamkan mata, berharap mimpi segera menyambutnya.
***