Jadikan Aku Anakmu

1157 Words
“Aku baik baik saja, Bi!” ucapku malas. “Hey, kau putri sulung dari keluarga Pradipta, kau gila ingin diangkat anak sama Bapak?” ucap Lela. “Nduk, apa Non Elen kerasukan kuntilanak penjaga kebun anggur?” bisik pak Joko. Lela terbahak mendengar analisa dari ayahnya, aku mencebikkan bibirku, walaupun mereka berbisik aku masih bisa mendengar kata kata yang diucapkan pak Joko. “Selama ini kalianlah yang selalu tulus menyayangiku tanpa peduli dengan kelakuan bar barku. Setauku keluarga itu bukan hanya bisa dibentuk oleh ikatan darah saja, tapi keterikatan batin juga,” ucapku sok bijak. Kulihat pak Joko dan bi Siti masih membeku. Aku tarik saja tangan bi SIti lalu menciumnya takzim, setelah itu aku mencium tangan pak Joko. “Dengan ini saya resmi menjadi anggota keluarga ini,” ucapku seenaknya. “Non Elen, sangat diterima di keluarga kami.” Bi Siti membelai pipiku, sementara pak Joko menganggukkan kepalanya, mungkin ketulusanku telah menggerakkan hati mereka. Kami makan siang di ruang makan dengan duduk bersama di meja makan, awalnya pak Joko, bi SIti dan Lela menolak duduk bersamaku di meja makan. Mereka merasa itu sangat tidak sopan, namun aku mengancam mereka tidak akan makan jika mereka tidak menemaniku, mereka akhirnya luluh dan mau makan bersamaku di meja makan. Inilah yang dibutuhkan Elena, keluarga yang utuh yang selalu tulus menyayanginya, dalam adegan film Pengorbanan Cinta, hanya keluarga mereka yang tahan menghadapi kelakuan bar bar Elena dan tidak mengundurkan diri menjadi pembantu di rumah Elena. Diceritakan dalam film, Elena merasa gengsi mendapatkan kasih sayang dari keluarga pembantunya, dia tidak ingin teman teman memanggilnya dengan sebutan anak pembantu karena terlalu akrab dengan pembantunya. “Pak, setelah makan tolong antar aku berbelanja,” pintaku. “Boleh Non, tapi Non harus izin Tuan Marcel dulu,” jawab Pak Joko. “Panggil aku Elen aja pak, ga usah pake Non Non segala,” ucapku. “Saya ga berani Non, nanti dikira ga sopan,” Pak Joko memberi alasan. “Kalo ada orang baru panggil Non, kalo ga ada orang lain, cukup panggil Elen aja, Ibu juga, aku ga mau dengar kalian manggil aku dengan sebutan Non!” Aku memutuskan mengganti panggilan bi menjadi ibu kepada bi Siti. “Baik Non, eh Nak Elen,” jawab bi Siti kikuk. Setelah makan siang, aku bersiap untuk berbelanja, saat aku turun dari kamarku, aku melihat Lela dan bi Siti sedang mencuci piring. “Mengapa kalian belum siap siap?” tanyaku sambil cemberut. “Siap siap buat apa?” tanya Lela bingung. “Kan tadi aku bilang aku mau belanja, kau juga ikut Lela, Ibu juga!” perintahku. “Kalian saja, Ibu ga ikut, mau beres beres rumah” tolak bi Siti halus. “Beres beresnya nanti saja, pokoknya aku ga mau tau, kalian wajib ikut aku belanja,” ucapku tidak menerima bantahan. Sepuluh menit kemudian kami berangkat berbelanja ke sebuah mal besar, pak Joko dan bi SIti duduk di bangku depan, sedangkan aku duduk bersama Lela di bangku belakang. Sepanjang perjalanan kami bersenda gurau, mengobrolkan hal hal ringan dan menarik. Sesampainya di mal, aku langsung masuk ke dalam sebuah toko pakaian, sepertinya toko ini termasuk toko mewah. Penjaga toko di sana langsung menyambutku, sayangnya mereka hanya menyambutku dan mengabaikan pak Joko, bi Siti dan Lela. Hanya aku yang dipersilahkan duduk di sofa empuk toko, sedangkan yang lain tidak dipersilakan duduk. “Mereka orang tuaku, dan dia adalah adikku” ucapku dingin. Pelayan toko gelagapan mendengar ucapanku, dia mengira mereka hanyalah pelayan yang menemaniku belanja. Mungkin karena pakaian sederhana yang mereka kenakan berbeda jauh dengan pakaian mewah yang kukenakan. Aku memilih sebuah gaun mewah berwarna hitam, gaun yang sangat indah dengan belahan d**a rendah, saat aku coba gaun mewah itu, aku baru sadar. Ini pertama kalinya aku bercermin, mengapa wajah Elena tidak asing untukku? Aku menutup mulutku yang terbuka dengan kedua tangan, ya, ini adalah wajah Indriana, namun 10 kali lebih glow up. Mungkin karena perawatan wajah yang dijalani oleh Elena yang membuat wajahnya 10 kali lebih glowing daripada wajahku. Pantas saja saat melihat wajah Elena di film Pengorbanan Cinta aku merasa tidak asing dengan wajahnya. Aku termenung melihat wajahku sendiri di cermin, ternyata aku bisa secantik ini jika dirawat dengan maksimal. Saat menjadi Indriana aku hanya memakai pencuci muka, pelembab siang dan pelembab malam. Satu set skin care ku tidak lebih dari seratus ribu. Aku memegang pipiku yang putih, mulus, dan kenyal. Bibirku yang berwarna pink alami, dan bulu mata yang panjang nan lentik, alisku dibentuk sangat rapi, tidak ada yang berubah dari mataku, tetap bulat dan cantik. “Kau cantik sekali” pujiku dalam hati. Aku tidak pernah sadar aku secantik ini, aku jarang sekali berdandan karena bekerja dilapangan. Sebenarnya aku sudah membeli peralatan make up saat aku dipromosikan sebagai manager di kantor pusat, karena setelah bekerja di kantor pusat aku harus menjaga penampilanku. “Elen, sudah beres belum?” teriak Lela membuyarkan lamunanku. “Sebentar” aku balas teriak. Aku keluar dengan gaun berbelahan d**a rendah, gaun ini juga mengekspos kaki jenjangku hingga paha karena belahan di sisi kirinya. “Kau cantik sekali!” puji Lela. “Nak Elen, bapak kira itu terlalu terbuka,” cicit pak Joko. Hatiku menghangat mendengar ucapan pak Joko, sepertinya beliau sudah menganggapku sebagai putrinya. Ayahku sudah meninggal saat aku lulus SMA, ayahku juga pasti akan mengatakan hal yang sama saat putrinya memakai gaun yang terlalu terbuka. “Ibu setuju sama bapak,” tambah bi Siti. Aku pura pura kesal dan kembali kedalam dan mencoba gaun lain. Aku mencoba sebuah gaun hitam panjang sampai mata kaki, ada hiasan renda hitam menutupi bahu hingga lenganku, tubuhku sangat proporsional, aku terlihat sangat anggun memakai gaun ini. “Ini saja Nak Elen, Nak Elen tambah cantik pakai gaun ini” puji bi Siti. Pak Joko mengacungkan dua jempolnya padaku. “Clara akan insecure dengan penampilanmu ini” kekeh Lela. Aku melemparkan sebuah gaun hitam kepada Lela. “Kau coba ini” pintaku. “Untuk apa?” tanya Lela bingung. “Bukankah kau akan menjadi tangan kananku? Kau harus memakai pakaian senada denganku” cibirku. “Tapi—“ ucap Lela ragu. “Tidak menerima penolakan,” potongku. Lela terlihat sangat cantik saat memakai gaun yang kuberikan, aku sengaja memilihkannya gaun yang lebih sederhana agar dia merasa percaya diri memakainya, bi SIti aku paksa membeli sebuah gamis dan pak Joko memilih membeli sebuah kemeja berwarna abu tua dan celana panjang berwarna hitam. Setelah membayar pakaian kami, aku mengajak mereka membeli sepatu dan kacamata. Aku membeli sepatu heels 12 cm dan kacamata hitam berbentuk segi empat dengan taburan berlian di pinggirnya. Lela memilih heels 5 cm karena dia tidak terbiasa memakai sepatu heels, Lela memilih kacamata hitam tanpa bingkai, bi Siti membeli wedges berwarna cokelat dan pak Joko menjatuhkan pilihan pada pantofel. Tidak terasa 3 jam kami berkeliling mal, kami terlalu focus berbelanja sehingga lupa waktu, perutku sudah berteriak teriak minta diisi. Aku menyeret Lela dan keluarganya masuk ke sebuah restoran di mal. “Pesan apa saja, jangan lihat harga di menu,” ucapku.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD