7 : Surprise!

2947 Words
Harus diakui, Rean bukanlah tipikal cowok baik hati dan bukan pula tipikal cowok ramah yang suka tersenyum kepada semua orang. Faktanya, Rean merupakan seseorang yang grumpy dan cenderung tidak suka berinteraksi dengan orang-orang baru. Meskipun begitu, pada diri Rean sudah ditanamkan oleh orang tuanya kebiasaan untuk membantu orang-orang di sekitarnya yang sedang kesulitan. Dan Rean sudah menerapkan sikap tolong-menolongnya itu sejak ia masih kecil hingga sekarang. Itulah penyebab mengapa sekarang Rean dan Jani berada di dalam mobil yang sama. Rean ada di balik kursi kemudi, sementara Jani duduk diam di kursi penumpang di sampingnya sambil menatap ke luar jendela. Setelah tanpa sengaja menolong Jani yang tiba-tiba asmanya kambuh di sekolah tadi, Rean tentunya tidak akan menelantarkan Jani begitu saja. Ia pun menawarkan-sedikit memaksa-untuk mengantar Jani pulang ke rumah dan Jani pun pada akhirnya menurut karena memang tidak punya pilihan lain. Selama di perjalanan, tidak ada yang berbicara di antara mereka. Rean terlalu canggung untuk memulai pembicaraan dengan orang yang tidak dikenal, sementara Jani juga diam saja. Mungkin masih shock dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Mungkin juga di dalam hati perempuan itu khawatir kalau Rean akan menculiknya. Well, itulah dua kemungkinan yang terpikirkan oleh Rean. Setelah Rean mengendarai mobilnya melewati lampu merah, tiba-tiba saja atmosfir hening di dalam mobil itu terpecahkan oleh lantunan intro sebuah lagu. Rean pun segera menolehkan kepala ke arah Jani. Perempuan itu sedang sibuk merogoh sesuatu di dalam ransel bermotif bunga-bunganya. Dan yang diambil oleh Jani dari dalam ransel itu adalah sebuah ponsel yang sedang berdering. "Halo?" Begitu Jani menerima panggilan di ponselnya, Rean kembali memfokuskan pandangan ke jalanan. Tidak ingin terlihat kepo meski sebenarnya diam-diam menguping. "Iya, Pa, Jani udah di jalan pulang kok... Sama temen... Sebentar lagi sampe... Iya, nggak apa-apa... Oke, Pa." Kurang lebih seperti itulah kata-kata yang diucapkan Jani kepada peneleponnya yang berkemungkinan besar merupakan ayah dari Jani sendiri. "Bokap lo?" Tanya Rean pada akhirnya, meski sudah tahu jawaban dari pertanyaan itu. "Iya," jawab Jani pelan. Hah, jawaban singkat dari Jani itu benar-benar bikin Rean yang tidak hebat dalam mencari topik pembicaraan jadi mentok. Butuh waktu beberapa menit lagi bagi Rean memutar otak, memikirkan apa lagi yang seharusnya ia katakan kepada perempuan cantik bernama Jani ini. "Eh iya, rumah lo di mana?" Hanya itu yang terpikir dan memang Rean butuh jawaban atas pertanyaan tersebut. Ia nyaris lupa kalau sejk tadi dirinya mengendarai mobil mengikuti rute menuju rumahnya sendiri dan Jani pun tidak protes sama sekali. Jani menepuk dahi. "Sori, gue lupa kasih tau. Nanti di depan ada pertigaan, belok kiri. Lurus dikit, di sebelah kanan ada perumahan. Nah, rumah gue ada di perumahan itu." Pupil mata Rean kontan melebar. Wah, wah, Rean terlibat dalam permainan takdir apa lagi? "Serius lo?" Jani mengerjapkan mata, lalu mengangguk. "Serius." "Wow," gumam Rean. "Rumah gue juga di perumahan itu. What a surprise." "Hah? Beneran?" "Buat apa juga gue bohong?" "Sori, maksud gue bukan gitu," kata Jani pelan. Ia takut Rean tersinggung karena nada suara Rean tadi naik satu oktaf. "Kenapa sori?" "Ya, sori aja." "Haha lucu lo." "Ketawa lo nggak mengisyaratkan kelucuan sama sekali," gumam Jani. Rean berdeham, entah mengapa tersentil dengan omongan Jani barusan. Rean memang sering sekali mengeluarkan tawa datar yang sudah menjadi ciri khas Rean di antara teman-temannya. Tapi, sehabis Jani mengatakan itu, Rean jadi tidak enak sendiri dengan kebiasaannya tersebut. Keheningan pun hadir lagi. Rean kembali fokus ke jalanan dan mobilnya kini sudah berbelok ke kiri dari pertigaan yang Jani sebutkan tadi. Jalanan yang dilewati oleh Rean sekarang pun sudah tidak asing lagi baginya karena hampir sebulan ia melewati jalan ini untuk pulang ke rumahnya yang baru. Omong-omong, Rean juga sedikit penasaran dengan rumah Jani. Bisa-bisanya mereka tinggal di satu perumahan yang sama. Tidak bisa dipungkiri, Rean sedikit berharap, semoga saja rumah mereka berdekatan. Emangnya kalo deketan kenapa? Suara di benak Rean bertanya. Yah, haha kenapa ya? b**o. Rean malah balas bertanya. Pada diri sendiri pula. Nggak banget. "Oh iya, kita belum kenalan, padahal lo udah nolongin gue," kata Jani, bertepatan dengan mobil yang dikendarai Rean memasuki gerbang perumahan. "Reandra Argentum, 11 IPA 1," jawab Rean tanpa melirik Jani. "Lo Jani, gue udah tau nama lo." Jani lantas mengernyit. Ngeri juga karena laki-laki bernama Rean ini tiba-tiba tahu namanya padahal Jani belum mengucapkan nama sama sekali. Jangan-jangan stalker? Jani segera menggeleng. Ah, nggak mungkin. Kengerian itu segera ditepisnya karena tidak ingin berprasangka buruk pada Rean yang jelas-jelas telah berbaik hati menolongnya. Lagi pula berprasangka buruk terhadap seseorang itu tidak baik, papanya sering berpesan begitu. "Kok bisa tau?" Rean menyeringai kecil. "Name tag." Hah. Bohong. Rean kan sudah tahu nama Jani sejak KMP kemarin. Tapi, Jani sepertinya tidak ingat dengan eksistensi Rean di sana dan Rean juga terlalu gengsi untuk mengakui, so sedikit bohong is the best choice for now. "Oh." Aduh, Jani jadi malu sendiri. Dalam pikirannya, Rean pasti menanggap kalau dirinya geer. "Lo anak kelas mana, anyway?" "11 IPS 3." Wah. Wah. Wah. Kebetulan sekali. "Iya? Sekelas sama Rena dong?" Jani mengangguk. "Sebangku sama Rena malah. Dan ya, ternyata Rena emang eksis ya? Temennya ada banyak, lo aja kenal." Rean menggelengkan kepala samar. Memang sih Rena seeksis itu di sekolah. Jelas lah, kembarannya itu kan Selebgram, wajar kalau terkenal. Namun, mendengar fakta tersebut dari orang lain membuat Rean geli sendiri. "Rena kembaran gue. Karena gue nggak seeksis Rena, jadinya lo nggak tau deh." "Hah? Beneran?" Seru Jani. Ia buru-buru menatap wajah Rean, mencari kemiripan di antara Rean dan Rena. Secara keseluruhan, tidak mirip. Hanya bentuk hidung mereka saja yang sama. "Nggak mirip, ya?" Tanya Rean. "Iya." "Ya, dari kelamin juga udah beda." Jani terdiam. Rean juga ikut bungkam. Kenapa harus nyebut kelamin sih? Jadi canggung kan, bege. "Eh, kalo lo kembarannya Rena, berarti rumah kita deketan. Keluarga kalian baru pindah kan ke perumahan ini?" Untung saja Jani buru-buru mengatakan itu sehingga suasana canggung pun tidak berlangsung lama. Kedua alis Rean otomatis langsung terangkat mendengar penuturan Jani. Ia melirik perempuan itu dari sudut matanya. "Rumah lo di sebelah mana rumah gue?" "Persis di depan." "Hah?" "Persis di depan rumah lo," ulang Jani lagi. "Loh, ini kan kita udah mau sampe. Rumah lo yang dua tingkat minimalis itu, kan?" Rean mengangguk, menatap rumahnya yang memang sudah terlihat di pandangan. Mereka hanya perlu melewati beberapa rumah saja untuk sampai di sana. Dari rumahnya, pandangan Rean berpindah ke rumah yang ada di depannya. Melihat rumah itu, Rean jadi teringat kata-kata Ben yang waktu itu memberikannya sebuah informasi. Jangan bilang... "Rumah lo di sebelah rumah Ben?" Jani mengangguk. "Iya." "Persis di depan rumah gue?" "Iya." Mobil pun berhenti. Tepat di depan rumah yang berada persis di sebelah rumah Ben dan berseberangan dengan rumah Rean sendiri. "Bener ini rumahnya?" "Iya." Rean menghela nafas. Semenjak pindah ke perumahan ini, hidupnya jadi dipenuhi kebetulan-kebetulan aneh yang membuatnya bertetangga dengan orang-orang yang mengejutkan. Sudah cukup ia terkejut bertetangga dengan Shadira. Lalu, Bu Naya. Dan sekarang, Rean juga mendapati fakta kalau dirinya bertetangga dengan perempuan cantik bernama Jani yang sesungguhnya sedikit menarik minat Rean. Namun, bukan itu masalahnya. Demi apapun, Rean nggak masalah bertetangga dengan Jani. Mereka tidak punya masalah, tidak seperti kondisinya dengan Shadira. Jani juga bukan guru killer yang dibenci Rean seperti Bu Naya. Masalahnya jelas berbeda. "Setau gue ini rumah Bu Naya," ujar Rean. Ingin memastikan sesuatu. "Kok kalian bisa serumah?" Jani mengerjapkan mata beberapa kali, lalu tersenyum kecil. Senyum yang sebenarnya bisa membuat diabetes saking manisnya. "Bu Naya itu nyokap gue." Jeder. "Kok bisa?" Gumam Rean lagi. "Lo bilang apa?" "Ah, enggak." Rean menggelengkan kepala. Bisa-bisa Jani tersinggung kalau mendengar gumamannya tadi. "Yaudah kalo gitu, gue pulang ya? Udah malem." "Lo udah nggak apa-apa kan? Masih lemes nggak? Perlu gue anterin ke dalem?" Jani mengulas satu senyuman lagi dan menggeleng. "Gue udah nggak apa-apa, udah baikan kok." "Oh, yaudah." "Makasih ya, Reandra, udah nolongin gue, udah nganterin pulang juga. Maaf kalo misalnya gue ngerepotin." Rean menggaruk telinganya dan hanya mengangguk singkat. "Sama-sama. Lain kali kalo mau ke ruang arsip pake masker, biar nggak kena debu." Lagi, Jani tersenyum. Wah, bisa-bisa Rean diabetes sungguhan kalau terus-terusan disuguhi senyuman seperti itu. "Iya. Sekali lagi makasih banyak ya, gue pulang dulu." Rean pun hanya menjawab dengan sebuah anggukan kepala. Setelahnya, Jani bergegas turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumahnya. Setelah Jani benar-benar menghilang ke dalam rumah, cukup lama Rean terduduk diam di tempatnya. Ia masih terkejut dengan kenyataan bahwa Bu Naya dan Jani merupakan sepasang ibu dan anak. Benar-benar unbelievable. Jani yang wajahnya manis, suaranya lembut, dan tatapan matanya teduh itu sangatlah kontras dengan Bu Naya yang wajahmya sangar, suara keras melengking, serta punya tatapan mata tajam yang bikin muak. Keduanya sangatlah kontras dan Rean masih tidak percaya. Rean menghembuskan nafas keras. Ia acak rambutnya sementara pandangannya melancong untuk menatap langit yang sudah sepenuhnya berubah gelap. Di dalam mobilnya, di balik kursi kemudi, Rean bertanya kepada jalanan kosong di depannya yang diterangi lampu jalan; "Kenapa iblis bisa beranak malaikat sih?" ***   Malam harinya, Rean pergi berkunjung ke rumah Ben karena temannya itu mengundang untuk santai-santai di rumahnya, menikmati angin malam sambil menggenjreng gitar, minum kopi, dan makan kacang rebus. Ya, kegiatan ala-ala bujangan lah intinya. Di halaman belakang rumah Ben yang luas, ada sebuah gazebo yang terletak di tengah taman yang ditumbuhi rumput hijau dan tanaman-tanaman milik mamanya Ben yang memang hobi berkebun. Gazebo tersebut menghadap langsung ke arah kolam renang yang disinari oleh lampu-lampu yang mengelilingi kolam tersebut. Dan di dalam gazebo itulah, Rean dan kawan-kawan berkumpul. Rean duduk bersandar di ujung gazebo sambil menggenjreng gitar milik Ben dengan asal. Sebuah senyuman kecil tercetak di bibirnya sementara jemarinya mengetik senar gitar. Di dekatnya ada Gio yang juga ikut serta diundang, sedang sibuk memakan kacang rebus dan mengotori tempatnya duduk dengan sampah kulit kacang. Sementara Ben duduk di paling pinggir gazebo, dengan santai sedang menghisap batangan tembakaunya. Orangtua Ben memang sedang pergi ke luar kota sementara kakak-kakak Ben yang kebetulan semuanya sudah berkeluarga dan sudah memiliki tempat tinggal masing-masing. Jadilah di rumah Ben yang besar itu hanya ada mereka bertiga dan asisten rumah tangga yang tentunya tidak akan berani untuk menyuruh Ben tidak merokok. "Eh, lo ada kuaci nggak, Ben? Gue pengen makan kuaci nih," kata Gio setelah menelan entah kacangnya yang ke berapa. "Udah, makan yang ada aja, nggak usah banyak mau," jawab Ben. Gio pun hanya mengerucutkan bibir. "Gue kan tamu, harusnya lo tuh melayani tamu dengan baik." "Gue kan yang punya rumah, kalo kehadiran lo dianggap mengganggu, gue bisa usir lo." "Hah, anjing." "Ssttt. Di rumah gue nggak boleh berkata kasar. Banyak CCTV loh," ujar Ben. Gio memutar bola mata. "Ya terus kenapa?" "Nggak apa-apa sih, pamer aja," sahut Ben kalem. "Ye, sampis lo." Kata Gio sambil melempari Ben dengan kulit kacang, menyebabkan laki-laki itu mendelik ke arah Gio dan balas melemparnya dengan kerikil kecil yang ada di sekitaran gazebo.  Namun, lemparan Ben itu malah meleset dan mengenai Rean, tepat di pipi. "Mampus lo," ujar Gio tanpa suara kepada Ben setelah melihat arah kerikil itu melesat. Ben pun buru-buru minta maaf sebelum Rean mengamuk. But, surprisingly, Rean tidak mengamuk. Not at all. Bahkan laki-laki itu masih diam di tempat dengan posisi yang sama, memeluk gitar, jemari memetik senar, dan tersenyum samar. Sepertinya Rean sama sekali tidak merasa kalau dirinya baru saja terkena lemparan kerikil. Melihat Rean yang seperti itu, satu tanda tanya besar muncul di kepala Ben dan Gio. Seumur-umur mereka berteman, baru kali ini mereka melihat Rean melamun sambil senyum-senyum. Serius deh. Ini yang pertama kali. Ben dan Gio pun langsung berpandangan karena mereka memiliki satu pertanyaan yang sama. "Kenapa tuh anak?" Tanya Gio pada Ben. "Nggak tau." Ben menggelengkan kepala. "Kesurupan?" "Anjir! Demi apa lo?" Seru Gio yang memang sensitif dengan topik yang berhubungan dengan makhluk halus. Ia pun segera beringsut menjauh dari Rean. "Woy, Yan! Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" Tanya Ben kepada Rean. Karena Rean sungguhan melamun, laki-laki itu pun tidak sadar kalau Ben mengajaknya bicara, ia pun masih bersikap seperti tadi. Gio semakin bergidik ngeri, sementara Ben meletakkan rokoknya di atas asbak sebelum beringsut maju mendekati Rean yang bertingkah aneh. Ben ingin memastikan apa yang terjadi pada temannya itu. Jika memang Rean kesurupan, Ben akan segera kabur dan memanggil Pak Joko, satpam rumahnya yang merupakan mantan pemain kuda lumping. "Yan, lo nggak kesurupan kan?" Ben melambaikan tangannya di depan wajah Rean. "Haloooo, Rean?" Rean langsung menatap Ben tepat di manik mata dan tatapannya yang tajam sukses membuat Gio menjerit histeris hingga Ben spontan bergerak mundur. "Lo kenapa teriak-teriak, setan." Ben mengerjapkan matanya beberapa kali setelah Rean mengatakan itu. Ia pun menghela nafas dalam dan mengusap d**a. "Thank God, Rean nggak kesurupan," kata Ben lega. "Beneran nggak kesurupan, Ben?" Tanya Gio yang masih takut-takut. Huh, kalau dilihat Rena kelakuan pacarnya begini, citra Gio sebagai cowok macho bisa tercoreng. "Siapa yang kesurupan?" Tanya Rean sambil memutar bola mata. "Kalian berdua ngira gue kesurupan?" "Kalo udah galak gini udah pasti Rean sih," ujar Gio. Laki-laki itu pun mengangkat kedua tangan ke atas dan segera sujud syukur. "Alhamdulillah. Terima kasih Ya Allah karena telah menjauhkan Rean dari arwah-arwah setan yang terkutuk." Ben pun terbahak mendapati kelakuan absurd Gio tersebut. Sementara Rean hanya mendengus. "Apaan sih lo pada lebay." Gio kembali ke posisi duduknya di sebelah Rean. "Abisnya, lo tadi serem banget jir senyum-senyum sendiri sambil meluk gitar. Ya, gue kira lo kesurupan lah. Soalnya ini perdana lo kayak gitu," cerocos Gio. Rean hanya berdecak dan kembali menggenjreng gitar, kali ini dengan nada yang pasti. Dalam hati ia bertanya; Emang iya gue tadi senyum-senyum sendiri? Perasaan gue cuma mikirin senyumnya Jani doang, nggak ngikut senyum. "Ngaku deh, lo senyum-senyum gitu tadi karena abis mikirin cewek, kan?" Tebak Ben. Laki-laki itu sudah kembali mengambil rokok yang tadi ia tinggalkan, namun tetap duduk di dekat Rean. "Wah, demi apa? Cewek mana? Payah lo kaga cerita," ujar Gio yang ikut penasaran karena memang Gio itu kepo. "Apaan sih," ujar Rean. "Orang gue cuma nggak sengaja keinget senyum manisnya Ja-" Rean tidak melanjutkan perkataanya, terlanjur sadar kalau dirinya keceplosan. Haha. Mampus. "Jadi beneran abis mikirin cewek?!" Seru Ben dan Gio bersamaan. Dengan nada yang selaras pula. "Gak," jawab Rean, berusaha untuk mempertahankan raut wajah datarnya. Ben dan Gio tentunya tidak percaya. Apa lagi Gio. Laki-laki itu kini sudah bergerak untuk melingkarkan lengannya di leher Rean, mengunci laki-laki itu hingga tidak bisa bergerak. Entah teknik Taekwondo mana yang digunakan oleh Gio, pastinya apa yang dilakukan oleh Gio itu mampu membuat Rean tidak bisa berkutik. "Mikirin cewek mana lo? Ngaku nggak?" "Anjir, lepasin gue, setan!" Rean mencoba untuk meronta. Dan walaupun tubuhnya lebih besar dari tubuh Gio, tetap saja Gio punya kekuatan yang lebih. Apalagi Rean diserang tiba-tiba hingga tidak bisa melawan. "Ngaku, Yan! Cewek mana yang berhasil menyita pikiran lo? Ini tuh kejadian langka, bisa jadi bukti biar lo nggak dikatain gay lagi sama Ben." "Lepasin dulu!" "Ngaku dulu!" "Lepasin gila! Sakit! Lo tuh nyiksa!" "Ngaku dulu, Yan!" Ben hanya terbahak dan menikmati hiburan yang dibuat oleh kedua temannya itu. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya, bertepatan dengan Rean yang mengutarakan jawaban. "Anaknya Bu Naya. Puas lo?" "Hah?!" Ben dan Gio berseru bersamaan, bahkan Ben pun terbatuk-batuk karena berseru tiba-tiba. "Jani maksud lo?" Tanya Ben kemudian, setelah batuknya mereda. "Tetangga sebelah gue?" "Iya," jawab Rean singkat. "Jani siapa?" Tanya Gio bingung. "Jani siapa woy? Gue nggak kenal." "Udah kalo nggak tau diem aja," ujar Ben. Ia lalu fokus menatap Rean sambil menyeringai. "Jadi, beneran naksir Jani nih?" Tanyanya dengan sebelah alis terangkat. Rean mendengus. Malas sekali melihat wajah menyebalkan Ben yang menyiratkan niat terselubung. Wajah buaya yang seringkali ditampilkannya jika sedang membahas cewek betubuh semok. Dan Rean paling malas melihat wajah Ben jika sedang dalam mode begitu. "Dia cantik sih. Cantik yang tipe gue. Baru nemu aja." "Woy ini cewek mana? Gue penasaran," keluh Gio yang dikacangin. "Cewek yang waktu itu nyaris kena lempar plastik roti waktu KMP," jawab Rean. Gio berpikir sebentar, kemudian lampu di otaknya menyala. "Oh, iya! Gue tau!" "Kenapa lo nggak dari dulu ngomong ke gue kalo dia tipe lo?" Tanya Ben. Ia pun mengeluarkan ponselnya dan menyalakan benda itu. "Mau kontaknya?" "Nggak ah." "Lah, sok jual mahal lo, najis. Padahal mau," ledek Gio. Rean hanya menggeleng. Gitar yang tadi dimainkannya sudah ia letakkan di sampingnya. Kali ini dia mengambil sebatang rokok dari kotak rokok yang berada di antara kulit kacang yang berserakan. Dengan santai ia menyulut batangan tembakau tersebut dengan korek api milik Ben. "Gue nggak mau deketin anaknya Bu Naya," ujar Rean setelah menghembuskan asap rokok pertama dari rokok yang baru dinyalakannya. "Nyari mati itu namanya." Ben kembali terbahak, kali ini sambil menepuk-nepuk paha. "Dia beneran anaknya Bu Naya, ya?" Tanya Gio lagi yang dijawab dengan anggukan oleh Ben. "Seratus persen anak Bu Naya asli," jawab Ben. Gio pun hanya bisa memasang tampang prihatin sembari menggelengkan kepala pelan. Ditepuknya pelan punggung Rean. "Sabar ya, Yan, hidup ini memang keras. Tapi, nggak ada salahnya lo usaha dulu. Kali aja Jani-Jani ini bisa jadi jembatan yang bisa memeperbaiki hubungan lo dengan Bu Naya." "Bener tuh," ujar Ben. "Kalo gue jadi lo sih ya, peduli amat sama Bu Naya, yang penting anaknya cakep. Dan selagi punya kesempatan, kenapa nggak diembat, ye gak?" Rean tidak menjawab, masih menyibukkan diri dengan rokoknya. Ia tidak ingin terhasut oleh dua temannya yang memang pintar menghasut orang layaknya setan. Lagipula, Rean juga nggak naksir-naksir amat sama Jani. Hanya sebatas kagum akan wajah cantiknya yang merupakan Mahakarya dari Tuhan Yang Maha Esa. Hanya sebatas itu, tidak lebih, tidak ingin lebih juga. Untuk sekarang. Tapi, setan itu kan memang tugasnya menghasut manusia sampai berhasil membuat manusia itu terhasut. Begitu pula dengan Ben dan Gio yang dikatakan Rean tadi mirip dengan setan jika dalam hal menghasut. Maka dari itu, tidak lama kemudian, Rean akhirnya luluh juga dan termakan hasutan mereka. Pada malam itu, Rean menambahkan kontak Jani yang didapatnya dari Ben.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD