Sebelas

1246 Words
Erland tampak duduk di sebuah sofa panjang di depan saat aku keluar dari fitting room butik milik Tante Farah, wanita paruh baya yang beberapa menit ini kutahu adalah teman lama dari orang tua Erland. Tangan cowok itu sibuk memainkan gadget. Di sebelahnya, setelan kemeja lengan panjang dan jas berwarna hitam teronggok asal di pegangan tangan sofa tempatnya duduk. Mungkin itu pakaian pilihan Erland untuk pergi ke pesta mantannya. Pelan, aku segera berjalan menghampirinya dari fitting room tempatku ganti baju. Kepala Erland sontak mendongak menatapku. Pasti ia sadar aku sudah keluar karena suara ketukan sepatu heels yang kupakai. Sekonyong-konyong mata kelam cowok itu menelanku mentah-mentah; memindaiku dari atas ke bawah dengan tatapan dinginnya. Dan seperti biasa, wajahnya hampir tanpa ekspresi. Aku kemudian memilih menyunggingkan senyum masam ke arah cowok itu. Ayolah! Ini sudah gaun keenam yang kucoba. Gaun panjang berwarna kuning kunyit tanpa lengan dengan bordiran cantik di ujungnya dan beberapa manik-manik berkilau yang memanjang ke bawah dari bagian d**a. Gaun keemasan yang sangat indah menurutku. Tapi entah kalau menurut Erland. Aku tidak bisa mengerti bagaimana selera Erland. Dari kelima gaun yang sudah kucoba sebelumnya, cowok itu tidak menyukainya. Padahal semuanya sangat bagus menurutku. Aku hanya berharap semoga ini yang terakhir. Karena jujur, aku sudah capek mencobai gaun-gaun cantik di butik ini yang pada akhirnya tidak bisa kukenakan. Aku sendiri yakin, Tante Farah pasti juga sudah lelah meladeni permintaan Erland. Beliau sudah mengobrak-abrik hampir seluruh butiknya tadi demi mencarikanku gaun-gaun terbaiknya yang pas di badanku. Sangat kasihan bukan? Jadi, jika kali ini Erland tidak menyukai juga gaun yang satu ini, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Ini gaun terakhir yang seukuran denganku. Dan jika masih ada, aku yakin Tante Farah harus mengobrak-abrik lagi butiknya. Dan lagi pula kalau boleh jujur, aku merasa cocok dengan gaun ini. "Erland, jangan bilang kalau kamu tidak menyukai gaun ini juga, ya?!" gumam Tante Farah. "Tante sudah lelah membongkar butik hanya untuk menemukan yang ini, Erland. Lihat, gaun ini bahkan sudah sangat serasi dengan sepatu rancangan terbaru Tante! Laras terlihat sangat cantik mengenakannya," lanjutnya nyaris terdengar putus asa. Erland menatapku lagi setelah sempat beralih pada Tante Farah sebentar. Kali ini tatapannya tidak datar dan tidak juga dingin seperti tadi. Bahkan, terkesan lebih lembut? Entahlah, aku tidak yakin. Karena tatapannya itu aku sampai merasa akan salah tingkah jika Erland terus melihatku seperti itu. Ya, aku tahu. Di sini posisiku adalah seperti anak itik yang tiba-tiba berubah memjadi angsa. Jujur, aku sendiri kurang percaya saat melihat bayanganku sendiri di cermin kaca ruang ganti tadinya. Dari keenam gaun yang sudah kucoba, gaun ini seolah-olah mengeluarkan aura tersendiri bagi orang yang memakainya, dalam di sini orang itu adalah aku. Aku mendadak terlihat begitu cantik saat mengenakan gaun ini. Padahal tanpa make up dan dengan keadaan tubuh kotor yang masih belum mandi sepulang sekolah tadi. Ya, kalau saja Erland tidak mendatangi kelasku dan 'menculikku', sekarang aku pasti sedang berjaga di toko kelontong Bu Sari. Sudah memakai pakaian ganti yang kusimpan dalam tas sedari rumah untuk kerja dan dalam keadaan sudah mandi tentunya. Sebelum pergi bekerja, aku biasa mandi dan ganti baju dulu di kamar mandi sekolahan. "Ekhem." Aku berdeham pelan. Erland yang masih menatapku itu kemudian terlihat hampir melompat dari tempat duduk. "Gimana? Bagus nggak?" tanyaku padanya. Dalam hati mati-matian menahan tawa karena reaksi yang tadi ditunjukannya. Kulihat Erland menganggukkan kepala dengan wajah yang sudah kembali tenang dan datar. Hebat! Cepat sekali cowok ini bisa mengendalikan perubahan ekspresinya! Aku membatin. "Karena sudah tidak ada yang lain lagi, baiklah, itu juga sudah lumayan buat kamu pakai menghadiri pesta," kata Erland yang menurutku terdengar aneh. Cowok ini tidak sedang kesambet kan berbicara sedikit formal seperti itu kepadaku?! "Hah ... akhirnya ...." Tante Farah yang menghela napas keras menarik atensiku. Sama sepertiku, beliau pasti merasa lega mendengar perkataan Erland barusan. "Ya sudah, Tan. Semua langsung dibungkus saja," tutur Erland sembari berdiri dari tempat duduknya. Aku kemudian kembali masuk ke salah satu fitting room, menanggalkan baju yang kucoba dan mengenakan baju seragamku kembali. Melirik jam sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh menit sore. Berarti sudah satu setengah jam aku dan Erland ada di butik ini. Dan ... hanya untuk memilih sebuah gaun agar bisa menghadiri pesta ulang tahun Oktavia, kakak kelas sekaligus mantan pacar Erland yang sebelumnya sama sekali tidak pernah kukenal secara langsung. Bertatap muka dengannya saja baru tadi siang setelah Erland mengumumkanku sebagai pacarnya di kantin. Kalau melihat sih sudah sering. Ingat, she is the school's queen! Tadi, Oktavia dan beberapa temannya yang selalu ada bersama cewek itu ke mana-mana menghampiriku dan Erland di kantin. Setelah acara mereka membagikan undangan pesta ke semua anak dengan sebuah kartu undangan yang berbeda warna dari yang lainnya untuk diberikan kepada Erland di tangannya. "Hai, Honey ...," sapa Oktavia kepada Erland terdengar centil waktu itu. "Ups. Salah! Maksud gue Erland," gadis itu menyeringai. "Ini, ada kartu undangan pesta ulang tahun dari gue buat elo. Sengaja warnanya beda, because it's VVIP's card. Takutnya, lo nggak datang kalau dikasih undangan biasa. So, lo harus datang, ya, meski sebenernya tanpa undangan lo pasti akan selalu diterima di rumah gue. Here you are." Oktavia mengulurkan tangannya yang memegang sebuah kartu dengan warna emas kepada Erland. Erland menerimanya. Rahang cowok itu terlihat menegang dengan ekspresi wajah yang mengeras dan sorot mata dingin. Aku yang melihatnya merasa horor. Sedangkan Oktavia, setelah Erland mengambil kartunya, cewek itu berjalan menjauh. Baru beberapa langkah, Oktavia dan teman-temannya berjalan berbalik dan kembali ke arah kami. "Oh ya, gue lupa," katanya. "Di pesta gue nanti, bakal ada acara dansanya. Jadi, lo harus punya pasangan kalau mau ikutan." Oktavia tersenyun dengan seringai pongah. "Dan ngomong-ngomong soal pasangan, gue mau kok jadi pasangan lo, kalau Fatir pacar gue nggak bisa datang karena sibuk shooting. Lo bisa dansa sama gue mengingat kita pernah punya hubungan baik sebelumnya. Tapi, tetap sih, lo jangan terlalu berharap kalau Fatir nggak datang. Dia udah janji buat datang soalnya." Oktavia mengumbar senyum miring sebelum kembali mengayunkan langkahnya. "Tunggu!" Suara Erland tiba-tiba menghentikan langkah kaki gadis itu. Oktavia pun langsung menoleh dan berbalik. "What's wrong?" Ia melipat kedua tangannya ke depan d**a. Beberapa saat Erland hanya diam menatap cewek itu. "Gue cuma mau balikin undangan VVIP lo." Cowok itu berujar tenang. Tangan kanannya ia ulurkan ke depan dengan gold card Oktavia di ujung jemarinya. Oktavia tertawa kecil sambil menutup mulutnya. "Kenapa? Nggak bisa datang?" desisnya remeh. "Bukan." Erland menjawab dengan gelengan dan senyum manis yang ... jujur saja, aku sedikit tak percaya saat melihatnya. Tampak begitu manis, tulus, dan tanpa beban. Erland bisa tersenyum semanis itu rupanya. Cowok ini ternyata cukup manipulatif. Sedangkan Oktavia, cewek itu langsung terlihat terkejut mendengar penuturan Erland. "Lalu?" pekaunya seraya mengerutkan dahi. "Oktavia Prameswari," balas Erland. "Gue Erland Altair Januar, nggak perlu sebuah undangan buat datang ke acara ulang tahun lo." Cowok itu masih tersenyum. "Kalau pun lo nggak ngundang, gue pasti datang. Karena seperti yang lo bilang, orang tua lo yang punya kerja sama dengan orang tua gue nggak mungkin menolak kehadiran gue di rumahnya." Ia memperlebar senyumnya. Oktavia sontak terdiam memicingkan mata. "Dan kenalin," ujar Erland tiba-tiba sembari menolehkan kepalanya kepadaku. "Ini Laras, pacar gue." Cowok itu dengan cepat menautkan jemarinya dengan milikku. Membuatku merasakan perasaan aneh lagi seperti sebelum-sebelumnya, seperti tersengat. "Pacar gue ini nanti yang akan jadi pasangan dansa gue di pesta lo, of course. Jadi lo nggak usah khawatirin gue bakalan dansa dengan siapa. Gue pasti datang. Dan ini, gue kembalikan undangan lo." Erland bersuara sembari menyodorkan gold card di tangaannya pada Oktavia dengan seringaian yang kelewat lebar merekah di wajahnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD