6. Nangis Bombay!

1216 Words
“Ren, besok kamu temani aku untuk melihat restoran itu, ya!” ucap Agatha yang sedang bicara dengan asistennya tersebut melalui media zoom meeting malam ini. “Oke! Berarti kita lakukan itu setelah ikut pemakaman dulu, ya!” jawab Lauren. Mereka memang sedang membicarakan pekerjaan secara online sehingga Agatha dan sang asisten tak perlu bertemu untuk berdiskusi. “Oh, bukannya meninggalnya dari kapan hari, ya? Kok baru dimakamkan sekarang!” Agatha terkejut mendengar itu. Entah dia pura-pura tidak tahu atau memang bodoh, faktanya Agatha dan keluarga Joseph menganut kepercayaan berbeda. “Pengacara kemarin mengabari aku, katanya Bu Agatha besok harus memimpin pemakaman! Masih mending Bu Agatha tidak diminta untuk mengurus pemakaman mereka, loh!” omel Lauren pada bosnya tersebut. Agatha meletakkan kapas toner yang sedang ia pakai malam itu. “Maksudku ... kok bisa jenazahnya dibiarkan berhari-hari?” Lauren yang ada di layar itu menggelengkan kepala. “Bu Agatha, harus diajari lagi sama saya? Pak Joseph Liem itu menganut kepercayaan yang berbeda dengan kita. Jadi hal seperti ini sudah wajar, Bu, di kepercayaan mereka!” “Oh, gitu .... Iya, sih, aku juga mendengar itu! Lupa! Lupa!” timpal Agatha. “Eh, Ren! Yang aku review bakso ikan di Singapura itu, udah kamu jadwalkan ulang?” “Yang fishball? Sudah, Bu! Hari Sabtu di minggu ini! Saya juga sudah pesankan semua, termasuk tiket dan akomodasi! Jangan dibatalkan lagi, loh, Bu!” Agatha hanya tersenyum-senyum sambil menuangkan lagi toner ke kapas baru yang ia ambil lagi. Seakan-akan dari ekspresinya itu menunjukkan kalau dia tidak berjanji jika tidak akan melakukan hal itu. “Hmmm, aku enggak ngerti, kenapa itu bakso ikan enak banget! Untungnya aku enggak alergi ikan!” “Fishball, Bu! Fishball!” ralat Lauren pada bosnya. “Lah, sama aja! Bakso ikan!” timpal Agatha. “Tapi ini, kan, di Singapura, Bu! Jadinya, fishball! Ingat besok pas review, nyebutnya fishball!” tegur Lauren sekali lagi. “Okelah! Oke!” “Udah dulu, ya! Besok kita berangkat pagi, Bu! Jam enam kita ketemu di studio!” ujar Lauren. “Jam enam matamu! Boy aja berangkat setengah tujuh! Tunggu suamiku berangkat dululah!” Tanpa mendengar omelan dari Agatha, ternyata layar panggilan telah berakhir. Itu artinya, Lauren tak mendengar apa yang dikatakan oleh bosnya tersebut. “Sebenarnya, yang bos di sini aku atau dia, sih?” ** Keesokan harinya, pagi-pagi Agatha telah membuat jus untuk sarapan paginya. Ditambah dengan sandwich untuk melengkapi serat dan nutirisi. Sambil mengunyah roti berlapiskan keju, daging, dan sayur segar itu, Agatha melihat sang suami terburu-buru keluar dari kamarnya. Otomatis, Agatha pun meletakkan makanan yang baru ia gigit itu ke atas meja. Dia menyambar kotak bekal dan menghampiri Boy. “Boy! Boy! Kamu mau berangkat?” tanya Agatha dengan suara yang riang. Boy pun memasang wajah jutek dan sinis, serta mempercepat langkah kaki. “Bawa ini!” ujar Agatha sambil menyerahkan kotak bekal ala Jepang berdesain elegan pada Boy. Pria itu diam saja! Matanya menerawang apa yang ada di isi kepala Agatha. “Kira-kira, apa yang bakal dia lakukan kalau aku menolak bekal itu?” “Ini!” Agatha menyodorkan terus benda tersebut. “Kalau dia malah maksa, lalu megangin kakiku, sampai celanaku melorot?” Seketika Boy langsung bergidik dan mengambil kotak bekal dari Agatha tanpa mengucapkan terima kasih. “Eh, Sayang! Tunggu!” Agatha menahan Boy dan melihat penampilan pria tersebut. “Apa lagi, sih?” Terlihat sekali dari wajahnya kalau Boy sedang sangat jengkel pada Agatha. “Aku ... lihat, jam tangan kamu kurang match dengan dasi!” “Ah, aku tidak ada waktu untuk itu, Agatha! Sebentar lagi ada meeting klien yang penting aku!” “Ini tidak akan lama! Tunggu! Aku pernah lihat rantai jam dan motif dasi yang di kamar kamu! Itu cocok sama jas yang kamu pakai!” Agatha berlari ke kamar milik Boy. Tentu pria tersebut tak ingin membiarkan Agatha menjelajah dalam kamarnya sendiri. “Kamu mau ngapain, woy!” Agatha sudah berada di walk in closet milik Boy dan menatap pada jajaran dasi milik suaminya tersebut. “Nah, dasi yang ini! Ini baru kamu pakai tahun lalu, tapi dasi ini cukup mahal dan bagus. Enggak apa-apa dipakai lagi sekarang, karena cocok dengan jas baru kamu ini!” Boy diam saja saat Agatha mengambil dasi yang dimaksud lalu mencocokkan benda tersebut dengan jasnya. “Kamu beli jas ini dari Singapura, kan?” tanya Agatha seakan dia hafal dengan semua barang-barang milik Boy. “Oke, selama aku menuruti keinginan dia, mungkin tidak akan terjadi apa-apa!” batin Boy mencoba menenangkan diri. “Jamnya ....” Agatha melihat-lihat. “Nah, ini!” Agatha langsung mengambil salah satu tangan Boy. Pria itu agak ragu saat mengulurkan tangannya, hingga Agatha melepas jam tangan yang telah dipakai pria tersebut untuk diganti. “Cufflink juga, diganti sini!” Agatha bahkan memaksa Boy untuk melepas benda yang tersemat di pangkal lengan kemeja milik Boy. Perempuan itu mengganti semua detail aksesori yang dipakai oleh Boy. Sementara, Boy sendiri hanya bisa meneguk ludah karena tak berani melawan seorang Agatha di pagi hari. “Pinter, suamiku tumben nurut?” tanya Agatha yang mengusap jas di bagian Bahu suaminya. “Biar cepet!” timpal Boy. Agatha tersenyum sampai menyipitkan matanya. Dia tahu, jika Boy akan bereaksi seperti itu. “Dah, Boy! Hati-hati, ya! Aku tunggu kamu di rumah!” ucap Agatha yang berteriak dengan suara cemprengnya yang sengaja dibuat imut. Boy berlari menuju ke mobil dan segera pergi. “Fuuuh! Selamat!” Boy mengembuskan napas sambil mengemudikan mobilnya. Dia mengingat kata-kata zaman dulu pada dirinya. Di mana, apa yang dilakukan Agatha dulu benar-benar membuat dia trauma. “Pokoknya, kamu nurut aja, ya! Kalau enggak, aku bakal ngelakuin hal gila yang enggak pernah kamu bayangkan. Misal ... duduk ngangkangin kamu di depan para karyawan!” ** Sementara itu. Foto seorang pria beruban, yang diberi bingkai emas, dibawa oleh Agatha. Perempuan itu menata rambutnya dengan sangat sederhana, tanpa menggunakan riasan apa pun, dan memasang wajah sedih dengan mata sembab pipi kemerahan. Agatha berjalan paling depan mendahului peti mati di belakangnya. Mereka berjalan menuju ke tempat kremasi. Dia bersama pengacara yang menemani, melihat proses kremasi tersebut. Mereka berdiri berdampingan. Sang pengacara menitikkan air mata sesekali, dia membawa selembar sapu tangan untuk diusap sedikit demi sedikit di sudut matanya. “Tidaaaaaaaaak! Papaa .... Kenapa kamu harus pergi sebelum kita sempat bertemu! Papa ...!” Pria yang menjadi wali hukum keluarga Joseph Liem itu langsung memegangi dadanya karena kaget. Dia menoleh sambil membelalak hingga air mata palsunya itu kering. “Papa ...! Kau tidak pernah memberitahu aku jika kamu adalah papa kandungku! Kini aku sendiri lagi ....” Pengacara itu sampai tak bisa mengeluarkan air mata lagi. Karena ternyata, ada orang yang memainkan akting lebih drama dari dia. “Bu Agatha ... kenapa menangis keras-keras begitu?” bisik Lauren pada Agatha. “Aku benar-benar sedih, Ren!” jawab Agatha yang ternyata dia benar-benar menangis. Lauren agak terkejut, kenapa bosnya mendadak sesedih ini. “Kok ... bisa?” Agatha pun melihat sekeliling, dia menarik Lauren agar telinganya menjadi lebih dekat. Lauren memasang wajah serius, dia ingin mendengar alasan Agatha. Tapi ternyata, bukan itu yang dikatakan oleh Agatha padanya melainkan .... “Ren ... kamu juga harus nangis sekarang!” ucap Agatha sambil memaksa kepala asistennya itu agar semakin menunduk. “Bu ... tapi ... aku enggak sedih, Bu ....” "Enggak nangis, kupotong gaji!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD