9

2526 Words
Kurentangkan tangan sambil menguap, lalu menggeliatkan tubuh yang terasa pegal semua. Aku tersenyum kecil saat terngiang kejadian kemarin bersama Aldri. Sungguh konyol tingkah kami. Bermain air sambil tertawa riang dan pulang menjelang asar dengan pakaian basah kuyup. Dengan mata masih mengantuk, aku beranjak bangkit, mengenakan jilbab sambil melangkah menuju dapur dan membuat api di tungku, kemudian meletakkan ketel di atasnya. Tak lama, gema subuh terdengar sambung-menyambung dengan Kokok ayam. Kukuruyuk. Kukuruyuuuuk. Kukuruyuuuuuk. Riuh sekali memecah pagi yang sunyi. Bergegas kucuci beras lalu memasukkannya ke dalam mejikom. Pekerjaan utama sudah beres. Aku pun ke kamar mandi untuk bersuci selesai haid, mengambil wudu lalu menjalankan salat subuh. “Biar mamak yang isi airnya ke termos, Nduk. Kamu petik saja daun singkong,” kata Mamak saat aku berjalan ke arahnya. “Mamak sudah sembahyang?” tanyaku, menatap pakaian tidurnya yang lusuh. Wajahnya sudah terlihat lebih baik dari kemarin. Mamak mengangguk pelan. Kuambil baskom kecil berisi nasi sisa semalam kemudian keluar dari dapur. “Kur! Kur! Kuuuur! Riririi! Riririiii!” teriakku, dengan seketika puluhan ayam dan beberapa ekor itik berlari mendekat. Ada dua ekor induk itik yang terbang kemari. Sebagian binatang berparuh itu sudah berparuh hitam legam, pertanda sudah berkecimpung di comberan mengais rezeki. Selesai menyawur-nyawurkan nasi ke segala arah, kuraih ember khusus untuk memberi maka hewan lalu masuk ke dapur. Tak lama, aku kembali dengan ember berisi dedak yang telah kuaduk dengan air. Ayam dan itik langsung menyerbu mendekat. Berkeok dan bercericit, berdesakan berebut makanan. Aku mendongak menatap langit. Warna oranye mulai terlihat. Angin bertiup sepoi-sepoi. Hewan-hewan terus makan sambil sesekali berkeok dan mematuk karena berebut makanan. Kulangkahkan kaki menuju tanaman daun singkong yang tumbuh subur di samping rumah. Sambil memetik, tangan kiriku merogoh saku mengeluarkan HP. Kutekan angka satu dan menunggu. Tut. Tut. Tuuuut. Aktif. Tapi, tidak diangkat. Kembali kutekan tombol hijau. Dengan sabar menanti jawaban. “Pagi, Maniiis?” Kekasihku menyapa lebih dulu. “Pagi juga, Mas. Kapan pulang, Mas?” todongku tanpa basa-basi. “Sabar, ya, Manis. Mungkin, satu atau dua bulan lagi Mas pulang.” “Tap--” Mas Yus langsung memotong. “Kamu pasti bisa bujuk orangtuamu, Sayang. Katakan pada mereka, Mas pasti datang melamar.” “Tapi kapan, Mas? Kapan tepatnya Mas akan datang melamar?” Saat menanyakannya, hatiku bagai diremas kuat. Kenapa Mas Yus selalu tak mau memberi kepastian? Kenapa selalu aku yang begitu bersemangat ingin bersama-sama? Wajah Aldri tiba-tiba memenuhi benakku. Tahu-tahu, aku sudah membandingkan Mas Yus dan lelaki itu. Mas Yus yang amat kukasihi, Aldri yang kehadirannya tak kuhendaki. Mas Yus yang seolah tak menjanjikan masa depan pasti, sementara Aldri begitu optimis merajut hubungan. Kuusap air mata yang turun membasahi pipi dan menggigit bibir kuat. “Manis?” panggil Mas Yus. Aku membisu. “Manis?” panggilnya lagi. Aku tetap bungkam. “Kamu tidak apa-apa kan, Manis? Manis?” Nada suara Mas Yus berubah panik. Kutarik napas panjang. “Apa sebenarnya Mas gak ingin nikah denganku?” Hatiku bertambah nyeri saat mengatakannya. Kenapa aku jadi seperti perempuan tak punya harga diri? Kenapa? Kenapa? Airmataku bercucuran semakin deras. Aku tersengal dan terisak. “Sangat ingin, Manis. Tidak lama lagi. Bersabarlah.” Suara Mas Yus terdengar begitu memohon. Aku menghela napas. Ia pasti sedih, sepertiku. Kenapa aku jadi tidak sabaran? Jelas-jelas, Mas Yus dalam tahap merampungkan pendidikannya. Aku ingin sabar. Sungguh. Ingin tetap menjadi gadisnya yang selalu menanti tanpa banyak menuntut. Akan tetapi, situasi tak mengijinkan kesabaran kembali diuji. Kenapa cinta kami harus diuji? Lagi-lagi, aku tersengal oleh tangis. “Jangan menangis, Manis. Mas pasti menikahimu, Sayang.” Kubiarkan air mata yang meleleh masuk ke mulut. Terasa asin di lidah membaur dengan air liur, lalu kutelan dengan susah payah. “Apa Mas gak bisa pulang sebentar saja? Sebentar saja, Mas. Hanya untuk menjelaskan pada orangtuaku bahwa Mas akan segera melamar,” kataku sambil tersengal. Tanpa menunggu responsnya, jari telunjukku dengan cepat menekan tombol merah. Perasaanku sangat kesal dan terluka. sungguh! Kenapa Mas Yus selalu menyuruhku agar sabar? Kenapa Mas Yus tak kunjung melamar? Tentu, aku tahu alasannya. Ia tengah menyelesaikan S2-nya. Mas Yus kuliah sambil bekerja. Setelah lulus, ia akan mencari pekerjaan yang lebih layak kemudian melamar kekasihnya ini. Itu yang selalu dikatakan Mas Yus. Aku menyetujuinya. Bapak juga. Mamak juga. Namun, dengan cepat keadaan jungkir balik. Seperti jelangkung, teman SMP Mamak tiba-tiba bertandang ke rumah. Setelah hari itu, Mamak jadi giat bicara mengenai anak temannya padaku. "Mas Yus, haruskah aku pasrah menerima perjodohan ini ...?" gumamku, menggigit bibir kuat-kuat lalu menggeleng cepat. Aku tak tertarik pada Aldri. Atau mungkin, hanya sedikit tertarik karena matanya mirip dengan mata Mas Yus. Itu jelas modal yang tak mencukupi untuk membuat pondasi rumah tangga. Ibarat akan membuat rumah, pasir saja tanpa bangunan lain tidaklah bisa. Aku mendongak. Langit biru cerah. Angin pagi berembus menyejukkan. Aku memandang pucuk-pucuk pohon mangga berselimut debu, memperhatikan beberapa burung prenjak yang terbang ke dahan sambil berkicau, Prenjak. Prenjak. Prenjaak. “Non! No-naaa!” Bapak keluar dari dapur, berlari cepat menghampiriku. Bapak masih mengenakan pakaian salatnya, koko warna cokelat tua dengan bawahan sarung putih garis-garis. Di kepalanya, bertengger kopiah hitam agak pudar. Tasbih cokelatnya yang panjang ia genggam di tangan kanannya yang bergetar. “Kenapa, Pak?” Kusentuh bahunya lembut. Wajah Bapak yang tampak begitu khawatir kini menatapku. “Kenapa, Pak?” Aku yang mulanya bersikap tenang, kini merasa takut. Apa yang sebenarnya terjadi pada Bapak? Apa Bapak merasakan sakit di dadanya? “Aldri. Kamu. Kamu. Apa kamu punya nomer Aldri?” suara Bapak bergetar. Bapak mungkin tengah menahan sakit. Sambil tersengal, kucari nomer Aldri yang telah kusave tapi belum menamainya. Tekan. Tidak diangkat. “Bapak sakit?” Aku mencoba bersikap tenang meski sebenarnya begitu khawatir. “Kamu menangis, Non? Tangismu terdengar jelas sampai kamar salat. Mamak mendengarnya dan ... Mamak ... Mamak ... Mamakmu. Mamak pingsan di ... di kamar. Di kamar salat," kata Bapak terputus-putus. Tanpa membuang waktu, aku lekas berlari menuju kamar salat. Mamak berbaring di tikar tak sadarkan diri. Otakku cepat berpikir. Antara kembali menghubungi Aldri, atau segera membawa Mamak ke puskesmas. Tapi, menggunakan apa jika ke puskesmas? Hanya ada motor. Akan berbahaya membiarkan Bapak menjaga Mamak sementara aku menyetir. Belum lagi, jalanan tak rata dan banyak debu. Aku mengembuskan napas. Akhirnya, kembali kutekan nomer Aldri. Perasaanku waswas antara memikirkan Mamak dan takut Aldri berpikir aku bersedia dijodohkan karena pagi-pagi sudah meneleponnya. “Ada yang bisa kubantu?” “Ibuku ....” Suaraku terdengar gugup. “Ibuku gak sadarkan diri. Bisa kamu ke sini?” tanyaku sambil meredam perasaan malu. Apa kira-kira yang dipikirkan Aldri tentang sikapku? Aku dengan tegas mengatakan padanya l menolak perjodohan, tapi begitu butuh, tanpa pikir panjang menghubunginya. Dadaku bergemuruh saat teringat bermain air dengannya sambil tertawa lepas. “Baiklah.” Perkataan Aldri menyentak lamunanku. Aku membisu. Bingung mau berkata apa lagi. Sepuluh menit kemudian, Aldri tiba dengan mengendarai motornya. Aku yang menyambutnya di depan pintu, langsung mengajaknya ke kamar salat. Aldri langsung memeriksa Mamak sementara aku ke dapur untuk membuatkannya s**u. “Ibuku sakit apa?” tanyaku begitu kami duduk berhadapan di ruang tamu. “Ibumu ....” Aldri terlihat ragu. “Apa kamu habis nangis?” tanyanya. “matamu bengkak,” lanjutnya sambil menyentuh kelopak matanya. Aku menarik napas. “Ibuku sakit apa?” tanyaku lagi. Sama sekali tak berniat menjawab pertanyaannya. “Aku sudah memberinya obat. Kamu jangan khawatir.” Ia meraih gelas susunya. “Ibuku sakit apa?” ulangku, menatapnya penuh rasa penasaran. Apa Mamak kelelahan? Atau, ia stres karena memikirkanku? Selama ini, Mamak tak pernah sakit serius. Minum obat pun jarang. Jadi, jika Mamak sampai jatuh pingsan ... pasti ada sesuatu. Aldri menyeruput susunya dengan lambat. Menurutku, ia sengaja mengulur waktu. Jelas sekali kalau ia tak mau menjawab pertanyaanku. “Kamu gak mau jawab?” Aku menatapnya lekat. “Kamu gak usah khawatir. Gak ada penyakit yang gak ada obatnya.” “Apa bapak menyuruhmu merahasiakannya? Jawab a—” “Maaf,” potongnya. “Aku harus segera pulang. Sebentar lagi pasienku berdatangan.” Ia berdiri. Aku menyusulnya berdiri lantas dengan wajah kesal merogoh saku. Ada selembar uang warna merah yang telah kusiapkan saat membuat s**u tadi. “Gak usah.” Tolaknya saat kuulurkan padanya. “Kenapa? Ibuku bukan siapa-siapamu. Ini!” Kuletakkan ke meja kemudian melangkah cepat meninggalkannya, sengaja menunggunya enyah dari balik tirai. Setelah sekian lama menunggu, bukannya mendengar suara pintu yang ditutup dari luar, aku malah mendengar bunyi HP. “Halo," ucapku. Yang menelepon pastilah Mas Yus. Ia mungkin ingin meminta maaf karena merasa bersalah. “Sampai kapan kamu mau berdiri di situ? Kakimu terlihat dari sini.” Aku mengerutkan kening. Lalu melihat layar HP. Ternyata, Aldri yang menelepon. “Aku pulang sekarang. Assalamualaikum,” ucapnya, terdengar geli. Aku keluar dari balik tirai dan berteriak keras-keras, “Kamu benar-be—“ Kusentak napas saat terdengar suara klakson. Aldri sudah duduk manis di motornya. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, lalu membawa motornya meninggalkan halaman rumahku yang dijatuhi daun-daun warna oranye. Aku menatap ke meja dan mengerutkan kening. Walau merasa lega karena Aldri akhirnya mau menerimanya, tapi aku merasa heran karena ada pecahan yang terdiri dari seribuan, dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu, dua puluh ribu serta lima puluh ribu. Bukankah biaya berobat rata-rata 35 sampai 50 ribu jika menebus banyak obat? Penasaran, akhirnya kuraih lalu menghitungnya. Semua berjumlah 95 ribu. Aku mengepalkan tangan dengan gigi bergemeletuk. Sepertinya, ia sengaja mengejek. Kubalikkan badan hendak meninggalkan ruang tamu saat tiba-tiba terdengar ketukan. Aku menoleh, menatap ke arah pintu yang terbuka. Seorang gadis berparas cantik mengenakan jilbab biru laut melambai sambil tersenyum riang. Setelah menanggalkan sepatu, ia lantas masuk dan menjatuhkan tubuh ke sofa. Aku terus memandang Tari penuh keheranan. Rumahnya tak begitu jauh dari sekolah dan tak biasanya ia bertandang pagi-pagi sekali. “Kamu tidak senang, ya, aku datang? Kamu terlihat tak senang,” ucapnya. Sepasang mata beningnya menatapku lekat. Aku duduk di depannya lalu mengembuskan napas. Kejadian beberapa menit lalu, masih membuatku amat kesal. “Bukan padamu, tapi pada si Kakak Tua. Dia baru saja membuatku sebal." Tari menegakkan tubuh. “Apa kalian sekarang sudah begitu dekat? Bagaimana dengan Mas—“ “Ibuku sakit." Aku cepat memotong. “Jadi karena itu kamu belum siap berangkat?” Aku mengerutkan kening. "Jangan bilang kalau kamu gak tau bahwa aku telah dipecat." Tari mengangguk. "Tahu. Tapi kamu harus tetap berangkat untuk menjelaskan kesalahpahaman. Aku yakin kamu gak sepenuhnya salah. Semua guru juga tahu Amirul seperti apa." Kutatap jam. Masih pukul 6. "Sepertinya kepala sekolah benar-benar teguh pada pendiriannya," sahutku tak bersemangat. "Coba dulu. Cari pekerjaan itu susah, Na. Jadi, apa salahnya mencoba? Aku janji bakal bantuin kamu." Kupandang Tari ragu. Bagaimana kalau Pak Herman tetap kekeuh pada pendiriannya? Mungkin, tak ada salahnya mencoba. Toh, yang dikatakan Tari benar. Aku tak sepenuhnya salah. "Ya sudah, aku berangkat. Tapi biar kubuatkan dulu Bapak dan ibuku sarapan. Kamu pasti belum sarapan juga, kan?” Tari mengangguk-angguk. HP-ku berdering. Di layar, tertera panggilan sayangku pada Mas Yus—Pangeran. Tari berdiri, ikut menatap ke layar, lalu menyenggolkan bahunya ke bahuku. “Jangan sedih, Manis. Nanti Mas telepon, ya? Mas mau ke kampus dulu," ucap Mas Yus saat panggilannya kuangkat. Aku memejamkan mata, lalu sekuat tenaga menekan tombol merah. Tari menatapku ingin tahu. Namun tak bertanya apa pun. Ia pasti tahu kami sedang ada masalah. Tari meletakkan tas cangklongnya ke meja kemudian menarikku menuju dapur. Saat melihat Mamak yang sudah siuman di kamar salat, Tari langsung menghentikan langkah. Aku ikut berhenti. “Nanti aku nyusul." Tari menepuk bahuku, kemudian masuk ke kamar salat. Alih-alih ke dapur, aku justru mengikuti Tari. “Apa yang mamak rasakan? Apa ada yang sakit?” tanyaku sambil duduk di samping Tari. Bapak yang berada di samping kanan Mamak, hanya membisu. “Mamak tak sakit apa-apa, Nduk. Buatkan temanmu teh.” “Tidak usah, Na.” Tolak Tari cepat. “Bagaimana kabar Ibu? Ibu sakit apa?” Matanya bergantian menatap Mamak dan Bapak. Bapak terus membisu. “Hanya kelelahan,” jawab Mamak parau. “Makanya, kalau kerja jangan terlalu dipaksakan, Bu. Begini kan akhirnya." Lirih Tari. Tangannya mengusap lembut rambut Mamak. Mamak mengangguk pelan. Tari dan Mamak memang dekat. Bagi Tari, Mamak sudah seperti ibu kandungnya. Bagi Mamak, Tari seperti kakakku yang selalu baik. “Aku mau buat sarapan dulu. Aku tinggal dulu, Mak," kataku sambil beranjak bangun. Tari mengikuti. “Kamu ada masalah apa dengan Mas Yus?” tanyanya setibanya di dapur. Kuletakkan panci di atas tungku lalu mengisinya dengan air untuk merebus daun singkong. Kutarik napas panjang. “Bukannya aku gak ingin cerita. Tapi aku sedang sangat sedih. Sikap Mas Yus membuatku ingin menangis.” Tari memandangku penuh pengertian. Ia raih beberapa butir bawang merah dan mengirisnya. “Aku tidak memaksa. Ceritalah ketika kamu ingin, Na.” Kuamati wajah Tari. Tari mengangkat wajah. “Kamu pasti sudah dengar perihal pernikahanku yang batal, bukan?” tanyanya, menatapku dengan mata berkaca-kaca. Entah sebab bawang merah yang tengah diirisnya, atau karena ia sedang mengenang masa kelamnya. “Apa kamu ingin tahu kenapa pernikahanku batal?” Aku mengusap lembut bahunya. "Aku gak memaksa." Tari menarik napas dalam. “Pernikahanku batal karena ... satu hari sebelum hari H, dia meninggalkanku.” Aku menelan ludah. Jahat sekali calon suaminya. Tak bisa kubayangkan seandainya aku adalah Tari. Pasti hancur sekali hatinya. Tari menatapku ragu-ragu. “Dia tahu aku hamil.” Aku nyaris menjatuhkan daun singkong yang akan kumasukkan ke panci. Tari menarik napas. Matanya terpejam sejenak. “Aku hamil ... aku tidak tahu siapa yang melakukannya. Suatu malam ... dalam perjalanan pulang dari pesta pernikahan temanku ... ada yang membekapku. Tahu-tahu ... aku hamil. Pernikahan kami pun batal.” Tari meletakkan pisau ke atas talenan. Kedua tangannya bergerak menutupi wajah. “Apa kamu gak menjelaskan yang sebenarnya terjadi?” Kuangkat panci. Membuang airnya ke ember tempat meletakkan piring kotor kemudian mencuci daun singkong dengan air dari jerigen di dekat ember. “Sudah.” Kudekati Tari. Pelan menepuk bahunya. Seandainya aku adalah Tari ... aku menggeleng. Kejadian tadi pagi saat menelepon Mas Yus saja sudah membuat hati begitu nyeri, apa lagi jika sampai yang dialami Tari menimpaku? Kuiris daun singkong perlahan. “Aku sudah menjelaskannya, tapi percuma. Ia malah menuduh yang bukan-bukan." Aku menatap Tari prihatin. “Kabar aku hamil ... tahu-tahu sudah menyebar. Aku sangat malu. Setelah melahirkan, aku langsung pergi dari rumah. Dan ....” “Dan?” Aku menatapnya kasihan. Kenapa nasibnya begitu menyedihkan? Tari membisu. Matanya menatap bulatan tungku berwarna merah karena bara api. Kayu-kayu bakar terus bergemeretak. Tari berdiri, mengambil penggorengan di atas kompor gas, lalu meletakkannya ke tungku. “Maaf. Gara-gara aku, masaknya tidak beres-beres,” katanya pelan dengan wajah sedih. Ia menuang minyak, lalu memasukkan irisan bawang merah ke wajan. Aromanya yang harum seketika menguar ke mana-mana. “Gak usah sungkan kalau mau cerita. Aku sahabatmu.” Aku mengingatkan sambil menyalakan kompor. Biasanya, kompor gas hanya dipakai untuk merebus air atau memasak dalam keadaan terdesak. Misalnya tidak ada air panas saat ada tamu. Atau kehabisan sayur di siang hari. Tapi berhubung harus segera mengajar, aku memakainya. “Terima kasih." Tari menatapku, tangannya memasukkan bumbu ke penggorengan. Aroma gurih bawang dan cabai yang pedas menusuk hidung, menguar sengit memenuhi dapur. Aku dan Tari bersin-bersin. “Dan ....” Tari memandangku sekilas. Tangannya memasukkan daun singkong ke penggorengan. “Satu minggu lalu, aku kembali bertemu dia. Kami saling menyapa. Dari tatapannya, sepertinya dia masih ....” Ia menarik napas. Lalu mengembuskannya pelan. “Mencintaiku.” Aku tersenyum untuk menggodanya. “Maka katakan ... kalau kamu juga masih mencintainya.” Ia mengangkat wajan, dengan cekatan menuang isinya ke mangkuk di atas meja. “Tidak semudah itu.” Wajahnya terlihat pesimis. “Bagaimana kalau sebenarnya dia sudah tidak mencintaiku? Bagaimana kalau aku yang salah menafsirkan tatapannya?” "Jangan pedimis." Kuletakkan telur goreng ke dalam piring lalu mengambil dua piring kosong, cepat mengisinya dengan nasi lalu mengajak Tari makan. Kami pun makan tanpa bicara lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD