Sebuah Syarat

1631 Words
Di dalam paviliun. Cedric duduk di atas kursi sambil melamun sendiri. Jadi menyesal datang. Tahu begitu, ia tidak usah sampai jauh-jauh datang ke sini. Bila ujung-ujungnya dijebak dengan sebuah perjodohan konyol keluarganya. Meskipun, ia sadar, bila memang sudah menjadi rahasia umum keluarganya, yang menikah melalui jalur perjodohan. Kakaknya itu pun tidak luput dari hal tersebut. Meskipun berujung dengan maut. Karena sang istri yang meninggal saat melahirkan, beserta dengan bayi mereka juga. Bak sebuah pukulan telak. Sang kakak yang tadinya ceria serta penuh dengan canda tawa, akhirnya menjadi pendiam. Tidak pernah banyak bicara lagi dan hanya menuruti, setiap perkataan orang tua mereka. Namun, lain halnya dengan Cedric sendiri, yang memiliki jiwa pemberontak sejak dini. Tidak ingin diatur-atur dan hanya ingin bebas, untuk menjalani hidupnya sendiri, tanpa banyak tekanan dari pihak manapun. Tapi sayangnya, ia hidup di tengah-tengah keluarga yang otoriter. Tidak bisa, bila hanya hidup atas dasar keinginan sendiri. Harus taat dan patuh, untuk setiap kata-kata, yang orang tuanya ucapkan. Tidak bisa membantah, atau ada konsekuensi yang diberlakukan. Tidak peduli bila merugi atau menyengsarakan. Makanya, diperintah untuk mengelola perusahaan jauh dari rumah, sudah menjadi pilihan yang tepat baginya. Ia jadi tidak perlu dipantau terus menerus. Tetapi sekarang, malah hal semacam ini yang terjadi. Hembusan napas Cedric lakukan disertai pintu yang tiba-tiba saja didorong dari luar. Seseorang nampak menyembul dari balik pintu dan itu adalah Carlos, ayahnya. Cedric buang muka, saat melihat Carlos mendekat. Ia yang biasanya tak kalah vokal dengan ibunya, kini malah terlihat diam dan duduk di si sisi Cedric. "Ayo, kita kembali ke sana. Tidak enak dengan Tuan Dalton." "Dad?? Cedric tidak mau dijodoh-jodohkan. Kenapa masih juga ada hal semacam ini??" "Ini sudah menjadi ketentuan keluarga kita dan mungkin juga, keluarga-keluarga di luar sana. Daddy, Kakak kamu Clark sekalipun, kami menjalani perjodohan." "Tapi Cedric tidak mau! Bahkan, kami tidak saling mengenal dan harus tinggal bersama, seumur hidup?? Oh it's so crazy. Benar-benar tidak bisa terbayangkan." "Tapi Dad dan Mommy kamu melakukannya. And see?? Bagaimana kami bisa memiliki Clark, kamu dan juga adikmu, Clarissa." "Astaga!" ucap Cedric sambil mengusap wajahnya. "Tidak langsung menikah tidak apa-apa. Kamu bisa bertunangan dulu saja. Kamu juga, bisa saling mengenal dulu dengan Lucy. Masalah pernikahan, kita akan bicarakan lagi nanti." Cedric berdecih pelan. "Tetap saja ujung-ujungnya akan terjadi. Padahal kakak saja belum menikah lagi," gumam Cedric. Cedric tiba-tiba tertegun dengan pikiran yang sedikit cukup gila, tapi boleh juga, yang melintas di dalam kepalanya. "Bagaimana, kalau Cedric ajukan syarat??" ucap Cedric demi bisanya ia lepas dari jerat perjodohan. Dan demi bisanya ia, cepat pulang kembali lagi. Carlos tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Pria yang persis dirinya saat muda. "Apa yang kamu inginkan?? Ayo katakan," tanya Carlos kemudian. Sementara itu di tempat lain. Valerie melangkah gontai dalam memasuki rumahnya. Ia tutup pintu dan buka satu persatu, kancing kemeja putih, yang melekat di tubuhnya, sambil berjalan naik ke lantai atas. Sampai di kamar, kemeja dibuka dan dilemparkan pada keranjang pakaian kotor. Rok hitam pun ia buka dan memberlakukan dengan hal yang sama. Ikatan rambut panjangnya yang bergelombang itupun ia buka dan iapun masuk ke dalam kamar mandi, untuk melepaskan kepenatan di hari ini, dengan guyuran air pada tubuhnya. Dengan mata yang terpejam, air membasuh tubuh Valerie dari kepala hingga ujung kaki dan kemudian, ia pun terbelalak sambil cepat-cepat membereskan ritual mandinya itu. Sudah berbalut handuk putih, tubuh maupun kepalanya juga. Valerie buru-buru keluar dari dalam kamar mandi. Ia membuka tas kecil, yang ia bawa saat bekerja dan cepat-cepat mengambil ponsel miliknya. Layar ponsel dinyatakan dan Valerie bergegas melihat pesan, yang mungkin saja, merupakan pesan balasan dari lelaki yang sedang berada jauh darinya. Sudah dilihat. Namun hasilnya malah mengecewakan. Tidak ada pesan balasan. Maupun panggilan balik, dari orang yang ia hubungi sejak siang tadi. Lemas jadinya. Valerie jatuhkan bagian belakang tubuhnya di atas tempat tidur. Kemudian meringkuk di atas tempat tidur dengan sebuah helaan napas yang panjang. Ponsel masih berada di genggaman tangan kiri Valerie. Valerie sendiri, kini memejamkan matanya. Ingin mengistirahatkan pikiran sejenak, dari rasa penat yang kembali ia rasakan. Sekitar lima menit Valerie terpejam. Ia pun membeliakkan mata, saat merasakan getaran di genggaman tangan kirinya, disertai dengan suara deringan yang cukup keras. Valerie melonjak bangun dan menatap layar ponselnya, dengan sebuah panggilan yang sedang berlangsung. Ia jawab secepat kilat, panggilan telepon yang sudah sangat ia nanti-nantikan itu. "Halo??" ucap Valerie. Tidak langsung ada jawaban. Karena si penelpon, sedang mengunci pintu kamarnya lebih dulu. Setelah terkunci dengan baik, ia pun naik ke atas ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana sambil berucap, "Hai, kamu sedang apa??" tanya Cedric. "Em, aku sedang tidur-tiduran di atas tempat tidur, baru selesai mandi, masih pakai handuk," ucap Valerie, yang kembali merebahkan tubuhnya lagi. "Benarkah? Aku juga, sedang ada di atas tempat tidur. Kenapa tidak langsung berpakaian?" tanya Cedric. "Malas. Nanti dulu saja. Di sini juga tidak ada siapa-siapa." "Coba saja ada aku di sana." "Apa?? Mau kamu pakaikan aku baju??" "Bukan, aku mau buka handuknya dan mengerjai kamu," ucap Cedric yang kini sudah bisa kembali melebarkan senyuman. "Apanya? Kamu menginap di sini aja, tapi nggak pernah berbuat apa-apa." "Apa kamu mengharapkannya?? Kenapa tidak katakan saja?" Valerie menepuk-nepuk wajahnya sendiri yang mulai merona merah. "Nggak kok! Aku nggak mengharapkan apa-apa. Kamu jangan kepedean! Oh iya, tadi si brengsekk Felix bertingkah. Dia mengolok-olok aku. Mentang-mentang kamu tidak ada." "Tenang saja. Nanti kita bereskan dia. Saat aku pulang dari sini." "Iya. Beri dia pelajaran. Karena udah ngomong yang nggak-nggak tentang kamu juga!" "Apa katanya?" tanya Cedric dengan dahi mengerut. "Masa dia bilang, kamu pergi untuk wanita lain!" cetusan kalimat yang seketika membuat Cedric terdiam. "Terus juga, dia bilang, laki-laki yang memiliki jabatan. Nggak hanya cukup dengan satu wanita!" imbuh Valerie lagi. Senyap. Tidak ada suara apapun, dari ponsel yang menempel di daun telinga Valerie. Valerie menelan salivanya sendiri dan menggelengkan kepala, serta berbicara saat pikiran buruk, yang hendak hinggap di pikirannya. "Halo?? Kenapa diam??" tanya Valerie. "Aku mengantuk sekali. Lelah, dari sisa-sisa perjalanan tadi." "Oh, ya sudah istirahat. Tidur. Aku juga mau pakai baju dulu." "Iya. Ya sudah." Panggilan telepon berakhir. Cedric meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya, sambil menatap ke langit-langit kamar. Ketukan pintu terdengar, Cedric bangun dan datang ke arah pintu, kemudian membuka pintu kamarnya. Terlihat seseorang yang sedang berdiri diambang pintu kamar Cedric. "Ada apa, Kak?" tanya Cedric pada Clark yang diam sambil menatapnya. "Kamu ditunggu di bawah oleh orang tua kita." "Hah... Iya, kak. Cedric segera ke sana sekarang." Clark memutar tubuhnya dan berjalan dengan ritme yang beraturan. Tegap, tegas dan juga tanpa ekspresi. Sementara Cedric menutup pintu kamarnya dan kembali ke bawah dengan terburu-buru. Di ruang keluarga, saat keluarga Tuan Dalton sudah pergi. "Kenapa kamu mengajukan syarat semacam