8

1924 Words
Aku yang sudah rapi dengan seragam dan tas cangklong langsung mengempaskan tubuh ke ranjang saat tiba-tiba teringat kejadian kemarin. Kugigit bibir kuat, bertahan untuk tak menangis saat rasa sedih dan kesal menerjang benak secara bersamaan. Apa yang sebaiknya kulakukan? Tentu, tak mungkin kembali ke sekolah karena sudah dipecat. Kurenggut bantal guling di samping tubuh, lalu meluapkan kekesalan dengan memukulinya sekuat tenaga. Kubayangkan benda ini adalah Pak Herman. Lelaki tua tak berperasaan. “Dasar pilih kasih! Pilih kasih! Kepala sekolah gak berperasaaa ... Ma-mak,” kataku, tersenyum kecil dan beranjak duduk. Di ambang pintu kamar, Mamak mengernyit. Kulangkahkan kaki mendekatinya, kemudian menempelkan telapak tangan di jidat Mamak yang kecil. Hangat. Wajah perempuan di hadapanku masih pucat seperti kemarin. “Apa obatnya sudah diminum, Mak?” tanyaku lirih, dengan tatapan terus mengawasi wajah Mamak yang pucat, cuping hidungnya memerah. Rambut putih sebahu Mamak tergerai awut-awutan. Biasanya, Mamak selalu rapi dengan rambut digelung, atau ditekuk-tekuk kemudian diikat dengan tali rambut cukup kencang agar ikatannya tak lepas. Mungkin, batuk pilek begitu mengganggu sampai-sampai Mamak mengindahkan penampilannya. “Sudah,” jawab Mamak dengan suara serak. Aku menganggukkan kepala. “Opo seng barusan mbok lakokne—apa yang baru saja kamu lakukan, Nduk?” tanya Mamak dengan satu mata disipitkan. Aku gelagapan. “Tadi ... emmp ... aku ... hanya kesal aja, Mak, sama kepala sekolah. Aku ... aku baru ingat bahwa aku disuruh libur satu minggu. Katanya ....” Walau sempat ragu, akhirnya aku kembali membuka mulut. Saat ini, sepertinya, berkata dusta menjadi solusi terbaik agar Mamak tidak cemas. “Kata kepala sekolah, karena selama ini aku rajin berangkat, aku harus cuti." Waktu satu minggu, akan kumanfaatkan sebaik mungkin untuk mencari pekerjaan baru. Mamak mengernyit. Terlihat begitu heran. "Disuruh libur bukannya seneng lha kok malah sebal to, to." "Di rumah gak ada kegiatan, Mak." Mamak menggelengkan kepala. Ia membalikkan badan, melangkah pelan ke luar kamar. Kutarik napas panjang. Karena sudah terlanjur berbohong, akhirnya kulepas seragam, lalu mencantolkannya ke gantungan. Besok saja mulai mencari pekerjaannya setelah Mamak dan Bapak ke kebun untuk menyadap karet. Hari ini, lebih baik membantu bapak mulung getah karet. Lekas kukenakan baju dan celana panjang yang warnanya telah pudar, biasa kupakai saat ke kebun. Baru saja hendak keluar kamar, Mamak berjalan menghampiri. “Nduk, berhubung kamu libur ....” Tatapan Mamak dibiasi harapan. Kutatap Mamak lekat. Mamak mengusap air bening di bawah hidungnya yang memerah dengan sapu tangan lusuh, lalu menarik napas panjang. Ucapnya, dengan wajah tersiksa karena hendak bersin namun tidak jadi. “Bagaimana kalau kamu bertemu Aldri? Biar kalian lebih mengenal satu sama lain, Nduk.” "Dia bukan pengangguran, Mak," sahutku cepat. Kutahan diri untuk tak menangis meskipun saat ini begitu sedih. Mamak tahu benar, aku sangat menyukai Mas Yus. Ia juga mendukung hubungan kami. Tapi gara-gara kedatangan Aldri ke rumah .... Jantungku mengentak-entak menahan luapan amarah. Lelaki itu, benar-benar pembawa s**l. “Kalau mamak yang pinta dia ke sini, pasti dia akan datang, Nduk. Dia, sepertinya sudah kesemsem berat padamu." Mata Mamak berbinar, wajahnya terlihat amat senang. Mataku memanas. Rasa sakit menyeruak masuk menusuk dadaku, bagai ditikam menggunakan duri kelapa sawit tajam berbisa. Sakit, rasanya. Begitu ngilu. Mamak, pasti pura-pura tak tahu tentang perasaanku yang sebenarnya. Mamak menatapku. Lalu berucap pelan. "Ya sudah kalau mau ke kebun, begitu selesai, langsung pulang." Aku bergegas keluar sambil mengusap sudut mata. Mas Yus, cepatlah datang melamar, sayang. *** "Aldri sudah datang, Nduk. Sana temui, biar mamak yang jemur bajunya," kata Mamak, berjalan menghampiriku yang tengah menjemur pakaian. Ia meraih satu pakaian dalam ember kemudian memerasnya kuat. "Jangan lupa, ganti bajumu dan dandan yang cantik." Mamak menoleh, menatapku yang baru saja mandi dengan wajah penuh harap. Balas Kutatap ia dengan perasaan campur aduk. "Tunggu apa lagi, Nduk? Cepat temui. Apa kamu ingin lihat mamak mati dulu baru mau dengar omongan mamak?" Tatapnya. "Umur mamak tinggal sebentar lagi. Mamak ingin sebelum mati ...." Kubalikkan badan, lalu berlari masuk ke dalam rumah dengan air mata bergulir di pipi. Kuusap cepat. Tanpa mendengar omongan Mamak agar mengganti baju lebih dahulu, langsung kutemui Aldri di ruang tamu. "Hai," sapa Aldri saat aku menyibak tirai. Dengan ekspresi dingin, kulangkahkan kaki menuju ke arahnya. Gara-gara keterusterangannya pada Mamak bahwa ia menyukaiku, kini Mamak jadi seperti cenayang ulung. Sebentar-sebentar, bicara tentang kematian. Aldri tersenyum kecil. Tatapannya terus tertambat ke arah kepalaku. Aku menyadari masih membungkus rambut dengan handuk tapi memilih tak mempedulikannya. “Aku ya, seperti ini orangnya. Jika kamu gak menyukaiku yang seperti ini, sungguh belum terlambat.” Aldri menggeleng kecil. “Gak jadi masalah,” katanya santai. “Aku malah suka perempuan yang apa adanya.” Kusungging senyum sinis. “Kamu sudah boleh pulang.” Lalu, kugerakkan tangan ke arah pintu. “Apa ibumu belum bilang? Bersiaplah, aku akan ajak kamu jalan.” Aku tercengang. Pergi dengannya? Yang benar saja. Jujur, aku lebih senang mendekam di kamar daripada menghabiskan beberapa jam dengannya. “Ibumu langsung memberi ijin saat aku bilang ingin ajak kamu pergi.” Tatapanku padanya semakin tak suka. “Aku harus mulung. Getah karet sudah meluap-luap dari penampungannya. Jadi ya, harus segera dipulung." Aldri mengerutkan kening. “Tadi ibumu bilang, kamu baru selesai mulung." “Iya, kan kamu baru selesai mulung, Nduk. Memangnya, kamu mau mulung yang di mana lagi? Kebun kita, mor siji to—cuma satu to?” timpal Mamak sambil berjalan mendekat. Meletakkan tumis singkong ke atas meja lalu mempersilakan Aldri mencicipi dengan isyarat tangan. Uap tipis mengepul dari singkong-singkong yang dipotong memanjang, terus menebar aroma gurih bawang putih dan lada hitam ke penjuru ruangan. “Emm ... maksudku, Mak, aku akan kembali meletakkan tempat-tempat getah ke tempatnya semula biar besok saat nyadap, gak repot. Siapa tau ada getah yang ... me ... menetes." Ucapanku melirih karena mendapat tatapan heran dari Mamak. Mamak mengerutkan kening. “Kok kamu jadi aneh to, Nduk? Sedang terek kok khawatir ada getah yang netes.” Aku menarik napas. Mamak segera duduk di samping Aldri. Aku memandang jalanan. Lengang. Jam segini, jarang ada orang lewat. Para tetangga pasti sedang sibuk di kebun masing-masing. Entah untuk menderes karet, membenarkan posisi talang, mulung, atau moles—mupuk. “Kok, diam saja. Gek—cepat ganti bajumu, Nduk." Mamak memandangku dengan wajah kesal. Di sampingnya, Aldri tersenyum kecil. Sungguh menyebalkan. Ia seperti monster. Sudah tahu aku tertangkap basah membual ... eh, bukannya pamit pulang, malah pura-pura tidak peka. "Nduk." Aku menghela napas, akhirnya masuk ke dalam. Sayup terdengar perbincangan Mamak dan Aldri. Mamak menanyainya di mana ia sekolah. Jawab; Pringsewu. Bagaimana rasanya menjadi dokter; sangat menyenangkan. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang menurutku tidak penting. Kuratakan pelembab ke wajah lalu memilah pakaian yang sekiranya pantas dipakai pergi, namun tak terlalu mencolok. Pilihan akhirnya jatuh pada gamis warna cokelat s**u. Ada sulaman bunga biru cerah yang timbul di bagian d**a juga bawah gamis, membuatku terlihat feminin saat mengenakannya. Aku segera memadukannya dengan jilbab segi empat warna senada. Dua ujungnya kutarik ke belakang lalu menyematkan bros bunga melati ukuran sedang di samping. Setelah memakai sandal hitam berpita, aku berjalan menuju ruang tamu. “Aku sudah siap.” Aldri menatapku cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Bu, aku pamit dulu.” Entah pada dasarnya sopan atau hanya kedok belaka, ia menjabat tangan Mamak dan menciumnya lembut. Kulakukan hal serupa, lalu mengikuti langkahnya menuju mobil di halaman rumah penuh daun-daun oranye terang. Pohon-pohon karet nyaris gundul sekarang. “Kita mau ke mana?” tanya Aldri saat aku duduk di sampingnya. “Terserah,” sahutku sambil terus menatap ke luar jendela, memperhatikan rumah-rumah dari bata merah yang belum lama ini dibangun. Sejak ada bantuan dana untuk pembuatan rumah, penduduk langsung berbondong-bondong membuat rumah. Aldri berdeham. Aku menatapnya sekilas, lalu kembali memperhatikan rumah-rumah yang terus berlari ke belakang. Menatap daun-daun berselimut debu, orang lewat, apa saja. “Ke sungai Mesuji, mau?” Aldri menyentuh tanganku yang segera kutepis kuat. "Kenapa kamu langsung datang saat ibuku menyuruhmu datang? Kamu kan punya pekerjaan." Aku menoleh, menatapnya tak suka. "Seharusnya, kamu langsung tolak permintaan ibuku." "Seandainya aku tau kamu sedang libur, tanpa ibumu meminta pun, aku pasti menemuimu. Kita kan akan segera nikah. Apa salahnya saling mengenal?" Kusentak napas kuat. Percuma bicara secara baik-baik dengannya. Ia tak akan pernah peka. Atau pura-pura tak peka? "Al, tolong berhenti mengganggu hidupku. Aku gak mau nikah sama kamu. Setelah hari ini, jangan temui aku lagi," ucapku akhirnya. Aldri menatap lurus ke depan. “Apa kamu ingin ke Puncak?” "Apa kamu gak akan ganggu aku lagi setelah ini? Tolong jangan memaksakan kehendak, Al." Aldri beringsut mendekat. Membuatku langsung bergerak menjauh. “Kalau ke rumahku ... bagaimana?” "Jangan mengalihkan pembicaraan, Al!" "Kenapa gak mau ke rumahku? Aku janji gak akan macam-macam." Aku menyentak napas. Benar-benar hanya perbuatan sia-sia terus bicara dengannya. Aldri terkekeh. “Bercanda. Kamu ingin ke sungai Mesuji atau taman Kehati?” Aku mengembuskan napas, lalu membenarkan posisi duduk. Jujur, aku sangat kesal. Dan merasa tak nyaman karena Aldri terus menatapku. “Bagaimana kalau ke taman Kehati?” "Terserah kamu!" “Hari ini, kamu lebih jutek dari kemarin. Pasti, karena kamu sedang menstruasi.” Langsung terdengar tawa dari depan. Bahu supir Aldri berguncang pelan. Sementara lelaki menyebalkan ini terus memberiku pandangan menggoda. Aku merasa sangat malu saat teringat tengah terjatuh di pangkuan Aldri. Celana putihnya ternoda oleh darah haid. Sekarang, ia malah mengingatkan tentang kejadian waktu itu. “Kamu baik-baik saja, kan?” Tanpa melihatnya, kuanggukkan kepalam Aku yakin sekali, Aldri masih menatap kemari. Tiba-tiba, tubuhku begitu gerah sampai mengeluarkan keringat padahal suhu di dalam mobil sudah sangat dingin. Aldri terkekeh kecil. “Kamu menggemaskan.” Aku mengangkat wajah dan menatapnya jutek. Aldri kembali terkekeh. “Jangan mengungkit lagi kejadian waktu itu! Mengerti?!” pintaku sambil memberinya pandangan tak senang. Aldri lagi-lagi terkekeh. Katanya, “Siap, Bu, Guruuu.” Akhirnya, sampai juga di taman Kehati yang begitu ramai. Kami berdiri di dekat air mancur tak jauh dari kolam renang berwarna keruh khusus untuk anak-anak. Aku memandang lurus ke banyak macam tanaman dan terus bertahan agar tak menatap Aldri yang sedang bicara. “Airnya keruh. Padahal, aku ingin ajak kamu berenang." “Seandainya jernih pun, aku gak akan mau berenang.” Aku masih tak menatapnya. Tatapanku lekat pada jembatan warna-warni di mana beberapa orang sedang foto-foto. Aldri mengikuti arah pandanganku. "Oh, iya, aku lupa kamu sedang menstruasi. Apa kamu ingin ke sana?” Aku menoleh dan refleks mundur saat tersadar Aldri ternyata berdiri sangat dekat denganku. “Nona ....” Aldri menggapai tanganku. Aku mencoba melepasnya tapi ia malah mempererat genggamannya. “Kamu pasti menganggapku aneh. Tapi, aku gak bohong. Aku sungguh-sungguh saat mengatakan telah jatuh cinta padamu pada padangan pertama. Dan, aku gak suka ditolak. Aku yakin kamu akan balas mencintaiku dalam waktu tak begitu lama," katanya pelan penuh keyakinan. Aku memandang tangan kami yang bertaut lalu menyentak tangannya. “Hanya pegangan tangan, apa gak boleh?” ia menatapku dengan alis nyaris bertaut. “Jangan terlalu fanatik,” lanjutnya. Aku menunjuk diriku. “Jika kamu mau komplain, sama Dia saja! Dia yang membuat aturannya!” Aldri mencibir. Menatapku dengan pandangan mencemooh. “Lalu, bagaimana dengan ... sikapmu waktu itu? Merebah di pangkuanku sambil memandangku penuh cinta? Jujur, waktu itu, kamu membuatku takut. Sangat takut.” Aku melongo, memandangnya tanpa berkata apa-apa. Lihatlah, tatapannya mengejek sekali. Karena sangat kesal, aku pun mendorongnya. “Antar aku pulang sekarang!” “Aku hanya bercanda. Sungguh, jika sedang marah, kamu tambah cantik." Walau sangat kesal, anehnya, hawa panas perlahan merayapi wajahku. Aldri tersenyum menggoda. Daripada bertatapan dengannya yang hanya akan membuat tambah malu, aku akhirnya membungkuk lalu dengan kedua tangan yang dtangkupkan, menyiramkan air ke arahnya. Aldri langsung membalas. Kami akhirnya saling balas tak mau kalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD