Pesta

1517 Words
Hingar-bingar lampu disko menghiasi suasana sebuah cafe ternama di kota itu. Lampu bundar itu berkelap-kelip dengan cantiknya. Memantulkan cahaya ke setiap sudut ruangan. Namun, tidak menerangi, ia hanya akan membuat suasana senantiasa menjadi remang. Tepat di bawah lampu disko itu, beberapa anak muda, baik pria maupun wanita terlihat asik bercengkrama antara satu sama lain. Menggerak-gerakkan tubuh mereka sesuai alunan musik yang berdentum. Mereka menari sambil tertawa riang. Menikmati suasana yang memang dipersembahkan untuk mereka. Aileen, dengan dress hitam yang panjangnya selutut, rambutnya yang digerai dan dibuat sedikit ikal, juga heels yang menghiasi kaki indahnya, membuat penampilan gadis itu kian terlihat mempesona. Clutch bag yang berada di tangan kirinya, semakin menunjang penampilannya. Sementara di tangan kanannya, terjinjing sebuah boneka panda yang dihias sedikit pernak-pernik cantik. Yang pastinya akan ia berikan kepada si empunya acara. Aileen tidak datang sendiri. Ia ditemani teman karibnya, Jani. Jani juga merupakan teman yang punya acara. Mereka bertiga adalah sahabat karib semenjak duduk di bangku SMA. "Jan, yang punya acara kemana, sih?" Aileen celingukan. "Tau! Aku kan juga datangnya kan sama denganmu! Pakek nanya lagi!" celetuk Jani. "Yaelah, sensitif amat, sih!" celetuk Aileen dengan alisnya yang tertaut. Kembali mereka menyapu pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Ruangan itu memang khusus dipersembahkan untuk para tamu yang diundang. Sebuah cafe mewah, yang juga cukup terkenal di kota tersebut, dan merupakan kepunyaan dari orang tua si pemilik acara. "Hei!" Sebuah seruan menyentak Aileen dan Jani. Mereka menoleh ke belakang. "Gina ...!" Jani berseru. Gina tersenyum manis. "Ya ampun, Na! Kau kelihatan sangat cantik malam ini ... aku sampe pangling tau gak!" puji Aileen terkagum. "Malam ini, ya? Biasanya kagak, kan?" Gina tersenyum getir. "Siapa bilang, sih! Kau ini cantik. Dan semakin cantik ketika berpakaian seperti ini." Aileen menerangkan. "Halah! Kau bisa aja, Ay!" elak Gina tersenyum malu. Ayleen nyengir tak karuan. "Ya, udah. Sekarang sebaiknya kalian cicipi dulu menu yang tersedia di sini. Aku tau, kalian pasti laper, kan?" tebak Gina. Menunjuk Aileen dan Jani bergantian. Aileen dan Jani saling memandang. Dan membalas pernyataan Gina hanya dengan senyuman. Membuat Gina menyadari kalau tebakannya itu benar adanya. "Nah, kan! Aku sudah bisa menebak! Wajah-wajah laper kalian itu sangat jelas keliatan, tau gak!" ujar Gina menimpali. "Udah, sono makan! Jan sampe kalian masuk angin. Aku gak mau tamu undanganku pingsan hanya karna kelaperan!" lanjutnya lagi. "Yeeeee ...." Aileen memprotes. "Gak segitunya juga kali!" imbuhnya tidak senang. "Emang kau kira kita berdua ini udah gak makan berhari-hari apa?! Lagian, kalo menu di sini habis, palingan orang yang punya hajatan yang bakal kita makan dan kita kunyah sampai habis!" ancam Aileen bergurau. "Sadis amat!" Gina tercegang. Aileen tersenyum miring. Menatap Gina dengan misterius "Hellowww ..." Jani menyosor. "Kalian kenapa keasikan ngobrol berdua, sih? Apa kalian tidak menganggap kehadiranku lagi di sini, hem?" Jani memandan Aileen dan Gina secara bergantian. Meminta kejelasan dari kedua temannya itu. Aileen dan Gina sama-sama nyengir. Tersenyum kaku persis seperti keledai. "Eh, ini untukmu, Say!" Aileen menyerahkan barang bawaan yang ia pegang sejak tadi. "Panda!" ucap Gina bersemangat. Aileen mengangguk. "Dari kita berdua!" ungkapnya, tersenyum manis. "So, thank you, kesayanganku!" seru Gina membentangkan kedua tangannya. Memeluk kedua temannya secara bersamaan. Bukan karena boneka panda itu yang membuatnya terharu. Tapi lebih karena kehadiran dan kepedulian dari teman-temannya terhadapnya yang sudah mau menyempati diri untuk hadir memenuhi undangannya. *** "Cepetan dong, Axel! Lama amat sih nyetirnya. Kita udah telat nih!" desak seorang lelaki yang duduk di samping kursi kemudi Axel. "Kau bisa diam tidak! Apa kau tidak lihat aku sedang menyetir dengan kecepatan tinggi!" sergah Axel menggeram. Revan, teman karib Axel sejak duduk di bangku kuliah berdecak tak sabar. Mereka saat ini sedang dalam perjalanan dengan posisi Axel sebagai pengemudi. Keduanya akan menghadiri undangan dari sepupu Axel yang baru saja mendapatkan gelar sarjana. "Kau payah! Masa cuma bisa nyetir dengan kecepatan seperti ini. Apa tidak bisa lebih kencang lagi?!" Revan terus mendesak Axel. Rahang Axel mengeras. Sambil terus fokus mengendarai mobil, ia kembali memaki teman prianya itu. "Apa kau akan menghadiri undangan resmi dari presiden?" sindirnya kesal. Revan mengernyit. "Bukan begitu. Ini tuh sudah jam sembilan lewat. Kalau kita telat, nanti menu-menu di sana sudah pada habis. Kalau sudah habis, lah, kita nanti makan apa dong?" ucap Revan dengan polosnya. "s**t! Apa yang ada di otakmu cuma makanan!" Axel meradang. "Kalau kau hanya ingin makan, kau tidak harus menghadiri pesta itu sampai-sampai takut kehabisan menu! Kau bisa merogoh makanan sisa di tong sampah saat pesta itu sudah selesai!" tandas Axel. Mulut Revan menganga. "Kau kira aku seekor kucing kampung! Kenapa kau seenaknya ngatain teman seperti itu!" pekiknya tak terima. "Lagian, kau juga! Bukannya berterima kasih kepadaku karna udah dikasih tumpangan, eh, malah ngatur seenaknya! Kau seharusnya mikir, kalau aku tidak memberimu tumpangan, apa kau mau menghadiri undangan dengan mengendarai sepeda motormu yang sudah rehek itu!" cela Axel sekenanya. Revan melayangkan tatapan elangnya pada Axel. Yang dibalas dengan sebuah senyuman miring oleh Axel. Revan memiringkan tubuhnya ke kiri. Sedikit membelakangi Axel. Ia melemparkan pandangannya ke luar jendela mobil dengan bibirnya yang maju lima centi. "Punya temen kaya, percuma! Bukannya inisiatif beliin temennya motor baru atau apa kek. Malah ngehina seenak udelnya!" gerutunya jengkel. Meski Revan menggerutu dengan pelan, tapi Axel dapat mendengar apa yang keluar dari mulut temannya itu. Ia hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis sambil terus fokus mengemudikan mobil. *** Aileen dan Jani serta beberapa orang teman mereka yang lain tampak begitu asik mengobrol. Mereka berada dalam satu meja yang sama. Tertawa riang sambil sesekali bergurau. Suasana reuni dengan teman-teman SMA secara tidak sengaja tercipta dalam acara tersebut. Sementara di sisi lain, Gina yang sedang sibuk menyambut tamu, terkaget kala tangan seseorang menyentuh pundaknya dari belakang. Ia pun segera menoleh. "Axel!" serunya ketika menyadari siapa orang yang tadi menyentuh pundaknya. Axel membalas dengan tersenyum manis. "Oh, ya ampun!" Gina bangkit dari duduk dan membentangkan kedua tangannya. "Thank you udah mau hadir ke acara-ku!" Ia mendekap tubuh Axel dengan haru. Axel menyambut antusias Gina. Ia membalas dekapan itu. Memeluk hangat sepupunya yang memang sudah lama tidak bertemu. Di saat yang bersamaan, kedua mata Axel menangkap sosok yang tidak asing di matanya. Senyumnya seketika memudar bersamaan dengan kelopak matanya yang melebar. Menatap ke satu arah dengan keadaan mematung. "Axel?!" Gina melepaskan pelukannya. Ia mendongak, memandang wajah sepupu laki-lakinya itu dengan keheranan. "Axel?" serunya lagi. Gina dan Revan tentu bingun kenapa Axel tiba-tiba membeku seperti itu. Keduanya saling memandang heran. Karena penasaran dengan apa yang Axel perhatikan, Gina pun segera mengikuti arah pandang sepupunya itu. Arah pandang Axel tertuju pada perkumpulan gadis di sudut sana. Namun, Gina masih tidak tahu pasti apa yang sebenarnya Axel lihat dan Axel pikirkan. Bahkan Gina dan Revan tidak tahu apa yang terjadi pada Axel sampai-sampai tubuhnya mematung seperti itu. "Axel, kau lihat apa?" tanya Gina penasaran. Ia kembali mengikuti arah pandang Axel. Celingak-celinguk seperti orang yang sedang mencari sesuatu. Revan yang melihat temannya seperti itu, langsung menepuk pundak Axel. "Axel!" sentaknya. "Hah?" Axel terperanjat. Langsung tersadar dari lamunan, kemudian menoleh pada Revan dan Gina. "A-ada apa?!" tanyanya terbata. "Ada apa?" ulang Gina. "Seharusnya kita yang nanya padamu, apa yang kau lihat sampai-sampai kau mematung seperti itu," ujar Gina memekik. Axel kontan salah tingkah. "Ah, enggak! Aku, aku ... hanya kagum melihat dekorasi cafemu," dustanya. Gina yang tidak mempercayai ucapan Axel, melipat tangannya ke d**a. Memandang laki-laki itu dengan satu alisnya yang terangkat. Axel tersenyum getir. Ia menundukkan pandangan. Merasa seperti diintimidasi oleh Gina dan juga Revan. "Hem!" Axel berdecak. "Apa kau tidak ingin gabung pada temanmu yang lain, Gina?" tanya Axel. Yang sebenarnya hanya ingin agar Gina tak lagi mencurigai gelagatnya. Sebab wanita itu masih saja menatapnya dengan tajam. Gina menghela nafas. "Apa aku bisa meninggalkan kalian sekarang?" Gina balik bertanya. "Hem, tentu!" Axel menggangguk antusias. "Kau tidak keberatan?" tanya Gina lagi. "Tentu tidak, Gina ...! Aku sama sekali tidak keberatan kok. Aku juga paham, kau kan harus meladeni para tamu yang lain," ucap Axel sebegitu tulusnya. "Eum, baiklah! Aku tinggal dulu, ya. Nikmati saja suasana malam ini!" Gina berpesan Ia berlalu sambil menepuk pelan pundak Axel. Lalu pergi dari hadapan Axel dan Revan. Berbaur bersama temannya yang lain. "Oke! Terima kasih, Nona! Kami akan menikmati semua yang ada di sini!" seru Revan antusias. "Bukan begitu, Axel!" lanjutnya, bertanya pada temannya yang kembali mematung memandangi para gadis yang duduk di sudut ruangan sana. "Axel?!" tegur Revan. "Hei!" "Eh, iya!" Axel tersentak. Kembali salah tingkah. "Kau ini kenapa, sih? Tiba-tiba mematung seperti itu. Apa kau ingin salah satu dari gadis-gadis cantik itu?" tanya Revan menyindir. Mendengar sindiran Revan, Axel hanya tersenyum tipis. Menyugar rambutnya ke belakang. "Ya, udah deh! Aku mau menikmati malam ini. Terserah kau mau ikut denganku atau tidak." Revan berlalu dari sisi Axel. Berjalan mendekati meja hidangan. Axel kembali kepada pemandangan indah yang membuat dirinya terkagum. "Oke!" ucapnya pada diri sendiri. "Sesuai yang kalian katakan tadi, aku juga akan menikmati malam ini!" Sudut bibir Axel terangkat. Tersenyum misterius menatap wanita cantik yang tidak lagi asing di matanya. Wanita yang kini tengah duduk bersama teman-temannya di sudut ruangan sana. Yang sedang tertawa riang dan tidak menyadari ada sebuah ancaman yang menantikan dirinya. Gadis itu, gadis yang paling anggun di antara gadis-gadis lainnya. Dialah, Aileen! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD