Kyouko menoleh kala mendengar suara yang sangat familiar di telinga. Dan benar saja, wanita yang saat ini berlari kecil ke arahnya adalah Hinata Kozuki. Wanita bak boneka Barbie yang menjabat sebagai sahabat terbaik Kyouko.
"Ya Tuhan ... ku pikir bukan kau," ujar sahabatnya itu saat mereka telah berdiri berdampingan.
"Maksudmu?" tanya Kyouko dengan alis mengernyit.
"Aku pangling tahu, melihat penampilan barumu," jawab Hinata dimana ia menahan tawa dan menyentuh poni Kyouko yang memagari dahi. Mungkin apa yang dikatakan Sayu benar, bahwa poni Kyouko justru membuatnya terlihat seperti Dora. Sebuah kartun untuk anak-anak yang memiliki rambut pendek dan poni.
Kyouko memutar bola mata malas diiringi desahan berat. "Hah ... ayo ikut aku." Diseretnya Hinata menuju toilet kampus.
"Hei! Tunggu, mau kau apakan aku! Aku tidak sudi meniru gaya rambut barumu, tahu!" pekik Hinata namun dengan tertawa memegangi perutnya.
"Lihat!" Kyouko menyibak poninya dan memperlibatkan tanda aneh di dahinya.
"Eh? Kau baru membuat tato?" pekik Hinata. Ia segera menyentuh tanda itu dengan ekspresi tak percaya.
"Apa kau pikir aku gila membuat tato di dahiku?" kata Kyouko dengan memutar bola mata malas. Ia menepis tangan Hinata dan kembali merapikan poni untuk menutupi tanda itu.
"Hehe, maaf jadi ini apa?" tanya Hinata dengan menunjuk dahi Kyouko.
"Aku tidak tahu, saat aku bangun sudah ada ini," jawab Kyouko menunjuk tanda itu dengan jari telunjuknya. Ia bercermin di depan kaca besar toilet dan mendesah pasrah.
"Bagaimana jika itu kutukan?" celetuk Hinata tiba-tiba namun hanya sebagai candaan.
"Hinata! Jangan bicara hal seperti itu," pekik Kyouko.
Tuk!
Disentilnya dahi Hinata dan membuat wanita berambut panjang terikat itu mengasuh sakit.
"Ck, lalu kau ingin aku bicara apa? Hanya itu yang terbersit di pikiranku," kata Hinata dengan memegangi jidatnya. Kemudian tangannya menyibak poni Kyouko dan mencoba menghapus tanda itu.
"Apa yang kau lakukan?!" pekik Kyouko dan segera menghindar. Padahal ia sudah merapikan poninya lagi, tapi Hinata justru merusaknya.
Hinata tampak berpikir keras. "Hm ... mungkin itu tanda segel yang vampir berikan untuk menandaimu," ujarnya dengan mengusap dagu dan menatap Kyouko penuh keseriusan.
Krik ... krik … krik ….
Entah dari mana ada suara jangkrik yang membuat Kyouko memasang wajah bodoh.
"Kau gila!" ujar Kyoko dengan ekspresi wajah bodohnya. Ia kembali bercermin dan membenahi poninya. Menurutnya ia tetap cantik walau dengan penampilan barunya.
"Ish ... ish ... ish .... aku serius tahu! Kemarin aku nonton film seperti itu. Vampir menandaimu sebelum menikah, meninggalkan segel kutukan di tubuh wanitanya kemudian menjadikannya pasangan abadinya," terang Hinata dengan wajah serius menatap Kyouko dari samping.
"Film itu buatan manusia, Hinata, hanya karangan belaka," balas Kyouko yang kini bersedekap d**a menatap Hinata dengan malas.
Hinata hanya mengedikkan bahu. "Siapa tahu kan," jawabnya. Mengikuti Kyouko, ia bercermin kemudian mengambil lipstik dari dalam tas dan kembali menambah lipstik di atas polesan lipstiknya.
Kyouko yang melihatnya hanya meliriknya lewat ekor mata. "Pantas saja kau selalu membeli lipstik setiap hari," sindirnya sarkas kemudian berjalan ke luar toilet meninggalkan Hinata yang masih bersolek.
"Hei ... tunggu aku Kyouko!" teriak Hinata saat Kyouko mulai pergi meninggalkannya. "Kau tega sekali," gerutunya saat ia telah berhasil menyamakan langkah dengan Kyouko. Dimasukkannya lipstik seharga ratusan ribu itu kemudian menggandeng tangan Kyouko.
"Hei, Hinata, sebenarnya beberapa hari ini aku mimpi buruk," ujar Kyouko yang berniat menceritakan mimpinya.
Hinata segera menoleh. "Eh? Apa itu?" tanyanya penasaran.
"Ah sudahlah, aku tidak mau menceritakannya," ujarnya yang tentu membuat Hinata kesal.
"Kalau tidak ingin cerita, untuk apa mengatakannya? Kau membuat orang lain penasaran, kemudian kau menghempaskan rasa penasarannya itu dalam sekejap mata," cibir Hinata dengan pipinya yang menggembung kesal.
"Sebelumnya aku ingin, tapi setelahnya aku berubah pikiran," jawab Kyouko disertai kekehan kecil. "Dan mengenai masalah ini," menunjuk dahinya. "Kau harus menyembunyikan ini dari siapapun," lanjutnya.
Hinata hanya memutar bola mata malas. "Ya, ya, ya, soal tanda segel itu aku tak akan mengatakannya pada siapapun. Tapi penampilan barumu sepertinya cocok, kau semakin terlihat lebih muda," puji Hinata namun Kyouko dapat merasakan ada maksud tersembunyi dari pujian itu.
Rambut sebahu dengan poni yang memagari dahi, benar-benar mirip Dora, batin Hinata. Sebenarnya, ia masih tertawa dalam hati melihat lemampila sahabatnya.
"Aku memang masih muda," balas Kyouko dengan hanya memutar mata malas. Ia tidak ingin terlihat sombong hanya dengan pujian palsu yang sahabatnya katakan.
"Ya semuda Dora, hahahaha," teriak Hinata dengan ia yang memegangi perut menahan tawanya. Akhirnya ia mengutarakan isi hatinya mengenai Dora.
"Ck. Awas saja jika nanti meniru gaya rambut baruku!" maki Kyouko dan mulai berjalan lebih cepat meninggalkan Hinata yang terus tertawa.
***
Di sebuah ruangan yang hanya diterangi lampu temaram seorang pria tertelungkup di lantai dengan seorang pria yang menginjak kepalanya.
"Ampun, Tuan, ampun ...." lirih pria berpakaian dokter itu dengan rintihan kecil.
"Tidak berguna!" bentak pria yang kian menekan kakinya pada kepala pria itu.
"Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, Tuan." Yakushi, nama pria itu, hanya bisa memohon dengan suaranya yang parau dimana kedua tangannya mengatup meminta ampunan.
"Omong kosong! Orang tak berguna sepertimu sebaiknya enyah," teriak pria yang seakan tak peduli meski pria di bawahnya terus memohon ampun. Ia mengambil pistol dari atas meja di sampingnya dan mengarahkannya tepat ke kepala anak buahnya yang tak becus menjalankan tugas.
"Ampun Tuan, ampun ... kumohon ... jang--"
Door!
Suara tembakan menghentikan rintihan Yakushi yang kini telah memejamkan mata dan tak lagi bernafas. Aliran darah berbau anyir seketika menusuk hidung dan mengotori lantai kayu yang licin. Bahkan darah juga terciprat ke wajah pelaku. Dan pria itu tewas dengan kepalanya yang berlubang.
"Argh!" Pria itu membuang pistolnya asal dan membanting apapun yang ada di sekelilingnya. Ia tak puas meski telah menghabisi nyawa seseorang. Ia kian mengamuk membabi buta, melempar kursi kayu di sampingnya ke lemari kaca besar di sudut ruangan membuatnya hancur seketika. Serpihan kaca juga terlempar ke arahnya membuat darah segar mengalir dari lengannya yang ia gunakan melindungi diri.
"Tuan ...." Seorang pria datang dan berusaha menenangkannya. Sano, nama pria itu mendekat berniat mengatakan sesuatu.
"Kau juga ingin mati?!" teriaknya yang seketika mencengkram leher Sano.
"Ti-- tidak, Tu-- Tuan . Aku … punya informasi bagus," kata Sano terbata dengan berusaha melepas cengkraman pria yang kian mencekik lehernya.
"Katakan!" bentak tuannya dengan mata melotot.
"Kita masih bisa menyelamatkan nyonya dengan satu cara," ujar Sano yang mulai menurunkan tangan pria yang mencekiknya saat cekikannya mulai mengendur.
"Apa!"
Sano terbatuk dan mengambil nafas serakah. "Dengan mentransplantasikan jantung keturunan klan Oda," jawabnya kemudian dengan sesekali nafasnya masih tersengal.
"Kau berusaha membohongiku?!" teriak pria itu dan berniat kembali mencekik Sano.
"Tidak Tuan, sungguh ... menurut sejarah, klan Oda merupakan klan pemilik umur panjang. Mereka memiliki jutsu terlarang yang diwariskan turun-temurun dan membuat mereka bisa hidup abadi. Kita bisa menggabungkan ilmu modern dan ilmu kuno untuk menyelamatkan nyonya. Kita harus menemukan keturunan klan Oda, mentransplantasikan jantung dan organ lainnya agar Nyonya bisa hidup lebih lama. Jika orang zaman dulu hanya meminum darah mereka kita bisa sekaligus mentransplantasikan semua organ pentingnya untuk nyonya," terang Sano menjelaskan dengan suaranya yang sedikit bergetar. Jika ia salah bicara, dipastikan ia akan bernasib sama dengan temannya yang kini tergeletak dengan kepala berlubang.
"Kau yakin ini akan berhasil?" tanya pria itu yang kini suaranya mulai terdengar lebih tenang.
"Aku yakin, aku punya teman yang telah mempraktekkan ini pada tubuhnya sendiri dan ia sudah berusia 100 tahun sekarang," jawab Sano yang meraih tisu di atas meja dan mulai membersihkan noda darah di tangan dan wajah tuannya.
"Baiklah kita coba saranmu. Sekarang dimana kita mendapatkan keturunan Oda itu?" Pria itu sudah mulai tenang. Sorot mata yang sebelumnya dingin dan siap membunuh kini kembali seperti semestinya.
"Diperkirakan hanya ada satu keturunan asli Oda sekarang, Tuan. Dan kita harus menemukannya," ujar Sano dan mulai melepas pakaian tuannya yang juga kotor bekas cipratan darah. Sebagai seorang ilmuwan dan dokter, ia cukup pandai merayu tuannya itu.
"Bukankah kau mengatakan mereka tak bisa mati?!" teriaknya dengan mencengkram kerah baju Sano dan sorot matanya kembali tajam.
"Mereka bisa hidup abadi namun juga bisa mati. Semakin sering mereka meregenerasi sel tubuh, maka itu akan mengurangi umur mereka." Sano menjelaskannya dengan hati-hati, takut jikalau tuannya kembali berniat membunuhnya dan semua usahanya akan sia-sia.
"Maksudmu?"
"Jika mereka tetap menerima tubuh dan wajah sesuai usia, mereka bisa hidup dalam waktu yang lama. Tapi jika mereka menolak tua dan terus menggunakan jutsu terlarang agar terlihat selalu muda, maka lama kelamaan kekuatan alam mereka akan habis dan mati."
Sano adalah seorang ilmuwan juga dokter spesialis organ dalam. Ia juga menguasai beberapa ilmu pengobatan kuno warisan dari kakek moyangnya yang seorang tabib. Memiliki kecerdasan tinggi di bidang pengobatan di tambah ilmu warisan dari kakek moyangnya, Sano menjadi salah satu dokter yang dipercaya pria itu untuk menyelamatkan nyawa istrinya.
"Kalau begitu temukan dia!" Pria itu melepas cengkramannya pada Sano membuatnya jatuh terduduk di lantai.
"Uhuk ... ukh ...." Sano memegangi lehernya dan menengadah menatap tuannya. "Kita bisa menemukannya dengan mudah, saat usianya mencapai 21 tahun maka kekuatan alam dalam tubuhnya mulai bereaksi dan membentuk tanda segel di dahi. Kita harus menemukannya agar bisa segera menyelamatkan nyonya. Dan menurut perhitunganku tahun ini adalah tahun ke 21 keturunan Oda itu," ujar Sano penuh keyakinan. Ia bangun dan berdiri menatap tuannya tanpa keraguan.
"Darimana kau tahu?"
"Karena guruku berhasil mendapatkan seorang wanita keturunan Oda 21 tahun yang lalu setelah melahirkan."
"Itu artinya tahun ini anak dari klan Oda itu berusia 21 tahun," gumam pria itu dengan raut wajah seperti tengah berpikir.
"Benar sekali, Tuan, jadi kita harus segera menemukannya. Karena menurut pemeriksaan, nyonya hanya mampu bertahan tak lebih dari tiga bulan," ujar Sano yang masih berdiri dengan sedikit membungkuk di depan tuannya itu.
"Baiklah, tapi jika tidak berhasil maka jantungmu yang akan ku jadikan santapan Tokage," ancam pria itu. Tokage adalah kadal besar peliharaannya yang merupakan hewan mutasi ciptaan Sano.
Glek …
Sano menelan ludah kasar dengan keringat dingin menetes dari pelipisnya.
"Ba-- baiklah, Tuan Tokugawa."
****
"Selamat ulang tahun ... selamat ulang tahun ... selamat ulang tahun Kyouko ... semoga panjang umur."
Naoko, memberikan sebuah kue ulang tahun di hadapan Kyouko dan memintanya segera meniup lilin. "Make a wish, Sayang," ucapnya.
Kyouko mengatupkan kedua tangan di depan d**a dan berdoa dalam hati.
"Fuuu ... fuuu ...." Ia meniup lilin berbentuk angka 21 itu kemudian memeluk ibunya.
"Anak ibu sudah dewasa." Naoko memeluk Kyouko erat dan keduanya tertawa bersama setelah melepas pelukan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, ulang tahun Kyouko hanya dihadiri ibu dan ayahnya. Awalnya Kyouko marah namun lama kelamaan setelah ia dewasa ia bisa memakluminya. Orang tuanya punya alasan tersendiri tak membiarkan orang lain tahu hari ulang tahunnya. Itulah kenapa Hinata tidak mengatakan apapun mengenai ulang tahunnya hari ini. Karena tidak ada yang tahu hari ulang tahunnya yang sebenarnya kecuali ayah, ibu, juga dirinya sendiri.
Mereka memotong kue bersama dan tertawa bersama dengan bahagia. Hayate, ayah Kyouko, melihatnya dengan tatapan sendu pada sang putri tercinta. Ia harus mengatakannya sekarang. Mengatakan rahasia besar yang menyangkut keselamatan Kyouko.
"Ini untukmu, Ayah." Kyouko memberikan potongan kue kedua untuk Hayate setelah sebelumnya memberikannya pada sang ibu.
"Terima kasih, Sayang," ucap Hayate kemudian mengecup pucuk kepala Kyouko.
Kyouko duduk diantara kedua orang tuanya dan bersiap membuka kadonya. Ia tidak tahu apa isi kotak kado yang ibunya berikan. Berbeda dengan tahun lalu bahwa hadiahnya adalah mobil baru dan ia telah mengetahuinya jauh hari karena memang sengaja meminta mobil sebagai hadiah ulang tahun.
"Ini cantik sekali Bu, terimakasih." Kyouko menatap takjub pada kalung emas putih dengan liontin berbentuk bunga sakura di tangannya setelah mengeluarkan isi kado.
"Iya, Sayang. Ibu harap kau menyukainya," jawab sang ibu dimana sneyumnya terus merekah.
"Tentu, Bu." Kyouko kembali memeluk Naoko dan memberinya ciuman di pipi kanan dan kiri.
"Sini ibu pakaikan." Kyouko berbalik memberi kesempatan ibunya memakaikan kalung di lehernya. Ia mengamati dan merasa takjub melihat liontin yang berkilau hingga menyilaukan mata saat terkena cahaya.
"Kyouko."
Kyouko menegakkan kepala saat mendengar suara sang ayah menyebut namanya.
"Ada yang ingin ayah katakan," ujar sang ayah dengan raut penuh keseriusan.
"Sayang, kurasa ini bukan waktu yang tepat," sergah Naoko menghalangi. Raut wajah yang sebelumnya sumringah itu kini berubah.
"Tidak, istriku. Sekarang sudah saatnya Kyouko tahu semuanya."
Mendengar pembicaraan kedua orang tuanya, Kyouko hanya bisa mengernyitkan alis tak mengerti. "Apa maksud ayah dan ibu?" tanyanya sarat akan rasa penasaran tercetak di wajah ayunya.
Hayate terdiam sejenak dengan memejamkan mata kemudian kembali membuka mata dan menatap Kyouko dengan pandangan sulit diartikan. "Kyouko, kau … bukan putri kandung ayah dan ibu."
Jderr ….
Petir seolah menyambar Kyouko saat itu juga. Ia menoleh pada Naoko yang duduk di sampingnya kemudian pada Hayate seakan tak percaya akan apa yang baru ia dengar.