Tanpa menunggu lama, bahkan Agatha sampai rela memundurkan jadwalnya yang lain. Perempuan itu segera bersiap untuk menemui pimpinan dari PT. Satu Makmur Indonesia, perusahaan yang memproduksi alat masak bermerek ‘TAFAL’ yang tidak lain adalah sang suami sendiri.
“Tapi, Bu ... kita, kan, ada jadwal ke Singapura hari ini. Katanya mau review fishball yang terkenal di sana. Saya sudah terlanjur booking!”
“Bayar saja uang pembatalannya, Lauren! Kamu itu, kok, dibikin ribet sekali, sih!” omel Agatha yang sedang memoles bibir menggunakan lip glos. Dia ingin membuat sang suami terkesan, walau pria itu nanti tidak akan mengenalinya.
Lauren sebagai asisten dan juga admin yang mengurusi seluruh jadwal Agatha hanya bisa menghela napas dan bersabar. “Baiklah ...,” jawabnya pasrah.
Perempuan itu membiarkan bosnya yang sedang berbenah diri. Lalu dia menangkap sesuatu yang aneh dari Agatha.
“Tunggu, Bu .... Kenapa hari ini dandanannya bertema pink? Bukankah Lady Aga identik berwarna ungu? Ibu tidak pernah memakai warna lain selain ungu, meskipun itu tema dari produk!” ujar Lauren yang mengomentari dandanan Agatha.
“Kautahu apa? Aku bukan hanya sekedar untuk menjadi Lady Aga! Tapi aku akan datang ke perusahaan suamiku! Aku harus menyenangkannya bukan?”
Agatha benar-benar mengenakan gaun merah jambu dan juga topeng bulu dengan warna senada. Dia terlihat cantik, elegan, meski ... warna pink-nya sungguh berlebihan.
“Menyenangkan Pak Boy, ya?” timpal Lauren sambil tersenyum meringis.
“Hmmmm!” Agatha mengangguk sambil mengagumi pantulan bayangannya dari cermin.
“Terkadang aku tidak mengerti, kenapa Pak Boy yang disebut bucin pada Bu Agatha. Padahal yang sebenarnya adalah kebalikannya,” lirih Lauren sambil membereskan peralatan milik Agatha yang tercecer.
“Apa maksudmu, Lauren?”
“Ah, tidak, Bu! Topengmu ... cantik, imut!”
"Imut dong! Kayak Hello kitty, ya?"
"Hehemmm, mirip peppapig sih!
“Kok tsih, setidaknya bilang mirip Barbie, kek!”
“Tidak ada Barbie yang pakai topeng!” jawab Lauren sambil berpikir.
“Masa kecilmu pasti kurang bahagia. Barbie dan three musketeer, mereka pakai topeng!” kukuh Agatha yang membuat Lauren berpikir.
Ya, memikirkan adegan tidak penting dari serial kartun anak-anak berbaju merah jambu dan juga topeng bulu-bulu.
“Ah, yang itu! Kalau begitu ... Pak Boy adalah pangeran Louis? Dan aku ... temannya barbie, salah satu dari three musketeer itu!”
‘Pluk!’ Agatha memukul kepala Lauren dengan topeng bulunya. “Jangan terlalu banyak berkhayal!”
“Aiiih!” Lauren mengusap kepala sambil mengerucutkan bibirnya.
“Kau bukan temannya barbie! Tapi kucing peliharaannya! Miau, miau! Sini!”
“Bu Agathaaaa ...!”
**
Lady Aga, seorang pemengaruh sosial media yang begitu terkenal. Pengikutnya ada jutaan di berbagai platform dan menjadi ambassador dari berbagai produk.
Tak ada yang tahu, siapa dia!
Ciri khasnya adalah warna ungu dan juga topeng berbulu!
Pakaiannya selalu seksi, tapi tak pernah terbuka.
Orang-orang begitu penasaran dengan wajah di balik topeng itu, tapi dia tak pernah membuka identitasnya.
Pernah sekali, sebuah perusahaan memberi uang sangat banyak hanya agar dia membuka topengnya, tapi ... Lady Aga selalu menolaknya.
“Jadi ... ciri khas Anda adalah topeng?” tanya Boy selaku direktur yang sedang melakukan wawancara pada Lady Aga.
“Emmmh!” jawab perempuan itu.
“Apa hubungannya topeng dengan makanan?”
“Tidak ada!” Lady Aga menjawabnya dengan sangat singkat.
“Bukankah Anda akan kesulitan untuk mempromosikan makanan jika sambil menggunakan topeng?”
Entah kenapa, Boy tampak sangsi melihat wanita bertopeng di depannya ini.
Lady Aga menatap Boy dari atas ke bawah. Lalu dia tersenyum miring .... “Jangankan cuma sekedar makan ... bahkan ....”
“Menciummu pun aku juga bisa,” lanjut perempuan itu dalam hati sambil menggigit bibir bawahnya dengan seksi.
“Uhuk!” Boy terbatuk melihat bibir seksi di depannya digigit dengan menggoda. Dia segera mengalihkan pandangan dan membenahi posisi duduknya.
“Emmm, baiklah! Kita bisa tanda tangani perjanjiannya sekarang!” lanjut pria tersebut tanpa melihat ke arah Lady Aga. Baginya, bisa gawat kalau lama-lama di sini.
“Emmm ... ngomong-ngomong, saya harus memanggil Anda dengan apa?” tanya Boy. Masalahnya, dia agak canggung menyebut kata ‘Lady’ sebagai panggilan dari seseorang.
“Terserah ...! Panggil Lady Aga saja ... tak masalah!” timpal perempuan tersebut dengan suara alto yang bulat dan lembut.
“Masalahnya ... memanggil dengan ‘Lady’ itu ... agak ....”
“Oh, tidak suka ...? Kalau begitu ... terserah saja! Panggil aku ‘Sayang’ juga ..., tidak akan ada yang keberatan!” ucapnya dengan cara yang elegan.
Lady Aga adalah seorang alter ego dari Agatha. Perempuan itu mampu menjadi orang lain ketika sudah berada di balik topengnya.
Tidak ada Agatha yang centil dan cengengesan dengan suara cemprengnya.
Yang ada adalah seorang ‘Lady’ yang selalu melentikkan jari, tersenyum berseri-seri dengan gigi yang rapi, dan juga suara lembut yang memikat hati.
“Haha! Saya ... sudah beristri!” Boy benar-benar kikuk. Dia sampai memegang pulpen dengan tangan kiri saat hendak membubuhkan tanda tangan.
Tapi sebaliknya, justru lawan bicaranya terlihat sangat santai. “Begitu ...? Saya pikir Pak Boy tak pernah memikirkan istrinya.”
Memang benar! “Aku tidak pernah mengingat Agatha! Tapi kenapa sekarang tiba-tiba ....” Boy meraba dadanya dan merasakan jantungnya berdebar. Wanita di depannya ini memang begitu mirip dengan Agatha.
Seketika Boy bergidik. “Lagi pula, sejak kapan aku berdebar saat mengingat Agatha. Pasti wanita di depanku ini yang membuat aku berdebar, bukan Agatha!”
“Apa jangan-jangan, Pak Boy ingat dengan istrinya saat melihat saya?”
Seketika Boy langsung menatap bola mata di balik topeng merah jambu tersebut. Napasnya tak beraturan dan bahunya naik turun. Pertanyaan itu membuat keduanya terdiam dalam suasana canggung.
“Siapa dia ...? Kenapa aku takut ketahuan oleh Agatha jika bertemu dengannya?”
“Ah, saya sudah menandatangani perjanjian kita! Sampai jumpa, Pak Boy!”
Lady Aga meninggalkan ruang pertemuan mereka. Sementara, Boy masih merasakan denyut yang membuatnya cukup sesak.
**
Sore itu Agatha berguling-guling di atas sofa ruang tengah. Dia benar-benar bahagia bertemu dengan sang suami dan melakukan kerja sama.
“Apa jadinya kalau aku satu kantor dengan dia? Baru begini saja, aku deg-degan luar biasa!”
Agatha berguling sambil memeluk ponsel miliknya.
[Laureeeeeen! Aku tidak menyangka, kita benar-benar akan kerja sama dengan Boy! Monangis aku ...!]
Agatha mengirim pesan pada asistennya. Perempuan itu menciumi ponselnya sendiri.
Kotak masuknya masih kosong, dia pun mengirim pesan lagi.
[Bisa-bisanya kita tadi udah tanda tangan, loh! Kamu lihat itu, kan, Lauren?]
Dia benar-benar girang setengah mati.
“Astaga!” teriak Boy yang melihat istrinya berbaring di sofa.
“Eh, Boy!” Wajah Agatha langsung semringah dan perempuan itu segera bangun dari tempatnya. “Kaumau makan apa? Aku akan memasak untukmu!”
Mendadak wajah Boy menjadi super kesal melihat perempuan di depannya ini. “Aku sudah kenyang!”
“Kenyang? Memang kamu makan apa tadi?”
Boy tidak mau menjawab. Dalam hati, dia bergumam, mana mungkin jika dirinya harus mengatakan jika ia telah menemui wanita lain.
“Boy! Aku ... ingin kerja bareng sama kamu! Boleh, enggak?” tanya Agatha sambil mengedip-ngedipkan mata. Dia hanya menggoda suami saja, sekaligus melakukan ‘Pamer terselubung’ pada pria tersebut, karena sebenarnya Agatha memang sudah melakukan kerja sama dengan perusahaan suaminya.
“Hah? Kerja apa? Memang kamu bisa apa?”
“Apa saja! Aku takut kamu kepincut wanita lain!” Agatha menutup mulutnya sambil mengatakan hal itu.
Mendadak Boy gelagapan, seakan itu benar adanya. “Emmm, kepincut wanita lain ... apa urusanmu!”
“Ayolah, Boy! Kerja apa saja yang penting hala!”
“Kau ... kau bisa cuci semua sepatuku! Nanti aku beri kau uang!” ujar pria tersebut seenaknya.
“Kok, cuci sepatu, sih! Pekerjaan yang lain, kek! Yang ... pakai baju cantik dan seksi!” tutur Agatha dengan suara cempreng dan centilnya.
Boy mendadak gerah. “Mana ada pekerjaan halal yang pakai baju seksi?” ucapnya sambil terbayang wanita bertopeng dengan baju seksi warna merah jambu yang ia temui tadi.
“Ada, kok! Open BO!”
Seketika mulut suaminya pun menganga. “Open BO itu haram, begoooo!”
“Ya, halal, dong, Boy! Kan, yang booking aku itu ... kamu! Jadi halal kalau sama suami sendiri!” jawab Agatha sambil malu-malu, dia menyatukan jari telunjuk kanan dan kirinya, sembari mengedipkan mata di depan Boy.
Seketika, Boy merasa jantungnya berhenti berdetak! Namun bukan karena terpana!
Melainkan .... “Agatha, kau bisa bikin aku kena stroke!”
Pria itu bergidik ngeri dan berlari menjauh. “Si Agatha, otaknya masih kurang sesendok!”
Melihat Boy yang berlari, Agatha hanya bisa terkekeh geli. Dia masih merasakan kebahagiaan karena berhasil mendapatkan kontrak kerja sama dengan perusahaan sang suami.
“Ngomong-ngomong, Lauren marah padaku apa? Dia tak membalas pesanku sama sekali!” ujar Agatha saat memeriksa kotak masuk di ponselnya.
“Ah, biarkan saja!”
**
Sementara itu, lima jam kemudian.
“Heee, si Lauren baru balas?”
Namun Agatha cukup terkejut saat membaca balasan pesannya.
[Miau .... Miau ... Anda salah sambung, saya kucingnya Barbie Three Musketeers] ~ Lauren.
“Dasar, si Lauren pendendam!”