itu, Cedric??" tanya Carolyn dengan nada menghakimi. Cedric yang duduk bersandar pada sofa, di hadapan kedua orang tuanya, terlihat acuh tak acuh saja. Mereka bisa mengatur hidupnya. Dan ia yang merasa memiliki hak penuh atas dirinya sendiri, sudah seharusnya melakukan sebuah pemberontakan bukan?? "Cedric sudah bersedia untuk menerima perjodohan ini. Tapi tidak akan pernah menikah, sampai Kakak menikah lagi. Hanya itu. Simple kan, Mom??" ucap Cedric dengan santai karena merasa sudah dapat mengendalikan situasi. Carolyn mengembuskan napas dari mulutnya. Sepertinya, putra keduanya ini sedang memainkan trik licik. Semenjak Clark ditinggal mati istri dan juga calon anaknya. Clark menjadi pribadi yang berbeda dan Carolyn, tidak pernah berani menyinggung masalah perjodohan lagi dengannya. Kalau begini jadinya, bagaimana ia bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya untuk putra kedua mereka. Memang, sudah seharusnya anak tertua lah yang menikah lebih dulu. Tapi kalau begini situasinya, akan cukup sulit juga. "Bagaimana pun juga, Cedric masih menghargai kakak. Mungkin, kakak mengatakan tidak masalah untuk dilangkahi. Tapi, kita tidak tahu kan hatinya?? Dan pikirkan juga, pandangan orang-orang tentang anak tertua yang belum juga menikah lagi. Apa tidak akan jadi bahan pembicaraan orang-orang di luar sana? Kak Clark pasti akan jadi bahan perbincangan orang-orang." Carolyn melipat kedua tangan di depan tubuhnya. Benar-benar anak yang satu ini, kenapa malah membuat orang tuanya mati kutu? "Jadi bagaimana, Mom?? Cedric harus cepat-cepat kembali juga. Perusahaan tidak ada yang mengurus. Kalau sampai bangkrut bagaimana??" desak Cedric. "Ok baiklah. Tidak apa-apa. Kita akan segera membuat acaranya." "Ya sudah. Kalau begitu, Cedric mau ke kamar. Mau istirahat. Masih lelah perjalanan ke sini," ucap Cedric sembari bangkit dan pergi dari hadapan kedua orang tuanya. Cedric tersenyum semringah saat sudah memasuki kamar kembali. Tahap pertama beres. Setelah ini, hanya cukup tinggalkan tempat ini dan kembali ke kehidupan yang biasanya. Beberapa hari setelahnya. Valerie sudah sangat frustasi ditinggalkan sendiri. Mengurus pekerjaan. Mengurus diri sendiri dan menurus orang yang semena-mena memperlakukannya di kantor. "Valerie, buatkan kopi untukku ya??" ucap Felix dengan senyuman yang lebar. "Apa kamu tidak bisa membuatnya sendiri!? Aku asisten pribadi bos! Bukan asisten kamu!" "Jangan bawa-bawa orang yang bahkan tidak ada di sini Valerie. Ayo cepat buatkan! Kamu juga tidak sedang mengerjakan apa-apa. Jadi apa salahnya, untuk membuatkan aku kopi??" Tidak ingin berdebat panjang lebar. Valerie berbalik dan pergi, untuk membuat apa yang Felix inginkan. Malas sekali sebenarnya. Tapi apa boleh buat. Di pantry. Valerie berkali-kali berdecak kesal sendiri sambil mengaduk kopi untuk Felix. Andai saja ada garam di sini, sudah pasti ia bubuhkan ke dalam gelas. Sedang kesal-kesalnya. Malah ada orang yang tiba-tiba saja melingkarkan tangannya di pinggang Valerie. Valerie terperanjat. Ia berdiri dengan tegak dan berbalik sambil melayangkan ayunan telapak tangan kanannya. "Aduh! Kenapa aku ditampar!??" tanya orang yang sedang membeliakkan mata sambil menyentuh pipinya yang lumayan merah juga. Kedua bola mata Valerie bulat sempurna, saat melihat siapa orang yang ia tampar tadi. "Ya ampun maaf!! Aku nggak sengaja! Aku pikir tadi, aku...," Valerie mengamati orang, yang sedang berdiri di hadapannya sekarang. Ia tidak sedang bermimpi kan?? Orang yang sedang mengelus pipinya itu pun, mulai menurunkan tangannya sambil berkata, "Sepertinya, kepulanganku tidak diinginkan ya? Bukannya disambut dengan baik. Tapi malah dapat tamparan." Valerie tidak mengatakan hal apa-apa. Ia hanya mendekat, lalu mendekap erat orang, yang juga balas mendekap dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD