“Pa ... gimana kelanjutan perusahaan kita? Pak Hamdan jadi kan memberikan sumbangan dana untuk kita?” tanya Tamara pada suaminya yang masih duduk termenung di meja kerja rumahnya.
“Jadi, Ma. Tapi, untuk saat ini memang nggak banyak. Hanya agar perusahaan kita nggak benar-benar bangkrut aja,” jawab Suhendar dengan wajah gusar.
“Terus, kapan dong bisa naik dan jaya lagi? Kalau hanya sedikit, kita nggak bisa sukses seperti perusahaan dia, Pa. Kita kan sekarang besanan sama dia, harusnya dia bantu kita juga dalam segi ekonomi dan bisnis. Itu juga akan sangat berpengaruh untuk nama besar keluarga mereka,” terang Tamara yang jelas sedang memprovokasi Suhendar lagi.
“Mama benar, Pa. Papa nggak bisa duduk dan diam aja seperti ini. Papa udah jadi besanan sama pak Hamdan itu dan nggak ada salahnya kita minta lebih,” sela Vivian yang baru saja datang menghampiri dua orang tuanya itu.
“Nggak bisa seperti itu juga. Kita udah buat perjanjian sama keluarga mereka dan itu harus dipenuhi dulu.”
“Perjanjian yang mana lagi, Pa? Kan, Nadin udah kita nikahkan sama anaknya yang nggak waras itu. Apalagi perjanjian yang udah Papa buat sama dia di belakang Mama?” tanya Tamara dengan curiga.
“Masa Mama lupa sih? Semua itu akan mudah kalau Nadin udah mengandung cucu atau ahli waris pak Hamdan itu, Ma. Itu artinya, Nadin harus hamil dan melahirkan anak kandung Reza dulu. Baru bisa kita meminta yang banyak sebagai bayarannya!” ungkap Suhendar dengan penuh penekanan saat menjelaskan semua itu kepada Tamara dan di depan Vivian juga.
Ada perasaan tak nyaman juga sebenarnya di dalam hati Suhendar saat dia berkata seperti itu. Apalagi, yang sedang dia bahas adalah putri kandungnya sendiri. Nadin adalah satu-satunya anak yang dilahirkan dan ditinggalkan oleh mantan istrinya dulu. Padahal, Suhendar begitu mencintai istrinya itu dan tidak pernah membayangkan akan terjadinya perpisahan menyakitkan itu.
Namun, di sisi lain sepertinya Tamara terus berjuang merusak pandangan Suhendar dan meracuni jalan pikirannya tentang Nadin dan ibunya. Sehingga, tanpa ada perasaan sedikit pun Suhendar tega menyerahkan Nadin untuk dinikahkan dengan pria yang selama ini dikenal sebagai tuan muda yang tidak waras, tapi dia adalah ahli waris dari keluarga terkaya yang bisa membantunya dalam segi keuangan. Itu sama saja halnya dengan Suhendar sudah menjual Nadin demi uang.
“Oh, masalah itu. Ya udah, tinggal desak Nadin aja supaya bisa cepat hamil. Setelah melahirkan, dia bisa minta apa aja kan sama bapak mertuanya itu. Jadi, kita bisa minta Nadin untuk membantu keuangan keluarga kita lagi.”
“Apa menurut Mama Nadin akan mau melakukan semua itu untuk kita?”
“Pasti maulah, Pa! Dia harus jadi anak yang berbakti dan tau balas guna. Jangan nanti mentang-mentang udah hidup enak sebagai menantu keluarga kaya, dia lupa dari mana dia berasal.”
“Bukan gitu maksud Papa, Ma! Tapi, Nadin pasti kecewa berat sama Papa saat ini. Bagaimanapun juga, ini terlihat sangat jelas kalau Papa menjual dia demi kelangsungan perusahaan.”
“Papa ... nggak usah mikir gitu deh. Aku kalau udah cukup umur, pasti akan melakukannya juga demi Papa dan keluarga kita. Aku rela menikah dengan orang gila itu asal keluarga kita aman dan nggak jatuh miskin. Jadi, yang dilakukan sama Nadin itu bukan sebuah kesalahan yang harus kita sesali bersama, Pa. Itu udah jadi tanggung jawab dia sebagai seorang anak untuk membantu orang tuanya saat susah. Selama ini, toh dia juga menikmati semua hasil jerih payah dan kerja keras Papa!” jelas Vivian yang kali ini berusaha membuat Suhendar tidak begitu peduli dengan perasaan Nadin.
“Nah, Vivian benar tuh, Pa. Anggap aja itu sebagai bakti Nadin sama keluarganya dan balas jasa dia selama ini udah dibesarkan dan disekolahkan dengan baik. Selama ini dia hidup dengan mewah juga nggak kekurangan satu apapun kan,” sambar Tamara pula yang membenarkan ucapan Vivian.
Suhendar tampak sedang berpikir keras tentang semua yang diucapkan oleh istri kedua dan anak tirinya itu. Entah kenapa, Suhendar memang sudah gelap mata dan pikirannya sudah tidak lagi bisa membedakan yang mana kasih sayang dan yang mana memanfaatkan.
“Kalian benar. Semoga nanti Nadin perlahan lahan bisa menerima semua ini dengan lapang d**a. Ya udah kalau gitu, Papa mau cek kerjaan karyawan dulu ke kantor. Kita masih dalam tahap kembali bangkit, jadi masih banyak yang perlu disiapkan dan diselesaikan,” ujar Suhendar dan bangkit dari kursi kebangsaannya itu.
“Nah, gitu, dong! Itu baru namanya suamiku tercinta dan tersayang,” puji Tamara sengaja dan bergelayut manja di lengan Suhendar.
“Ehem ... masih ada aku di sini. Apa nggak malu mengumbar kemesraan di depan anak sendiri,” sindir Vivian dengan sengaja yang sebenarnya sudah tahu maksud ibunya melakukan itu.
“Hust! Anak kecil jangan banyak bicara. Udah, sana pergi ke kamar kamu. Mama mau nganterin Papa ke depan dulu, biar semangat berangkat kerjanya,” usir Tamara dengan sengaja dan mengerlingkan matanya pada Vivian.
“Iya, deh. Tau kok yang bakalan ngasih vitamin dulu buat suami tercinta.”
“Dih, anak kecil tau apaan masalah orang tua. Buruan sana balik ke kamar kamu, belajar yang bener!”
“Iya, Mama. Tapi ... aku mau minta uang jajan dulu sama Papa. Soalnya, uang jajan seminggu ini udah habis aku beliin bahan untuk praktek di sekolah. Jadi, aku nggak punya uang saku lagi sekarang,” rengek Vivian dengan sengaja dan memasang wajah sedihnya di depan Suhendar.
Hati Suhendar sangat rapuh dan mudah sekali iba, apalagi mendengar keluhan dari putri sambungnya seperti itu. Vivian seolah lebih tahu bagaimana caranya meluluhkan hati Suhendar dan itu membuatnya merasa menang satu langkah selalu dari pada Nadin yang suka membangkang pada ayah kandungnya itu.
Dengan senang hati, Suhendar langsung mengambil ponselnya dari atas meja kerja dan seperti sedang mengetik sesuatu di sana. Tentu saja itu adalah sebuah transferan uang belanja untuk Vivian seperti yang baru saja direngekkan gadis itu.
“Udah Papa transfer lagi tuh tiga juta. Jangan dihabiskan untuk yang nggak perlu, kita lagi kritis keuangan sekarang. Nanti kalau semuanya udah kembali stabil, Papa akan kasih kamu lebih banyak.” Suhendar berkata dengan senyum merekah.
“Beneran, ya Pa. Awas Papa bohong,” kata Vivian dengan mengarahkan telunjuknya pada Suhendar.
“Nggak mungkin lah Papa kamu bohong, Vian. Kamu tenang aja deh, lagian kan Nadin udah nikah sekarang. Nanti, jatah belanja Nadin itu buat kamu juga kok jadinya. Jadi, kamu harus rajin sekolah dan bikin Papa sama Mama bangga!” seru Tamara yang kembali mengerlingkan matanya pada Vivian.
“Oke deh, Ma. Makasih Papaku yang terbaik dan tersayang. Kalau gitu, silakan lanjutkan dulu adegan dewasa yang mau dilakukan. Anak kecil balik ke kamar aja deh!” ucap Vivian dan membuat dua orang paruh baya itu saling berpandangan dengan senyum malu-malu.
“Adegan dewasa yang bagaimana, Sayang?” tanya Suhendar dengan tatapan penuh cinta saat Vivian sudah keluar dari ruangan kerja itu dan menutup rapat pintunya.