Aku membuka mata. Lalu menutupnya perlahan. Kembali membuka mata. Begini terus sejak tadi. Meskipun sudah berkali-kali mencoba tidur, tapi tetap aku tak bisa tidur. Benakku terus saja dibayangi wajah Mamak dan Bapak. Ke mana gerangan mereka pergi?
Tubuhku menegang saat membayangkan yang tidak-tidak. Apa mereka baik-baik saja? Semoga, mereka tak kelaparan. Aku menghela napas dalam, sama sekali tak bisa berpikir jernih.
Kekhawatiranku, dari waktu ke waktu semakin membuncah. Karena tak bisa lagi bersikap tenang, maka kuraih HP di samping tubuh lalu mengetik SMS untuk lelaki tercinta.
Mas, sedang apa? Aku ingin curhat. Boleh?
Satu menit. Dua menit. Tidak ada balasan. Barulah di menit ke sepuluh, HP dalam genggaman berbunyi nyaring.
I pesan masuk. Ada mslh apa, Maniiis?
Aku segera membalas. Aku sudah bertemu dengan lelaki yang diinginkan Mamak. Dia gak buruk. Tapi, aku tetap gak menyukainya.
Lalu? Balas Mas Yus.
Seperti yang kamu usulkan, Mas, aku pun melakukan berbagai cara. Tapi, caraku mlh membuat Mamak dan Bapak kecewa dan mereka minggat dari rumah.
Kuperhatikan layar HP yang menyala terang. Satu detik. Satu menit. Lima menit. Sepuluh menit berlalu namun benda di tangan tak kunjung berbunyi. Mungkin, Mas Yus tengah sibuk belajar. Atau malah ketiduran. Bisa juga, sedang berpikir.
Jenuh karena tak juga mendapat balasan, ditambah suhu di dalam kamar yang terasa panas walau kipas angin sejak tadi mendengung pelan, aku bangkit berdiri kemudian membuka jendela. Semilir angin segar langsung berembus masuk membelai wajah.
Aku menatap ke luar, memperhatikan segerombolan anak yang baru keluar dari rumah Bude Dayana. Pasti, mereka baru selesai mengaji. Sebagian anak langsung bermain di pelataran rumah itu sambil tertawa-tawa. Riang tanpa beban.
Tatapanku pindah pada langit cerah yang dipenuhi kerlip bintang. Tergesa aku mendekati ranjang saat mendengar bunyi HP. Sentuh. Geser simbol telepon ke atas.
“Ya, Mas?” ucapku sambil menempelkan HP ke telinga.
“Kenapa mereka bisa pergi?” Seperti biasa, Mas Yus selalu bertanya dengan suara tenang. Segera kuceritakan detail kejadian yang tadi telah kuceritakan padanya melalui pesan WA. Mas Yus menanggapi akhir ceritaku dengan helaian napas panjang.
“Apa aku sudah keterlaluan, Mas?”
“Ya,” jawab Mas Yus. Lalu terkekeh pelan. Kubayangkan bahunya berguncang dan matanya sedikit menyipit saat tertawa.
“Mas, Yuus!”
Mas Yus kembali terkekeh. “Sedikit.”
“Mas, Yuuus!”
Mas Yus lagi-lagi terkekeh. Aku sangat senang mendengar tawanya yang renyah tanpa beban.
“Seharusnya, jangan pura-pura hamil, Ma-niiis.” Suara Mas Yus terdengar gemas. Seandainya saat ini di sampingku, pasti sudah dicubitnya pipiku dengan gemas.
“Habisnya ... aku bingung mau pakai cara apalagi, Maas. Cara apa pun sudah kucoba, tapi ... lelaki itu sulit diusir.”
Mas Yus terkekeh. Mungkin, ia geli dengan ceritaku yang sampai pura-pura hamil.
“Bapak dan Mamak sudah dicari belum?” Mas Yus mulai terdengar serius.
“Sudah, Mas. Tapi gak ada di mana-mana. Pokoknya, kalau terjadi apa-apa pada mereka berdua, dia harus bertanggung jawab!” jawabku jutek.
“Sabar, Manis, mereka pasti akan pulang, kok. Mas yakin itu," katanya pelan. Aku mengangguk.
“Sekarang, kamu sedang apa?”
“Kesal! Sangat kesal, Mas!”
“Tarik napas panjang, Manis. Lalu buang.”
Langsung kuikuti instruksi Mas Yus. Syukurlah, kini aku merasa sedikit tenang. Namun, saat tiba-tiba kembali teringat Mamak dan Bapak, dadaku langsung berdebar keras.
Jantungku mengentak kuat saat tiba-tiba membayangkan dua orangtua renta, duduk berdampingan di suatu tempat yang dingin dan gelap, mendongak ke atas menatap bintang. Tapi, pandangan mereka kosong. Pikiran kemerusuk—tidak keruan, karena memikirkan sang anak yang hamil di luar nikah.
Bodoh! Kutepuk jidat cukup keras. Lalu menyentak napas merasa kesal pada diri sendiri.
Kenapa tadi siang aku tak jujur saja pada Aldri bahwa aku tak tertarik padanya? Harusnya, tak usah memikirkan harga diri. Harusnya, ini tak terjadi. Bodoh. Bodoh. Bodoh!
Aku terkesiap dan refleks mengusap simbol senter di HP saat ruangan tiba-tiba berubah gelap gulita.
“Ya sudah, Manis, kamu tidur saja sekarang. Besok, orangtuamu pasti pulang. Mas yakin itu. Selamat tidur, Manis.”
"Selamat tidur juga, Mas."
Kuarahkan HP ke langit-langit kelambu lalu berdiri. Kini aku terpaku di dekat jendela yang masih terbuka lebar. Sekarang, pelataran rumah Bukde Dayana sepi senyap. Halaman yang tadi terang benderang itu, kini remang oleh cahaya rembulan.
Aku mendongak. Langit biru bersih tanpa riak awan. Rembulan bersinar temaram, sementara bintang-gemintang berkerlip memancarkan cahaya keperakan. Biasanya, saat Mas Yus sedang libur panjang, kami sering duduk berjauhan di jembatan depan rumah. Tak lelah menyaksikan kuasa Allah sambil sesekali menghitung benda berkelap-kelip itu.
“Mas Yus,” gumamku. Dadaku berdesir saat membayangkan tatapan lembutnya.
“Mas Yus.”
Tidak ada sahutan. Semilir angin dingin berembus membelai wajah. Tanganku bergerak pelan menutup jendela, kemudian menghidupkan lampu ublik yang tertempel di dinding, seketika membuat kamar dibiasi cahaya remang-remang. Aku merebah, mematikan senter, lalu mengatupkan mata.