5. Pinjem Duit Bagian 2

1615 Words
Sepertinya apa yang dikatakan oleh Boy itu benar. OTAK AGATHA MEMANG KURANG SESENDOK. Dia ini tadinya cuma anak pulung ibunya, yang kemudian sama ibu pulungnya itu juga dititipkan ke panti asuhan. Kenapa sekarang tiba-tiba konglomerat pemilik restoran legendaris di Indonesia mengakui dia sebagai bapaknya Agatha? Apakah ada cerita yang lebih plot twist dari ini? “Tunggu, Pak! Tunggu! Masuk rumah dulu, ya?” ajak Agatha. Kalau masalah yang seperti ini, baru dia mau mengajak tamunya duduk. Padahal tadinya, dia sama sekali tak berniat mempersilakan masuk. “Baik! Permisi!” “Silakan duduk!” ujar Agatha yang juga menaruh pantatnya di atas kursi, sambil tak lupa dia membuat pose khas, yakni menyisir rambut panjangnya ke belakang menggunakan jari. “Saya mengerti, pasti Bu Agatha terkejut! Tapi pernahkah Bu Agatha bertanya-tanya, siapa orang tua asli Bu Agatha? Karena Anda selama ini hanya tinggal di panti asuhan, kan?” Sang wali hukum dengan kacamata bulat itu sudah bisa menebak masa lalu Agatha. Otomatis Agatha mengangguk. “I ... iya ... waktu kecil saya di panti asuhan, pas sudah besar saya bekerja di panti pijat! Anak panti banget ya, saya?” ujarnya sambil tersenyum canggung. “Jadi ... ibu yang menitipkan Bu Agatha ke Panti Asuhan itu memang ibu kandung Bu Agatha. Karena dia malu punya di luar nikah dan menjadi simpanan, makanya dia menitipkan bayinya ke panti asuhan. Sementara itu, papa kandung Bu Agatha ada kemungkinan merupakan Pak Joseph!” “Kok bisa sampai ada kemungkinan begitu, sih? Kalau ternyata bukan, bagaimana? Saya ini cuma yatim piatu, dari awal tinggal di panti, panti asuhan, panti pijat, panti jompo! Jadi bapak jangan memberi harapan palsu pada saya?” ucap Agatha memelas. Lalu ia membuat matanya membulat dan berkaca-kaca menatap pada pengacara tersebut. “Apa Anda tidak kasihan pada saya ...?” Mata bulat itu berkedip-kedip. Tentu saja pengacara tersebut menjadi salah fokus, tapi kemudian dia segera menyadarkan diri. “Ini ...! Ini buktinya! Bisa dibaca!” tutur pengacara tersebut sampai berkeringat dingin. Apalagi Agatha berulang kali menyurai rambutnya sendiri sehingga menunjukkan jika leher jenjangnya itu sangat seksi. “Jadi dalam surat wasiat Pak Joseph, dia bilang punya anak dengan nama Agatha yang dititipkan di panti asuhan Kasih Bunda?” tanya Agatha sambil berpikir. Dia mengingat jika nama panti asuhan tempat dia dirawat semasa kecil itu memang ‘Panti Asuhan Kasih Bunda’. “Aku memang dari sana, sih! Dan memang tidak ada anak yang lain yang namanya Agatha selain aku!” “Jadi ... besar kemungkinan bahwa Bu Agatha memang anak Pak Joseph!” “Wah ...! Kayak di film-film, wooy! Aku ternyata putri dari orang kaya!” Sang wali hukum itu hanya tersenyum. “Itu masih perlu dibuktikan, Bu!” “Dibuktikan lagi? Bagaimana?” Pengacara dengan kacamata itu menghela napas. “Bu Agatha harus tes DNA!” Senyum Agatha merekah. “Boleh!” jawabnya dengan penuh semangat. Ia tak peduli apakah berita ini benar atau tidak! Anggap saja dia sedang berita ramalan cuaca, bisa benar, bisa tidak! Jika hal itu benar, maka rezeki nomplok bagi Agatha. Tapi jika ternyata tidak, ya, anggap saja pertemuan ini sekedar intermezzo lewat saja! Gampang, jangan terlalu berharap tinggi. Kalau jatuh pasti sakit. “Kalau begitu, boleh saya minta sampel DNA yang bisa diberikan?” Sambil menyisir rambutnya menggunakan tangan, Agatha memperhatikan telapaknya. “Akar rambut juga bisa dipakai! Boleh saya minta beberapa helai?” tutur sang pengacara tersebut sambil melihat ke arah telapak tangan Agatha. Pikiran Agatha malah blank, dia membiarkan saja pria tersebut mengambil beberapa helai rambutnya. Setelah itu, sang pengacara tersebut pun pergi. Agatha masih mematung, dia kembali melihat ke arah telapak tangannya. “Kok rambut aku bisa rontok, sih?” ** Berhari-hari Agatha masih memikirkan hal tersebut. Apa benar dia memang anak haram Joseph Liem? Tapi, ibu pengasuh di panti dulu tidak pernah mengatakan itu. Hampir di setiap aktivitas yang ia lakukan, Agatha selalu memikirkannya. “Semoga saja, hasilnya positif!” ujarnya sambil memeras jeruk. “Apa yang positif, Agatha? Kamu sedang tes hamil?” Seseorang tiba-tiba menyahut, dia datang dari ruang tengah menuju ke area dapur. Agatha langsung menoleh begitu nenek mertuanya itu datang. “Bu Agatha mau saya bantu?” tawar ART-nya. “Iya, Mbok Tukin! Tolong, ya!” Agatha menyerahkan jeruk dan juga pemerasnya pada sang ART. “Apanya yang positif, Agatha? Ditanya kok malah diam!” “Oh, ini, Nek! Pikiran! Berpikir positif! Kita harus berpikir positif!” Sang nenek menganggukkan kepala mendengar jawaban dari Agatha. “Nih! Kurma muda! Langsung dari Arab! Jangan lupa dimakan! Suruh si Boy makan!” Agatha melihat pada makanan yang dibawa oleh sang nenek. “Banyak amat, Nek! Mana habis untuk berdua?” ujar Agatha. Tidak tanggung-tanggung, sang nenek memberi kurma muda lebih dari sepuluh plastik berukuran sedang. “Kasih, Mbok Tukin kalau enggak habis!” seloroh sang nenek. Agatha langsung menelan ludah. “Ya, jangan, dong! Entar kalau Mbok Tukin hamil, sini yang repot, Nek!” “Enggak mungkin lah, Bu! Mana ada orang tua kayak saya yang masih hamil!” Semua orang di sana tertawa, kecuali Agatha. Dia mendengar jika ponselnya bergetar dari atas kulkas. Perempuan itu pun segera berlari dan mengambil benda pipih tersebut. [Ini lampiran hasil tes DNA-nya!] ~ Pengacara Joseph Liem Agatha segera mengunduh lampiran dokumen itu dan dia pun membaca bagian yang ditebalkan di sana. Probabilitas Joseph Liem sebagai ayah biologis dari Agatha Pramudya adalah 99.99999% Tidak lupa Agatha langsung menyisir rambutnya dengan menggunakan jari. Dia mengulum senyum dan menyembunyikan wajah bahagianya. ** Kembali pada Boy yang sedang pusing menghadapi masalah bisnis. Lantas kini Agatha datang dengan pakaian yang anggun menuju ke kantor suaminya tersebut. “Bu Agatha?” sapa sekretaris dari Boy yang menyambut sang nyonya. “Pak Boy ada?” tanyanya dengan suara lembut. “Ada, Bu! Silakan masuk saja!” “Terima kasih!” Senyum manis tersungging dari bibir Agatha sambil masuk dan menemui suaminya. “Siapa?” Boy langsung menghela napas begitu menghela ada orang yang datang tanpa mengetuk pintu. Terlebih yang datang adalah wanita random bernama Agatha. “Boleh aku duduk?” “Terserah!” timpal Boy. “Emmm, enaknya duduk di mana, ya?” tanya Agatha sambil berjalan mondar-mandir di depan Boy. Pria itu sedang ada masalah, kepalanya semakin jengah saat melihat Agatha berjalan tidak jelas tujuannya seperti ini. “Terserah kamu lah!” timpalnya dengan sinis. “Kalau begitu ....” Agatha berjalan mendekat. Jantung Boy deg-deg ser luar biasa! Karena perempuan ini tiba-tiba berjalan mendekat. “Kalau begitu, duduk di pangkuanmu saja, ya?” Spontan Boy langsung memutar kursinya. Dia membelakangi Agatha. Segera Agatha tersenyum simpul melihat tingkah menggemaskan suaminya. Apalagi saat ini, suasana hati Agatha juga sedang membaik luar biasa. Saat itu juga, pintu kantor milik Boy terbuka. “Maaf, Pak Boy!” Sekretaris dari pria tersebut masuk. “Ada apa?” Boy berdiri sambil mengabaikan Agatha. “Jadi ... tadi saya sudah berdiskusi dengan bagian keuangan. Mereka berkata kalau dari hasil penghitungan, dana yang bisa likuid bulan ini maksimal hanya 130 milyar. Kita kurang 20 milyar lagi. Untuk mengajukan pinjaman ke bank, sebenarnya masih mungkin. Tapi tidak menjamin akan cair bulan ini!” tutur sekretarisnya. “Ya sudah! Kamu usahakan dulu untuk mencari pinjaman ke bank yang bisa cair secepatnya. Aku juga akan mencari informasi barangkali ada perusahaan lain yang bisa membantu untuk dana ini!” Setelah bicara demikian, sang sekretaris langsung keluar dari ruangan. Boy pun menatap pada Agatha dengan heran karena perempuan itu malah diam saja. “Jadi, Boy, kamu enggak ada 20 milyar?” tanya Agatha. Boy teringat pada Agatha yang mau meminjam uang 20 milyar kemarin. “Enggak, Agatha! Kamu mau apa memang dengan uang sebanyak itu?” “Aku mau buka bisnis kecil-kecilan!” Laki-laki itu langsung mengembuskan napas. “Kalau bisnis kecil, kenapa harus sampai modalnya 20 milyar? Pakai dua juta saja dulu juga bisa!” “Ya, terserah aku dong! Aku, kan, sekarang cuma mau nanya, kamu ada 20 milyar enggak?” tanya Agatha lagi. “Enggak! Udah dibilangin!” sinis Boy. Agatha pun berdiri dengan gaya khasnya mengusap rambut. Perempuan itu pun kemudian menimpali. “Oh, ya udah, sih, kalau enggak ada! Aku mah ada uang segitu!” Kali ini Boy dibuat bungkam oleh Agatha. Tapi kemudian dia bertanya, “Kamu ada?” Agatha mengangguk. “Kalau ada kenapa mau pinjam?” “Aku enggak bilang mau pinjam uang! Pinjamnya cuma kemarin, sekarang mah cuma mau nanya aja!” Rahang Boy pun mengeras. Tapi yang di depan ini istrinya sendiri. “Agatha ... kau benar-benar ....” Boy mengepalkan tangan pada Agatha, tapi saat itu juga sang sekretaris malah masuk mengganggu kebersamaan mereka. Lalu seketika, Agatha pun memegang tangan Boy yang terkepal dengan erat seperti orang mau meninju tersebut. “Aku akan pulang, ya, Sayang! Wajahnya jangan sedih gitu, dong! Maaf, ya! Aku cuma bisa sebentar ada di sini!” Seketika Boy pun mematung. Dia menatap pada sang sekretaris sambil menggeleng kepala, seakan ingin meluruskan kesalahpahaman yang pasti sudah terjadi. “Semangat kerjanya, ya, Sayang. Semua masalah pasti ada jalan keluar! Aku pulang dulu, ya! I Love You too!” Agatha melenggang pergi setelah melepaskan tangan Boy sambil tersenyum dengan lebar. Perempuan itu melewati sekretarisnya Boy dan menepuk pundak pria tersebut. “Maklumi saja kalau dia marah-marah, ya!” Sekretaris dengan rambut coklat kemerahan itu pun mengangguk. “Baik, Bu. Saya akan menjaganya.” Lutut Boy melemas. Dia langsung duduk di sofa dan memijat keningnya. “Kalau Pak Boy butuh istirahat, saya akan keluar dulu, ya!” pamit sekretaris tersebut sambil pergi. Namun wajahnya pun tersenyum-senyum sambil menggeleng kepala. “Pak Boy memang benar-benar bucin pada Bu Agatha!” Boy mendengar hal itu, dia pun melepas sepatunya dan berniat untuk melempar benda tersebut. ‘Brak!’ Sepatu itu malah mengenai pintu. “Ah ... menyebalkan!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD