4

1323 Words
Suara kukuruyuk yang begitu berisik, refleks membuatku meraba-raba ingin segera meraih HP lalu mematikannya. Namun, karena tak juga menemukan benda itu, akhirnya, aku bangkit duduk dan mengedar pandang dengan mata begitu berat masih sangat mengantuk. HP yang terus berbunyi itu ternyata ada di meja. Aku meraihnya, sigap mematikan alarm. Aku mengernyit saat melihat notif 2 pesan masuk. Baru akan membacanya, suara Didi Kempot terdengar. Seperti biasa amat merdu. Terkintil-kintil .... Cintaku terkintil-kintil .... “Halo,” kataku sambil menguap. “Keluarlah.” Aku menegakkan tubuh saat mengenali suara si penelepon. Berprasangka baik bahwa ia telah menemukan Bapak dan Mamak, lekas aku beranjak dari ranjang, berlari tak sabar menuju pintu dan membukannya. “Halo. Selamat pagiii,” sapaku sambil tersenyum riang. Senyumku langsung memudar saat melihat Aldri datang sendirian. Dengan perasaan kecewa, kupersilakan ia masuk. Lalu menyusul duduk di hadapannya, menatapnya dengan tangan menyangga wajah. “Apa kamu gak ingin cuci wajah dulu?” tanyanya dengan suara pelan. Dahinya mengernyit dengan satu mata sedikit menyipit. “Apa?” Aldri menyentuh pipinya. Ragu, tanganku bergerak ke arah wajah. Ada sesuatu yang lengket di sekitar pipi serta di sudut mulutku. Aku mendekatkan jari telunjuk ke hidung dan meringis saat mencium bau air liur. Aldri langsung menggelengkan kepala sambil nyengir. “Sepertinya, aku harus ke belakang dulu.” "Memang seharusnya begitu." Lalu ia tersenyum kecil. Aku langsung melangkah cepat menuju kamar, menatap wajah di depan cermin. Asta-gaa, ini memalukan sekali. Penampilanku sungguh kacau. Jilbab kurung putih lusuh, dengan poni menyembul menutupi kening, dan baju tidur setengah tiang dengan bawahan sarung Bapak yang terlihat asal membelit pinggang. Di sudut mulut dan pipi, terlihat lendir membentuk pulau kecil. Di tepiannya yang telah mengering berwarna putih dan kasar saat diraba. Baguus. Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi, aku tampak konyol di hadapan Aldri. Lelaki menyebalkan itu, mungkin tengah tertawa mencemoohku sekarang. Setelah mengganti pakaian, jilbab, serta mencuci muka, aku kembali ke ruang tamu. Bersikap cuek seolah tak terjadi apa-apa. “Jadi, bagaimana? Apa kamu udah temukan keberadaan orangtuaku?” tanyaku sambil mengenyakkan diri di sofa. Tampaknya, ia habis keramas. Rambutnya basah, samar tercium aroma shampo dan sabun mandi. “Ya. Aku menyuruh orang mencari keberadaan orangtuamu. Ini, alamat orangtuamu tinggal.” Aku menatapnya. Aldri merogoh saku, mengeluarkan secarik kertas lusuh kemudian meletakkannya di meja. Aku meraihnya, dengan tak sabar membacanya sedikit keras. “Kalau begitu, aku pulang.” Aku menatapnya. Aldri segera berdiri. Hening. “Ya, terima kasih,” ucapku dengan tangan bergerak mempersilakan. Aldri mematung, tampak kecewa. Aneh. Ada apa sih dengannya? Aku menatapnya tak mengerti. Kemudian menunduk pura-pura membaca kertas kecil di tangan. “Nona?” Aku mengangkat wajah, mata Aldri berkilat kesal. “Apa aku gak disuruh minum dulu?" tanyanya dengan wajah jengkel. “Ma-af, kukira, kamu ingin cepat-cepat pulang. Kamu, kan, harus menangani pasienmu.” “Memang iya.” “Kalau begitu pulanglah. Aku tau kamu sibuk. Maka aku sengaja gak nawarin minum. Pergilah,” ucapku antusias. “Tapi, sekarang kan masih sangat pagi. Pasti belum ada pasien yang datang. Lagi pula, ada Mbak Neni.” Mbak Neni. Jadi, nama perempuan yang diam-diam mencatat nomerku itu namanya Neni? Aku menerka-nerka untuk apa ia menyimpan nomer HP-ku. Bunyi ketukan membuatku langsung mencari sumber suara. Ternyata, Aldri telah kembali duduk di sofa. Satu tangannya mengetuk-ngetuk meja. Aku menarik napas panjang, berusaha sabar menghadapi lelaki menyebalkan ini. “Kamu mau minum apa? Teh? Kopi? Atau ... sirop?” tawarku akhirnya. “Susu.” Lekas aku berjalan meninggalkannya. Lima menit kemudian, telah kembali di hadapannya dengan nampan berisi dua gelas berisi teh dan s**u. Aku meletakkan s**u di depannya, lalu duduk. Aldri perlahan menyeruput susunya. Aku memperhatikan. Aku menyeruput teh, ganti ia memperhatikan. Terus seperti itu tanpa bicara. “Sudah mulai siang.” Aku akhirnya mengingatkan. “Aku harus segera mandi lalu ke sekolah.” Lanjutku merasa tak enak hati. Aldri menatapku dari gelas susunya yang tinggal sedikit. Ia seruput s**u itu sampai kandas, lalu mengembuskan napas. “Aku tahu,” gumamnya. Aku berharap ia segera pamit. Namun, ia malah hanya diam memperhatikan. Aldri menarik napas, tiba-tiba tersenyum geli. “Sikapmu berbeda, gak secentil kemarin.” Wajahku menghangat. Diingatkan pada kejadian kemarin sungguh membuatku amat malu. “Kemarin, kamu merebah di sini.” Ia menepuk-nepuk pahanya. Aku berpaling saat teringat darah haid yang menempel di celana putihnya. Sepertinya, Aldri sengaja menggoda. “Karena sekolah searah dengan rumahku, biarkan aku mengantarmu,” katanya. Senyum kecil kini tersungging di bibir merahnya. Tanganku langsung mengibas di udara. “Gak usah, aku bisa berangkat sendiri. Aku punya kendaraan. Jadi, kamu gak perlu merepotkan diri demiku.” Aldri mengernyit. Sepasang mata tajamnya kini memandangku dengan sorot aneh. “Aku gak tau apa yang sedang kamu pikirkan. Tapi, jika kamu mau dengar penjelasanku, maka dengarkan. Coba pikir, bukankah akan tambah merepotkan jika nanti, aku harus menjemputmu ke sini lalu kita bersama-sama menemui orangtuamu? Lebih baik, aku menjemputmu dari sekolah yang lebih dekat dari rumahku daripada masuk ke g**g rumahmu yang jauh dari jalan raya.” Aku menelan ludah. Aldri terlalu blak-blakan. Sungguh, aku tak menyukai sifatnya. “Aku bisa jemput mereka sendiri, kok. Saudaraku bisa kubujuk mengantar orangtuaku pulang. Lagian, untuk apa kamu ikut repot menjemput orangtuaku? Kamu gak sungguh-sungguh jatuh cinta padaku, kan?” Tak mau kalah, aku memandang matanya dengan berani. Ia balas memandang. Lalu menarik napas panjang. “Kamu bilang, karena aku orangtuamu pergi. Artinya, kamu sudah menyalahkanku. Dan walaupun BUKAN aku yang bersalah, aku bertekad akan bertanggung jawab. Dan juga, apa kamu kira orangtuamu mau pulang bersamamu?” balasnya dengan tatapan merendahkan. Kusentak napas kuat. Benar-benar tak habis pikir ia bisa berkata semenusuk barusan. Cowok setampan dia, punya mata indah seperti Mas Yus ... aku menggeleng tegas. Jelas, Aldri bukan Mas Yus. Matanya memang mirip Mas Yus, tapi hatinya sama sekali tidak mirip. Aku sungguh bersyukur karena kami tak dijodohkan. Alhamdulillah. “Kalau kamu berpikir bisa membawa orangtuamu pulang, baiklah, aku pulang. Terima kasih, sudah MENAWARIKU minum.” Ia jelas sedang menyindir. Aku berdiri, menatapnya dengan jengkel. “Sudah kubilang aku tak membuatkanku minum karena aku tau kamu sibuk! Dan, aku gak keberatan ditemani!” Setelah itu, aku melangkah cepat meninggalkannya. Dasar lelaki menyebalkan! “Cepat mandinyaa! Aku tungguuu! Jangan lama-lamaaa!” Suara Aldri terdengar sampai ke kamar mandi di sudut dapur. Aku yang sudah menanggalkan pakaian, segera menyiduk air jernih dingin hasil endapan kemarin. Baunya yang seperti seng berkarat, membuatku menahan napas. Pelan, kusiramkan air dalam gayung ke sekujur tubuh. Kulitku, kini terasa kesat dan kasar. Musim kemarau begini, selain debu melimpah ruah, air sumur pun jadi keruh. Warnanya serupa minuman kemasan rasa jeruk yang dibuat encer. Baunya seperti logam berkarat terendam air berhari-hari. Untuk mensiasati warnanya agar jernih, setelah air ditimba, maka langsung dituang ke penyaringan berisi batu bata, pasir, dan serabut kelapa. Selesai mandi, kutabur bedak bayi ke sekujur tubuh untuk menyamarkan bau menyengat. Mengusapnya dengan kain, kemudian mengenakan seragam dan jilbab. “Ayo, berangkat,” kataku begitu siap. Aldri menatapku cukup lama. Ada apa sih dengannya? Jangan-jangan .... “Kenapa? Apa aku terlihat beda karena memakai seragam guru? Apa itu membuatmu lebih mencintaiku lagi?” tanyaku blak-blakan, mencoba bersikap cuek agar tak terlihat sedang salah tingkah. Siapaa, sih, yang tak grogi jika ditatap berlama-lama? Aldri pasti semakin jatuh cinta padaku. Iya deh, pasti. Aldri berdiri dan menyedekapkan tangan. “Kuperhatikan dari kemarin sampai sekarang, kamu memang lucu. Juga ... menggemaskan." Aku melotot. “Apa kamu kira aku ini badut? Oh, benarkah aku lucu seperti badut?” Aldri menyungging senyum tipis. Senyumnya ... sungguh manis sekali, membuatku jadi semakin salah tingkah dan bahkan bingung hendak melakukan apa. Akhirnya, kurentangkan tangan, berputar pelan sambil bersenandung kecil. "Syaaaaaaaalalaaaa.” Aldri tertawa. “Kamu memang seperti badut,” ujarnya. Dadaku bergemuruh saat ia mendekat lalu menyentuh tanganku. Menekuknya, kemudian mengarahkan jari telunjuk ke wajahku dan menekankannya. “Lihat." Ia mendekatkan jari telunjukku ke arah mataku. Aku membelalak tak percaya. O-ow. Jari telunjukku berwarna putih. Itu artinya ... apakah aku lupa mengusap dan meratakan bedak tabur yang ... di ... wa-jah? Secepat kilat, aku berlari ke dalam diiringi suara kekehan. Itu membuatku sangat kesal, tapi memilih tak meladeni makhluk menyebalkan itu. Daripada berbalik untuk berdebat, lebih baik segera bercermin, memandang dengan mata membelalak paras yang seperti badut ini. *Jangan lupa love dan komentari jika ingin cepat lanjut. Yuk mampir juga ke cerbungku yang udah tamat
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD