Seorang gadis kecil nampak duduk di tepi ranjang sambil memeluk bonekanya. Ia melamun sejak pulang dari sekolah membuat para pengasuhnya kebingungan.
"Non Jesy makan ya, ini sudah malam, Non cantik belum makan dari siang. "
Dengan lemah Jesy menggeleng, dia ingin Aunty Difa menjadi mamanya. Tapi kenapa Aunty tidak mau?
"Non makan ya, nanti sakit loh. "
Lagi, Jesy hanya menggeleng membuat pengasuhnya menghela nafasnya panjang.
"Gimana Mba, nanti non sakit malah kita bingung lapornya sama Nyonya."Ucap salah satu pengasuh.
"Biar aku yang coba telpon deh. "
Beberapa saat menunggu akhirnya pengasuh tersenyum lega karena panggilan teleponnya di angkat.
"Hallo Nyonya, itu Non Jesy tidak mau makan sejak siang, dia terus saja murung."
"Owh gitu, ya sudah biar saya bujuk lagi."
"Baik Nyonya."Pengasuh itu menutup panggilan teleponnya.
"Gimana Mba? "
"Nyonya lagi di Surabaya Nah, kita di suruh telpon Tuan. "
"Terus mba Yuni mau telpon Tuan?"
"Bingung ya Nah,yang ada Tuan marah kita di pecat. Sudah kita berdoa saja semoga Non Jesy tidak sakit. "
"Iya Mba, Inah setuju, dari pada kita di pecat cuma gara-gara Non Jesy tidak makan. "
Yuni dan Inah menoleh menatap nona kecilnya yang masih terus saja melamun.
.
.
.........
.
.
Difa duduk di ranjang sambil membenahi pakaiannya. Nafasnya masih memburu, hampir saja ia kelepasan sebelum akal sehatnya kembali dan segera mendorong tubuh Dimas.
"Kenapa?"Tanya seseorang yang kini sudah memeluknya lagi, "Kamu masih mencintaiku akui saja,aku tahu dari caramu membalasnya tadi. "
Difa tersenyum kecut sambil mencoba melepas pelukan Dimas, "Kamu salah, tadi hanya percobaan saja, aku ingin tahu apakah rasanya masih sama atau tidak?"
"Maksudmu? " Tanya Dimas tak mengerti sambil melepaskan pelukannya lalu membalik tubuh Difa agar menghadapnya.
Difa memberanikan diri menatap Dimas, "Ciuman itu tak ada artinya, tak mampu membuatku berdebar seperti dulu, kamu.....pahamkan maksudku? "
Dimas mengetatkan rahangnya,tidak ia tidak mempercayai itu, dengan emosi dia mendorong tubuh Difa kembali di bawahnya, "Oh ya ayo kita buktikan lagi."
Tanpa menunggu Dimas mulai kembali mencumbu tubuh di bawahnya, mencari titik rangsang wanitanya yang jelas masih ia hafal.
"Lepas Dim.. mas... " Ujar Difa berusaha mendorong tubuh Dimas dari atasnya.
"Dimas lepas atau aku.. aku akan membencimu. "
Mendengar itu Dimas langsung menghentikan aksinya. Bangkit dari atas tubuh istrinya dan berlalu meninggalkan Difa di kamarnya.
Difa menghela nafasnya lega, ia langsung duduk bersandar pada kepala ranjang,"Apa aku sudah keterlaluan?"Gumamnya, lalu ia menggeleng, "Tidak ini yang terbaik, dia saja belum jujur tentang semuanya padaku. "
Sementara Dimas duduk termenung di meja makan, dia meremas kepalanya merasa putus asa dengan penolakan Difa. Ia pikir akan mudah membuat istrinya itu mengerti mengingat sifat wanita itu yang lembut dan juga polos, nyatanya Difa sekarang sedikit lebih keras kepala, "Apa aku sudah menyakitinya terlalu dalam, tapi sudah aku jelaskan padanya tentang yang mungkin ia lihat waktu itu. "
Difa sungguh lelah, perutnya yang kosong mulai menyuarakan keinginannya,perlahan ia bangkit dari ranjang dan melirik pada nasi briyani yang ada di atas meja dekat televisi.
"Apa dia sudah makan?"Gumamnya mengingat jika mungkin saja Dimas juga belum makan,"Apa peduliku. "
Difa langsung membuka makanan itu dari plastik wrape dan membawanya ke ranjang dan memakannya.
Dimas menghela nafasnya sebelum ia masuk lagi ke kamarnya, ia pikir jika lebih baik saat ini dia sedikit melunak, jangan memaksa keinginannya pada Difa. Ia yakin nanti Difa pasti mau mengerti dirinya dan kembali padanya, wanita itu hanya butuh sedikit waktu lagi.
Dimas tersenyum melihat Difa ternyata sedang makan,perlahan ia mendekat dan mengulurkan minum saat di lihatnya Difa hampir cegukan.
"Minum dulu, pelan saja makannya . "
Difa mendongak lalu menerima botol air mineral dari Dimas dan segera meminumnya.
Dimas duduk di depan Difa dan menanti wanita itu menyelesaikan makannya.
"Kenapa melihatku seperti itu? "Tanya Difa, "Aku lapar, bukan karena suka makanannya. "
Dimas mengangguk, "Aku juga belum makan. " Lirih Dimas membuat Difa mengerutkan keningnya.
"Nih... "Ujar Difa karena memang tak ada makanan lain.
Dimas menggeleng, "Tidak mau jika tidak kamu suapi. "
Difa mencebikan bibirnya, "Terserah. "Lalu ia melanjutkan makannya.
Kriukkk.....
Difa menghentikan kunyahannya saat ia mendengar suara perut Dimas. Ia lalu menghela nafasnya dan mau tidak mau dia mengulurkan tangannya untuk menyuapi Dimas.
Dimas bersorak dalam hati, Istrinya ini tetap saja tidak tegaan,dan itu semakin membuatnya yakin jika Difa pasti akan kembali kepadanya.
Setelah menyuapi Dimas, Difa beranjak ke kamar mandi, dia butuh menyegarkan diri.Percuma memaksa Dimas agar mau membukakan pintu apartemennya, pria itu memang pemaksa sejak dulu.
"Bersabarlah Difa, dia tidak mungkin mengurungmu selamanya."
Beberapa saat setelah mandi, Difa keluar dari kamar mandi,dia menghela nafasnya saat melihat Dimas duduk di ranjang sambil memainkan ponselnya.
Segera ia menuju walk in closet untuk mengambil pakaiannya yang ia yakin juga masih ada di sana.
"Dimas kemana baju-bajuku?" Protes Difa saat tak mendapati satupun bajunya di dalam lemari. Padahal seingatnya dia sudah memboyong beberapa pakaiannya ke sini dulu.
"Apa,aku tidak tahu. "
Difa dengan kesal kembali ke ruang pakaian dan memakai apa saja yang bisa ia pakai untuk malam ini.
Dimas menyeringai karena rencananya berhasil.Tadi saat wanita itu mandi, Dimas dengan cepat memboyong semua pakaiannya dan membawanya ke ruang kerjanya.
Dimas melirik ke arah Difa yang sedang menyisir rambutnya,segera ia bangkit dan menghampiri Difa.
"Kamu kalau tambah hari tambah cantik seperti ini aku mana tenang jauh darimu."Ujar Dimas sambil memeluk Difa,"Kemejaku sangat cocok untukmu."
Blush...
Difa merasa kesal dengan perasaannya yang mudah sekali tersentuh dengan gombalan Dimas.
"Lepas. " Ujar Difa.
Dimas menggeleng, ia justru langsung menggendong Difa dan membawanya ke ranjang,"Kita masih suami istri jika kamu lupa sayang."
.
.
...........
.
.
Pagi-pagi sekali Farel di buat panik oleh telepon dari pengasuh Jesy yang mengabarkan jika Jesy tengah sakit dan meminta Farel datang bersama Aunty Difa.
"Cepat nenek telpon Aunty, katakan padanya jika temanku sakit dan merindukannya."
"Iya sayang, sabar telepon nenek belum di angkat oleh Auntymu."
Bunda Sifa sedikit khawatir karena sejak kemarin Difa tidak ada kabarnya.
"Kita saja yang ke rumah Jesy nek, ayoo... "
"Ya baiklah."
Akhirnya bunda Sifa lah yang menemani Farel ke rumah Jesy untuk menjenguk gadis kecil itu.
Sementara di lain tempat, di sebuah apartemen Difa baru saja selesai mandi, dengan kesal dia memakai pakaiannya yang ia temukan di ruang kerja pria itu saat ia ingin menggunakan telepon yang ia ingat hanya ada di ruang kerja pria itu.
"Jangan cemberut terus dong sayang." Ujar Dimas sambil memeluk Difa dari belakang.
"Kamu sudah mendapat apa yang kamu inginkan iya kan? Sekarang lepaskan aku, biarkan aku pulang." Ucap Difa masih mencoba menahan emosinya.
Semalam logikanya kalah dari hatinya, dan ia harap itu yang terakhir kalinya.
"Kenapa kamu tidak mau memahami alasanku sayang?Aku sudah menjelaskan semuanya padamu, aku terpaksa melakukannya. "
"Yang membuatku marah bukan apa yang kamu lakukan Dimas, tapi keputusanmu yang kamu ambil tanpa melibatkanku. "
"Tapi sayang,..."
"Cukup Dimas, aku tetap dengan pendirianku, aku mau kita bercerai. "
Difa segera keluar dari kamar ,"Dimas cepat buka pintunya aku harus pulang atau aku akan membencimu. "
Dimas menghela nafasnya, Ia harus mengalah dulu kali ini, dan dia sangat berharap benih yang ia tanam semalam akan tumbuh di rahim istrinya sehingga Difa akan mengurungkan niatnya untuk berpisah darinya.
.
.
myAmymy