6 : Pertolongan Pertama

2506 Words
Di waktu siang bolong, bertempat di ruang kelas pada jam pelajaran terakhir, tepat pada pelajaran Fisika, Rean menguap untuk yang ke sekian kalinya dalam kurun waktu kurang dari enam puluh menit. Di depan kelas, Bu Naya sedang mencatat sederet rumus sembari menjelaskan materi yang ia ajarkan pada hari itu dengan nada monoton membosankan yang dengan mudah dapat membuat siapapun yang mendengarnya menjadi mengantuk. Termasuk Rean. Meski sebuah pulpen terjepit di antara ibu jari dan telujuknya serta pandangan matanya tertuju ke papan tulis, pikiran Rean jauh melantur ke mana-mana, sama sekali tidak mendengarkan penjelasan dari Bu Naya tentang pelajaran yang dibencinya itu. Dan rasanya, Rean bukan merupakan satu-satunya siswa di kelas 12 IPA 1 yang hanya pura-pura memperhatikan. Karena yang benar-benar memperhatukan Bu Naya paling banyak hanya 20% dari penghuni kelas. Rean mengetukkan ujung pulpennya ke atas buku catatannya yang terbuka, tetapi masih putih bersih belum ternoda karena memang belum ia sapu dengan tinta pulpennya. Rean terlalu malas untuk m*****i kertas tersebut. "Pssstt, Rean!" Secara spontan Rean memutar kedua bola matanya mendengar sebuah bisikan yang berasal dari seorang perempuan yang duduk di depannya. Rean pun segera mengalihkan pandangan, lebih memilih untuk memandang ke luar jendela daripada sosok Audrey yang tadi berbisik kepadanya. "Lo nggak nyatet, ya?" Tanya Audrey dengan sebuah bisikan lagi. "Mau pinjem catetan gue nggak? Catetan gue lengkap nih," katanya sembari sedikit mengangkat buku catatannya. Rean mendengus pelan, tidak menanggapi perkataan Audrey sama sekali. Perempuan itu sudah dianggap Rean menyebalkan sejak pertama kali keduanya bertemu dan Rean pun telah bersumpah dalam hati untuk meminimalisir interaksi dengan Audrey sebisa mungkin. "Is, Rean, masa gue dikacangin?" "Rean?????" "Helloooo??? b***k ya???" Kali ini Rean berdecak. Kalau sudah berbicara sekali dan tidak ditanggapi, Audrey tidak akan berhenti. Sudah ciri khasnya begitu, menjadikan hal tersebut sebagai alasan dari ketidaksukaan Rean terhadapnya. "Re-" "Diem," ujar Rean cepat, memotong apa yang hendak disampaikan Audrey selanjutnya. "Is, jutek banget sih," keluhnya sebelum kembali menghadap ke depan, menyerah untuk mengajak Rean berbicara. Tiba-tiba saja Rean jadi merasa pengap berada di dalam kelas. Terlalu tidak nyaman dengan aura Fisika dari Bu Naya serta suasana hatinya juga memburuk akibat gangguan kecil dari Audrey tadi. Tanpa berpikir panjang, Rean pun mengangkat satu tangannya, menunggu sesaat hingga Bu Naya menyadari tindakannya itu. "Ya, Rean? Ada apa?" "Permisi, Bu, saya butuh ke toilet." Bu Naya mengatupkan bibir, menyebabkan wajahnya yang menyeramkan terlihat datar dan semakin tidak enak dilihat. Guru Fisika itu pun pada akhirnya mengangguk singkat. "Lima menit," katanya tegas. Rean lantas segera berdiri dan keluar dari tempat duduknya tanpa perlu mengusir teman semejanya karena memang perempuan itu tidak hadir. Iya, hari ini Shadira tidak masuk ke sekolah, dan ini sudah merupakan hari kedua dari absennya perempuan itu dengan status tanpa keterangan. Fakta itu membuat Rean sebal, sebenarnya. Bukan karena Rean peduli atau apa, ia hanya kehilangan kesempatan untuk menanyakan keadaan ponselnya yang seharusnya sedang dalam proses perbaikan. Begitu keluar dari kelas dan mulai berjalan menyusuri koridor sekolah yang lumayan sepi, Rean pun mengirup nafas dalam, menikmati kebebasan sesaatnya. Ia masukkan kedua tangannya ke dalam saku, berjalan dengan santai sambil melihat-lihat lingkungan sekolah. Ketika melintasi lapangan basket, dilihatnya bahwa kelas Ben-yang juga merupakan kelas Rena, sedang ada kelas olahraga. Mereka semua sedang bermain basket yang mana pertandingannya dibagi menjadi dua, antara laki-laki dan perempuan. Rean pun berjalan mendekati lapangan dan berdiri di ujung lapangan basket tersebut, tertarik untuk menonton dan sama sekali melupakan alibinya untuk keluar kelas tadi. Tempat Rean berdiri sekarang letaknya lebih dekat dengan sisi lapangan di mana kelompok perempuan sedang bertanding. Ia terkekeh pelan begitu melihat teriakan-teriakan kecil dari perempuan-perempuan itu saat berlari dan berebut bola. Tidak bisa dipungkiri memang, kaum perempuan lebih sering bertanding olahraga menggunakan suara yang heboh. Dan aksi rebut-rebutan bola itu pun berakhir dengan tidak ada yang mendapatkan bola itu. Yang ada, bola berwarna oranye tersebut malah menggelinding ke luar lapangan, tepat ke arah Rean. Dengan sigap Rean menahan bola itu dengan kaki, kemudian menunduk untuk mengambilnya. Tanpa Rean sadari, seseorang sedang berlari menghampirinya. "Boleh minta bolanya, nggak?" Saat Rean mendongak, ia sedikit terkesiap melihat siapa yang ada di hadapannya sekarang, sedang tersenyum manis ke arahnya. Entah mengapa, Rean pun langsung berubah jadi kikuk. "Bola ini?" Tanya Rean seperti orang bodoh. Perempuan yang ada di hadapannya itu mengangguk cepat. "Ya, emangnya bola mana lagi?” Ia tertawa kecil. Rean jadi ikut tertawa, namun jenis tawa yang keluar merupakan tawa yang terdengar tidak ikhlas. Ia menggaruk telinganya sebentar, sebelum memberikan bola itu kepada perempuan yang tadi meminta. "Thanks," kata perempuan itu, lalu kembali berlari menuju lapangan, tempat teman-temannya sedang menunggu bola. Seperti orang bodoh, Rean masih berdiri di tempat. Pandangannya tertuju pada perempuan yang kini sudah mulai kembali bermain basket dengan teman-temannya. Tanpa sadar, wajah Rean terasa hangat, menyebabkannya menggelengkan kepala. "Cantiknya nggak nyantai, anjir," gumam Rean pada diri sendiri. Perempuan yang tadi dilihatnya merupakan perempuan cantik yang waktu itu ditemuinya pada saat KMP tiga hari yang lalu. Tidak disangka kalau hari ini Rean akan terlibat dalam percakapan singkat dengan perempuan yang diketahuinya bernama Jani itu. *** "Futsal lo hari ini?" Rean paling malas kalau ada orang yang bertanya sesuatu padanya padahal sudah mengetahui jawabannya karena memang jawaban itu terpampang jelas di depan mata. Pertanyaan Ben tadi, sukses membuat Rean memutar bola mata. "Punya mata nggak lo?" Tanya Rean sambil melepas seragam sekolahnya, hendak mengganti seragamnya itu dengan baju futsal yang seringkali ia pakai untuk latihan. Ben pun terkekeh pelan melihat Rean yang dengan mudahnya jadi kesal seperti itu. "Yailah, gitu doang ngambek. Kurang piknik lo?" "Bacot," balas Rean. Keduanya kini sedang berada di dalam kelas Rean yang nyaris kosong, hanya tinggal mereka berdua yang ada di dalam kelas itu. Rean sedang berganti pakaian karena sebentar lagi akan memulai latihan ekskul futsalnya, sementara Ben yang hari itu juga ada jadwal latihan ekskul basket pun sudah memakai seragam tim basket kebanggaanya. Ben menghampiri Rean ke kelasnya karena ingin mengajak laki-laki itu makan sebelum latihan dimulai sekitar setengah jam lagi. "Makan dulu lah, Yan, sebelum latihan. Laper berat gue." "Lo traktir gue, ya?" Balas Rean santai. Ben yang notabennya memang paling tajir di antara Rean dan Gio pun, dengan mudahnya mengacungkan kedua ibu jari, menyetujui permintaan Rean tadi. Asik. Rean jadi makan gratis. Dengan tawaran makan gratis itupun, Rean semakin mempercepatnya gerakannya untuk berganti pakaian serta tak lupa pula berganti sepatu. Selagi Rean sibuk dengan itu semua, Ben yang duduk di atas salah satu meja di depan pun sibuk memainkan ponselnya, berbalas pesan dengan lebih dari satu orang yang mayoritasnya adalah kaum hawa. Namun, dari semua kaum hawa yang berbalas pesan dengannya, ada satu orang yang pesannya dibalas Ben paling cepat. Yup, siapa lagi kalau bukan Shadira. Shadira Ariella : dimana Ben : masih di sekolah, mau basket. Ben : kenapa Shadira Ariella : gak Ben tersenyum geli sendiri mendapati balasan itu, meskipun tidak ada hal yang lucu sama sekali. Diliriknya Rean yang kini sedang bertelanjang dadadan tiba-tiba, sebuah ide jahil muncul di kepalanya. Ia pun menyeringai kecil pada diri sendiri sebelum membuka kamera ponselnya dan membidik foto Rean diam-diam. Rean pun tidak sadar dengan apa yang dilakukan Ben itu dan Rean juga tidak tahu apa yang akan dilakukan Ben dengan foto tersebut. Karena kalau Rean tahu, laki-laki itu pasti langsung mengamuk. Ben : Sent a photo Ben : jangan lama lama bolos Ben : ada yang kangen tuh Tanpa perlu menunggu waktu yang lama, balasan dari Shadira pun segera datang. Shadira Ariella : astaghfirullah Shadira Ariella : NAJIS Shadira Ariella : jijik Shadira Ariella : pengen baca ayat kursi liatnya Tanpa bisa ditahan, Ben pun terpingkal mendapati balasan Shadira. Ia menggelengkan kepala dengan geli, membayangkan bagimana ekspresi Shadira ketika melihat foto Rean yang baru saja dikirimkan tadi. Shadira pasti langsung meringis jijik, sekaligus bertambah frustasi. Selain karena tidak suka Rean, Shadira juga punya masalah baru yang berhubungan dengan Rean, dan itu merupakan salah satu alasan mengapa Shadira bolos sekolah dua hari ini. Yup, untuk menghindari Rean. Sekaligus berpikir keras untuk mencari solusi bagaimana caranya mengganti ponsel Rean yang telah dijambret orang. Kalau Rean tahu tentang ponselnya yang telah lenyap, Ben yakin kalau Shadira tidak akan selamat. Maka dari itu, meskipun Shadira telah menceritakan apa yang telah terjadi terhadap ponsel Rean, Ben tidak memberitahunya kepada Rean walau sebenarnya Rean sangatlah berhak untuk tahu. "Kenapa lo ketawa sendiri? Abis obat?" Komentar Rean atas tawa tiba-tiba dari Ben. Ben menatap Rean sambil tersenyum geli lalu menggeleng pelan. "Kepo aja lo." "Kampret." Rean kini sudah selesai berganti pakaian, barang-barangnya pun sudah ia bereskan dan ia masukkan ke dalam ranselnya. "Ayok, ke kantin." Ben mengangguk, berjalan terlebih dahulu keluar dari kelas Rean, sementara Rean mengiringi dari belakang, dan mereka pun berjalan menuju kantin. Begitu sampai di kantin, keadaan di dalam sana cukup sepi karena memang jam pulang sekolah sudah cukup lama berlalu. Hanya ada siswa-siswa yang hendak mengikuti ekskul lah yang masih berada di sana, termasuk Rean dan Ben yang baru datang. Keduanya langsung pergi ke kios makanan yang hendak mereka beli. Siang itu Rean memilih untuk makan nasi rames, sementara Ben memilih mie ayam. Setelah mendapat makanan di tangan, mereka pun memilih tempat duduk yang paling dekat dengan pintu masuk kantin. Tanpa babibu lagi, keduanya segera menyantap menu masing-masing. Dan namanya juga lelaki, kurang dari lima menit, isi makanan di piring mereka langsung tandas tak bersisa, hanya tertinggal noda kotor saja di sana. "Rokok, Yan?" Itu adalah hal yang ditawarkan oleh Ben begitu mereka selesai makan dan minum. Ben sendiri sudah menyulut rokoknya dengan korek api dan mulai menghisapnya dengan santai dan tanpa dosa. "Gue nggak ngerokok," ujar Rean, mendorong pelan kotak rokok yang disodorkan oleh Ben. Ben pun mencibir. "Bullshit." "Nggak ngerokok di sekolah, maksudnya," lanjut Rean lagi, kali ini sambil menyeringai kecil. Meski Rean merupakan perokok aktif yang telah mengenal batangan tembakau itu sejak dirinya masih memakai seragam putih biru, tapi ia memiliki prinsip untuk tidak akan pernah merokok di sekolah. Selain karena dirinya tidak ingin memiliki reputasi yang buruk, Rean juga tidak ingin terpergok guru, dan mendapat hukuman akibat ketahuan merokok seperti yang sering terjadi pada Ben. Sebagai ganti, Rean pun mengeluarkan ponsel, dan memilih untuk memainkan game yang ada di ponselnya. Ups, ponsel Shadira, maksudnya. Begitu Rean mengeluarkan ponsel tersebut, Ben langsung memerhatikan benda itu sambil terus menghisap dan menghembuskan asap rokoknya. "Kapan lo mau kembaliin hape Shadira?" Tanya Ben kepada Rean. Yang ditanya pun mendongak sebentar untuk menatap sang penanya. "Tunggu dia balikin hape gue dalam keadaan mulus lagi." Ben diam sebentar. Rean tidak tahu saja bagaimana nasib ponselnya sekarang. "Kasian tau, sekarang dia jadi pinjem hape lama gue." "Bodo amat," sahut Rean acuh. "Untung aja hape lama gue itu masih bagus dan nggak ketinggalan jaman banget." Rean menghentikan permainannya dan kali ini beralih untuk menatap Ben sepenuhnya. "Sebenernya dia itu siapanya lo sih?" Tanya Rean. "Kayaknya lo deket banget sama dia, tapi lo nggak pernah cerita apapun sama dia ke gue ataupun Gio. Dia modusan lo atau sepupu atau siapa?" Ben mengangkat bahu santai. "Gue sama Shadira kan tetanggaan." Rean hanya memutar bola mata mendapati jawaban simpel tersebut. "Itu sih gue juga tau." "Kalo tau kenapa masih nanya?" "Sampis lo," balas Rean kesal. "Itu cewek juga mana coba? Udah dua hari dia bolos." "Kenapa? Kangen?" "Gak, makasih." Ben kembali tertawa karena melihat Rean yang mulai jengkel. Ia menghembuskan asap rokoknya ke arah Rean sebelum menjawab. "Tenang, Shadira nggak akan kabur dari lo. Dia cuma lagi menenangkan hati sekaligus mempersiapkan mental aja." "Dia jadi gila?" "Heeh. Gila karena lo." *** Hari itu latihan ekskul futsal berakhir pukul lima sore. Tapi, karena ditahan oleh beberapa senior yang mengajaknya mengobrol, Rean ajadi sedikit terjebak, dan baru siap pulang pada pukul setengah enam. Keadaan sekolah sudah sangat sepi ketika ia melintasi koridor demi koridor yang ada di sekolahnya untuk menuju ke lapangan parkir yang terletak di lapangan belakang gedung sekolah ini. Untuk mencapai lapangan parkir, Rean mesti melewati beberapa ruang kelas serta ruangan-ruangan lainnya, termasuk ruang OSIS dan ruang arsip, tempat dimana berkas-berkas yang berhubungan dengan sekolah disimpan. Ia menggumamkan nyanyian sembari bernyanyi dan memainkan kunci mobil yang ada di tangannya. Jujur saja, keadaan sekolah yang sudah sepi dan langit yang mulai gelap membuat suasana sekarang menjadi sedikit mencekam. Untung saja Rean pemberani, kalau dirinya merupakan seseorang yang penakut, pasti sekarang ia sudah lari terbirit-b***t menuju parkiran. Begitu melintasi ruang arsip, pintu ruangan tersebut terbuka, mengindikasikan kalau ada orang di dalam sana. Rean langsung berspekulasi kalau yang ada di dalam ruangan itu adalah guru atau salah satu anggota pengurus OSIS yang memang memiliki akses masuk ke sana, kapanpun yang mereka mau. Maka dari itu, tanpa ada firasat apa-apa, Rean terus saja berjalan melewati ruang arsip. Hingga pada akhirnya, suara berdebum yang berasal dari ruangan itu membuat langkah Rean terhenti. Rean membalikkan tubuhnya untuk kembali melihat ke arah ruangan yang pintunya terbuka lebar itu. Tanpa rasa takut sedikitpun, Rean berjalan mendekat ke sana. Dan betapa terkejutnya Rean begitu melihat seorang perempuan terduduk di dalam ruangan, persis di depan pintu. Di hadapan perempuan itu, terdapat beberapa berkas tebal yang sepertinya terjatuh dan menimbulkan suara berdebum yang didengar oleh Rean tadi. "Eh, lo nggak apa-apa?" Tanya Rean pada perempuan yang menurut Rean terlihat sakit itu. Ia pun kembali mengambil beberapa langkah mendekat. "Se...sak," jawab perempuan itu terbata akibat nafasnya yang tersengal. Seketika, Rean langsung panik dan berjongkok di sebelah perempuan itu. Insing ingin menolongnya langsung keluar. "Lo asma?" Tanya Rean lagi dan perempuan itu mengangkat wajahnya sehingga Rean dapat melihat wajahnya yang pucat, kemudian mengangguk pelan. Untuk sesaat Rean terkesiap mendapati kalau perempuan ini adalah perempuan cantik bernama Jani itu. Tapi, Rean juga sadar kalau dirinya tidak punya waktu untuk terkesiap maupun terpesona. Perempuan ini butuh pertolongan sebelum keadaannya semakin parah. "Lo tenang dulu sekarang, oke?" Kata Rean. "Tarik nafas pelan-pelan, terus hembusin pelan-pelan juga sampe lo tenang." Instruksi Rean itu bukan tanpa alasan. Ia pernah baca di internet, hal pertama yang harus dilakukan untu menolong penderita asma yang tiba-tiba kambuh adalah membuat mereka tenang dan tidak panik. Dan itulah yang dilakukan Rean sekarang. "Jangan panik, lo harus tenang. Tarik nafas, buang. Tarik nafas, buang." Jani mengikuti instruksi Rean. Perempuan itu bersandar pada dinding ruangan dan berusaha keras untuk tenang dan tidak panik. Setelah dirasa Jani cukup tenang, Rean pun dengan hati-hati menuntunnya untuk bangkit berdiri. "Lo bawa inhaler?" Tanya Rean begitu mereka mencoba berjalan keluar dari ruangan secara perlahan. "Ada..di..OSIS," jawab Jani. Rean pun mengangguk dan segera menuntun Jani berjalan menuju ruang OSIS yang beruntungnya bersebelahan dengan ruang OSIS. Jani pun menunjukkan di mana ranselnya terletak. Sebelum mencari inhaler di dalam tas perempuan itu, Rean terlebih dahulu mendudukkan Jani di kursi terdekat. "Di saku depan," kata Jani, memberitahu letak inhaler-nya kepada Rean yang sudah membuka resleting ranselnya. Begitu Rean menemukan benda yang dicari itu, dengan sigap dan hati-hati, ia membantu Jani untu menggunakan inhaler tersebut hingga keadaannya membaik. Jani yang awalnya duduk tegak langsung bersandar lemas pada sandaran kursi begitu sesak nafasnya berhenti. Keringat sudah membasahi kening perempuan itu dan wajahnya masih terlihat pucat. Ia menghela nafas pelan beberapa kali, sementara Rean hanya memerhatikan. Dalam waktu beberapa menit, tidak ada yang bersuara di antara mereka. Rean sendiri juga bingung harus berbicara apa. Hingga pada akhirnya, Jani bergumam. "Makasih."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD