Bab Tujuh

1835 Words
Jeffrey Aleandra, tersenyum tipis saat melihat berita di sosial media. Ia bisa bayangkan betapa murkanya Fahreza atas kelakuan putra bungsunya itu. “Gaga, kenapa lo enggak jadi anak manis yang patuh sama apa yang orang tua kita pengin sih?” Ale tipe laki-laki yang tidak mau berontak untuk hal apa pun, ia menyukai ketenangan dan kedamaian. Daripada memperpanjang masalah, lebih baik ia diam saja dan melakukan apa yang orang tua inginkan. Bahkan untuk masalah pendidikan adalah campur tangan Fahreza semua, pria itu yang meminta putranya untuk ambil kulian ini dan itu. Kadang apa yang Fahreza minta tidak sejalan dengan apa yang Ale inginkan, tetapi ia berusaha menjalaninya dan lama-lama terbiasa, karena satu yang ia yakini, orang tua selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tak lama kemudian ponsel Ale berdering, dan ternyata itu video call dari ayahnya. Laki-laki itu langsung mendial tombol hijau dan wajah pria yang ia rindukan muncul di layar ponsel itu. Ale tersenyum lebar menyambut sang ayah. “Hai, Pa, apa kabar?” “Papa dan yang lainnya baik-baik di sini, kamu gimana?” ujar Fahreza tak kalah antusias. “I’m fine, Pa, di sini baik semuanya, aku udah selesaiin thesisku, dan tinggal tunggu jadwal wisuda bulan depan. Aku harap papa, mama, dan Gaga bisa ke sini buat hadiri acara wisuda aku.” “Ya, of course, papa dan mama pasti akan usahain buat kamu, tapi enggak tahu adik kamu si Gaga itu, ada aja kelakuannya yang bikin papa kesal. Kamu pasti udah lihat beritanya, kan? Masa dia ke Bali sama perempuan yang bukan istrinya, dan lebih parahnya lagi dia pergi enggak pamit, sekolah pun dia tinggalin. Dia juga enggak bawa HP biar kita enggak bisa lacak keberadaan dia. Pintar banget adik kamu itu. Pintar buat darah tinggi!” ujar Fahreza dengan menggebu-gebu, seraya menahan emosinya yang sudah di ujung tanduk. Rasanya ia ingin melampiaskan kekesalannya kepada Garrix yang selalu bertingkah. “Pa, calm down, Pa. it’s gonna be okay. Gaga itu udah gede, dia pasti bisa bedain mana yang baik dan yang buruk. Walaupun dia liburan ke Bali sama yang bukan istrinya, dia pasti enggak akan berani macam-macam. Dan masalah sekolah, Gaga itu pintar, dia pasti bisa ikuti pelajaran walaupun enggak masuk beberapa hari. Udah ya, Pa, kalau Gaga pulang nanti jangan marahin dia, kasih dia kebebasan. Di aitu masih remaja yang pengin lakuin apa pun yang dia mau, selama itu masih batas wajar jangan dilarang, Pa. Anak kalau semakin dilarang akan semakin berontak.” Ale tahu betul bagaimana karakter adiknya itu, Garrix itu memang agak sedikit keras dari Ale, tapi dia masih tahu batas wajar untuk melakukan sesuatu yang boleh dan tidak. “Ale, kenapa dia enggak bisa kayak kamu?” “Pa, stop, jangan bandingkan aku sama Gara. Aku mungkin lebih punya sikap penurut, tapi bukan berarti Ale buruk. Pa, he is a good person, I know that. Bahkan di umur dia yang masih remaja, dia udah enggak pernah minta duit ke papa, kan? Dia bisa beli ini itu sendiri, dia bahkan biayaiin sekolahnya sendiri. Sedangkan aku? Aku masih minta ke papa. Jadi, aku sama Gaga punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.” Dari dulu Ale paling tidak suka jika Gaga selalu dibanding-bandingkan dengan dirinya, padahal jelas-jelas Ale punya kekurangan juga. “Iya-iya. Oh iya, setelah wisuda gimana? Kamu mau menetap di Amerika atau balik ke Indonesia?” Ale terkekeh pelan. “Sejak kapan papa tanya pendapat aku, bukannya papa selalu melakukan apa yang papa mau?” “Ale, papa serius!” “Aku mau nikahin Zeva, Pa, aku udah janji setelah aku selesai S2 aku bakal nikahin dia, lagipula aku pacaran sama dia dari lama, dari zaman SMA, Pa. Orang tuanya juga udah tanyain kapan aku wisuda. Bulan depan juga dia ke sini, kalian bareng aja berangkatnya.” Hubungan Zeva dan Ale memang se-awet itu, meskipun mereka LDR Amerika-Indonesia tapi hati mereka tetap kokoh. Fahreza belum bisa bilang sekarang, tentang perjodohan Ale dengan Aileen, yang ada Ale pasti akan syok, ia tidak mau terjadi sesuatu dengan putranya. “Baik, Papa tunggu kepulangan kamu ke Indonesia. Nanti kita sambung lagi ya, udah saatnya dinner.” “Oke, salam buat mama ya. Mau titip buat Gaga juga tapi dia lagi enggak di rumah.” “Iya kamu jaga diri di situ.” “Oke, bye, Pa.” “Bye.” Setelah itu panggilan terputus. Fahreza pun langsung ke meja makan, di situ ada Rinjani yang sedang menyiapkan makanan. Pria itu pun langsung menempati salah satu kursi, dan diikuti oleh istrinya. “Ma, menurutmu kalau Ale dijodohin sama Aileen gimana?” Pertanyaan Fahreza langsung membuat Rinjani terkejut bukan main. “Papa kalau ngomong enggak dipikir dulu. Pa, Ale itu udah punya Zeva, kan Papa tahu sendiri hubungan mereka udah berapa lama dan kayak apa.” “Tapi, Ma, kalau dipikir-pikir, Aileen lebih baik dari Zeva. Pertama, Aileen itu lulusan dari salah satu kampus negeri terbaik di Indonesia, sedangkan Zeva kampus swasta karena enggak mampu bersaing masuk negeri. Kedua, Aileen di usianya yang masih cukup muda memilih untuk membangun bisnis dari nol dan sekarang bisnisnya cukup berkembang, itu enggak mudah loh, apalagi basic keluarganya bukan pebisnis. Ketiga, Aileen lebih cantik daripada Zeva.” Rinjani mengembuskan napasnya mendengar ucapan sang suami yang selalu membanding-bandingkan orang. “Papa itu emang enggak salah ya jadi pengacara, banyak omong. Mungkin semua yang papa bilang adalah benar, tapi rasa cinta yang Ale dan Zeva punya itu besar, papa enggak bisa dong pisahin dua orang yang saling cinta. Lagian papa ada ide dari mana sih jodohin Ale sama Aileen?” “Biar papa nanti yang ngomong sama Ale. Kalau papa yang minta, pasti dia enggak akan tolak.” “Terserah papa aja deh. Sana makan jangan ngobrol aja!” kesal Rinjani menghadapi suaminya ini. “Jangan marah-marah, nanti cepat tua.” “Biarin!” Fahreza terkekeh pelan melihat tingkah istrinya ini, sudah tua tapi kalau lagu merajuk seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan. *** Setelah seharian jalan-jalan dan sudah makan malam, Aileen dan Garrix pun balik ke hotel. Namun, Garrix berpapasan dengan seseorang yang ia kenal di lobby hotel. “Loh, Kak Zeva, ada acara apa di sini? Liburan juga?” “Astaga, Ga, kamu kabur ke sini?” Zeva menoleh ke arah Aileen. “Gaga’s girlfriend?” Aileen langsung buru-buru menggeleng dan memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangan yang dibalas oleh Zeva. “Aileen Arabella, bukan siapa-siapanya Garrix Kalandra.” “Zevanya Putri, calon kakak iparnya Garrix Kalandra.” Garrix langsung berdeham karena merasa diabaikan. “Kak Zeva, belum jawab pertanyaan gue yang tadi. Gue rasa enggak perlu ulang pertanyaannya, kan?” “Aku ke sini itu ada pertunangan teman aku sekaligus reuni kuliah, acaranya di ballroom hotel sini, sekalian liburan juga. Mau gabung?” tawar Zeva. “No. By the way, jangan kasih tahu mama, papa, atau Ale gue di sini. Gue akan pulang sendiri, tapi kalau masa liburan gue udah berakhir.” “Tenang, gue enggak akan bilang. Oh iya, Ale bulan depan wisuda, lo datang enggak?” Garrix menggeleng. “Bulan depan gue udah mulai ujian.” “Bulan depan udah mau ujian tapi lo malah liburan, emang pintar lo ya?” “Oh jelas, dari lahir,” ujarnya dengan bangga. “Dasar, ya udah gue ke acara dulu ya. Yuk, Aileen,” ujar Zeva setelah itu meninggalkan Aileen dan Garrix. Aileen dan Garrix pun langsung menuju kamar hotel. Rasanya benar-benar lelah hari ini. Ingin mandi dan langsung tidur. “Ga, tadi Zeva udah akrab banget ya sama keluarga kamu?” Garrix menggeleng. “Mereka pacaran itu udah lama banget, dari SMA. Selesai S1 aslinya  Ale udah mua nikahin  Zeva, cuma papa minta  Ale buat lanjut S2 ke Amerika, ya Ale yang enggak punya jiwa pemberontak mah nurut aja. Aku rasa nih, setelah S2 ini kelar pasti ada permintaan papa yang buat  Ale tunda nikahin  Zeva. Aku yakin.” “Heh, enggak boleh ngomong gitu, doain biar mereka segera nikah, tapi ya mereka kuat banget, udah bertahun-tahun. LDR pula.” “Zeva itu first lovenya Ale, emang kuat dan bertahan hubungan mereka.” “Enggak kayak kamu, gonta-ganti pacar.” “Kata siapa? Belum pernah pacaran.” Mata Aileen langsung melotot. “Maksud kamu cewek yang ciumann sama kamu di kafe aku itu bukan pacar kamu?” Dengan santainya Garrix menggeleng. “Just have fun, tapi kamu jangan pikiran negatif ya, gini-gini aku enggak pernah HS apalagi ML, sebatas ciumann doang, itu juga kalau ceweknya yang mau. Aku masih tahu batas wajar.” Aileen makin tidak yakin dengan perasaan Ale. Dia memang lebih suka bermain-main. “Oke, aku mandi dulu, abis itu mau tidur. Capek banget.” Aileen pun langsung bergegas ke kamar mandi. *** “Sayang, aku lagi di acara tunangannya Renata sekaligus reuni bareng teman-teman kuliah aku, di Bali. Oh iya, tadi aku ketemu Gaga di sini.” Zeva memang tidak bisa dipercaya, dia bilang tidak akan memberi tahu Ale tentang keberadaan Garrix, ternyata tetap diberi tahu. “Iya, aku papasan sama dia dan ceweknya di lobby, tapi enggak tahu deh, ceweknya apa bukan, katanya sih bukan. Eh tapi, kamu jangan kasih tahu papa kamu ya, tadi dia udah larang kasih tahu siapa-siapa soalnya,” ujar Zeva panjang lebar. Saat ini mereka memang sedang melakukan panggilan video call. “Tolong kasih ke dia HP kamu, aku enggak bisa telepon dia soalnya dia enggak bawa HP.” “Tapi aku enggak tahu, kamar dia di mana, tadi enggak sempat tanya, lagian aku juga lagi di tempat acara, enggak enak kalau tiba-tiba cabut. Besok aja ya, kalau aku ketemu dia lagi, aku langsung hubungi kamu.” “Oke deh, ya udah aku tutup ya, kamu have fun di situ. Love you.” “Love you too, bye.” Setelah itu panggilannya pun tersambung. Teman Zeva yang adain acara in pun langsung menghampiri. “Habis video call-an sama Ale?” ujar Renata. “Hubungan lo sama dia udah lama banget, kapan nih sahnya? Gue sama Gio aja yang baru pacarana beberapa bulan udah tunangan, enggak lama lagi married.” “Soon ya, setelah dia wisuda bulan depan, dia bakal lamar gue, dan tenang kalian semua bakal gue undang kok.” Ucapan Zeva ternyata didengar oleh teman-temannya yang lain, mereka pun langsung menyahut. “Asik, gue enggak sabar hadir ke acara pernikahannya Zeva dan Ale.” “Ih seriusan bentar lagi? Congrats ya, Zev, akhirnya setelah bertahun-tahun lo diseriusin juga sama cowok lo.” Dan masih banyak ucapan-ucapan lain untuk Zeva. “Thanks guys, kalian semua gue undang kok, tenang aja. Tinggal tunggu hari H. Gue juga bulan depan mau ke Amerika, ke acara wisudanya Ale.” “Beruntung banget ya Zeva punya calon suami kayak Ale. Gue juga mau.” “Kita semua mau sih kalau punya suami kayak Ale.” “Semua udah ada jodohnya masing-masing. Jodoh kalian juga terbaik kok.” “Congrats ya, Zev, kita tunggu undangan dari lo,” ujar salah satu teman kuliahnya Zeva, dan datang ucapan-ucapan lainnya juga. Zeva begitu yakin bulan depan akan mendapatkan lamaran dari Ale, karena hal yang dijanjikan oleh Ale, sudah lama ia menantikan momen tersebut. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD