Sepuluh

1462 Words
"Lo mau bawa gue ke mana sih?" tanyaku ketus pada sosok jangkung yang kini berjalan cepat di depanku. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, dia yang sekarang menjadi satu-satunya cowok yang masuk daftar hitamku alias Erland, mendatangi kelasku seorang diri dan meminta agar aku pergi bersamanya. Bukan meminta sebenarnya, tapi lebih ke memerintah dan memaksa. Jangan tanya bagaimana reaksi teman-temanku lainnya! Cowok itu membuat heboh suasana hanya karena kemunculannya di koridor depan kelas. Dia bahkan tidak perlu repot-repot menyembulkan kepalanya di pintu untuk itu. "Lo dengar nggak sih?" tanyaku lagi sembari terus mengayunkan langkah lebih lebar agar bisa menyejajari jalannya. Erland membalikkan tubuhnya. "Ikut aja!" katanya kemudian menarik tanganku agar berjalan di sisinya. Jujur, aku masih cukup tidak menyangka, cowok seperti Erland yang baru kutemui tadi pagi itu kini sudah berstatus sebagai pacarku selama beberapa jam terakhir ini. Ya, meskipun hanya pura-pura. Dan jangan lupa! Cowok yang sama juga hampir mencelakaiku dengan motornya. Beberapa lama tanpa dialog, aku mendengkus. Aku melirik jam tangan kulit warna cokelat yang melingkari pergelangan tanganku. Lima menit lagi jam empat sore. Seharusnya aku sudah ada di toko kelontong Bu Sari saat ini, bekerja menjaga toko. Tapi sekarang, aku malah terjebak di atas motor Erland yang berkendara di jalan, dan belum jelas mau ke mana tujuannya. Teringat pada Bu Sari, wanita paruh baya yang mempekerjakanku itu pasti cemas menungguku. Harusnya aku menghubunginya saat ini, mengatakan kalau hari ini aku izin tidak bisa masuk kerja. Tetapi masalahnya, ponselku tidak ada. Semua karena Erland. Cowok itu mengambilnya tadi saat kami masih di parkiran sekolah sebelum naik ke motornya. Huh, menyebalkan sekali! Sekarang gara-gara cowok satu ini aku jadi terancam kehilangan pekerjaan. Sekali saja aku tidak pernah tidak izin jika tidak berangkat kerja, dan sekarang aku malah melakukannya. Semoga saja Bu Sari bisa menerima dan maklum saat aku memberinya alasan nanti. "Masih jauh nggak?" Aku mengeraskan suara. Sengaja agar telinga Erland mendengarnya di balik helm yang dipakainya. "Bentar lagi sampek." Cowok itu akhirnya menjawab. "Huft." Aku menghela napas pasrah. Sepertinya hari ini akan terkenang sebagai hari paling sial nantinya dalam hidupku. Berpacaran dengan cowok seperti Erland sama sekali tidak ada dalam rencanaku. Seharusnya aku menolak. Menjadi pacar cowok itu sama saja mengundang masalah. Aku baru menyadarinya setelah Erland mengumumkanku sebagai pacarnya di hadapan semua orang di kantin sekolahan. Bukan karena Erland sebenarnya, tapi karena mantannya. Oktavia Prameswari. Kakak kelas yang menjadi ratu sekolahan karena kecantikannya sekaligus pimpinan geng cewek kece di SMA Garuda. Dia diakui sebagai salah satu penguasa di sekolahan. Dialah yang kuyakini akan segera jadi masalah terbesarku sejak seluruh orang tahu Erland berpacaran denganku. Ah, cowok satu itu! Belum lagi masalah yang akan menghampiriku nantinya dari cewek-cewek lain yang tidak terima aku dijadikan Erland sebagai pacarnya meski 'hanya pura-pura'. Aku belum tahu jelas bagaimana Erland dan Oktavia bisa putus. Tapi aku cukup tahu dari sikap mereka kalau saat ini sedang terjadi perseteruan di antara keduanya. Dan Erland, dengan menjadikan aku sebagai pacar pura-puranya, secara tidak langsung berarti telah menyeretku dalam perseteruan itu. Semua akan berimbas juga padaku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Namun, ada satu yang jelas sangat kupahami, aku tidak akan suka dengan semua yang akan terjadi, apa pun itu. Karena meski dalam bayanganku, aku tidak pernah ingin berurusan dengan anak-anak semacam mereka. Sejauh ini hanya liontin Mama dan kenangan yang ada padanyalah yang membuatku mau terlibat. Ciitt! Sangat mendadak, Erland tiba-tiba mengerem motornya. Aku yang duduk di jok belakang dibuat terantuk dengan punggung betonnya karena kaget. "Aduhh! Lo nggak bisa, ya, nggak ngerem mendadak?!" celetukku kesal pada cowok itu. Erland hanya monoleh sebentar ke arahku sebelum melepaskan helm dan turun. Upil naga! Aku mengumpatinya dalam diam. Setelah turun dari motor, Erland langsung membawaku masuk ke gedung besar yang ada di depan tempat cowok itu memarkirkan motor Ducatinya. Gedung bergaya minimalis yang sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca dengan berbagai model busana cantik memenuhi ruangannya. Gaun-gaun yang mengkilap tampak terpajang di balik etalase kaca. Tempat ini sepertinya sebuah butik. "Erlaaand!" Baru beberapa langkah masuk, seorang wanita paruh baya tiba-tiba muncul dari balik pintu sebuah ruangan. Perasaanku mengatakan kalau wanita itu adalah owner butik ini. Penampilannya sangat modis. Rambutnya yang masih hitam tampak tergelung rapi di belakang dengan busana berupa kemeja biru muda dan scarf motif bunga yang bergelayut manja di lehernya. Bawahannya berupa rok span warna abu-abu yang tidak terlalu rendah dan sepatu pantofel putih. Dia cantik. Riasannya sederhana dan tidak ada kerutan di wajah wanita itu. "Sudah lama kamu tidak main ke sini!" Wanita itu berseru sembari memegang kedua lengan Erland sebelum memeluknya. "Kamu makin tinggi, ya?" gumamnya diselingi tawa. Erland hanya tersenyum menanggapi. Di mataku, sangat terlihat kalau senyumnya dipaksakan. Ia kemudian sedikit mengangguk sebelum menarik tanganku mendekat ke arahnya. "Sakit," cicitku tidak suka. Tapi seperti sebelum-sebelumnya, cowok itu tidak memedulikannya. "Gimana kabar Harris sama Ayumi?" Wanita itu masih menampilkan senyumnya. "Janice juga? Sudah kelas berapa dia? Tante lama nggak ketemu kalian semua." "Papa-Mama baik, Tan," balas Erland. "Janice juga. Dia sekarang sudah kelas empat." Wanita itu mengangguk-anggukkan kepala. Matanya masih berbinar seperti sebelumnya. "Tante kira, kalian masih akan lama tinggal di Australia." Lagi, Erland hanya mengembangkan senyum. Oh, jadi cowok ini dan keluarganya pernah tinggal di luar negeri? Harris dan Ayumi. Itu pasti nama orang tuanya. Dan Janice, pasti itu adiknya. Oke, Laras. Kamu harus mengingatnya! Bagaimana pun ini adalah informasi mengenai keluarga pacarmu. Tepatnya, pacar pura-pura yang tidak lain juga rekan kerjamu. "Baiklah. Sekarang apa nih yang bisa Tante bantu?" Wanita itu menghela napas. "Begini, Tan," sahut Erland. "Besok malam temanku ada yang mengadakan party. Ulang tahun. Aku mau minta bantuan Tante Farah buat nyari gaun bagus buat dia. Terserah Tante berapa pun harganya." Erland menatap lurus wanita yang ada di depannya setelah menunjukku dengan dagunya. Wanita paruh baya yang ternyata bernama Tante Farah itu kemudian menatapku. Dari caranya melihat, aku yakin dia pasti baru menyadari keberadaanku. Aku sendiri kemudian melotot pada Erland. Sangat ingin meneriakinya berkat kata-katanya. Namun, aku menahannya. Mana mungkin aku bisa membeli gaun dari butik ini? Harganya pasti mahal dan aku tidak akan mampu membayarnya. Kecuali, kalau aku memakai uang tabunganku yang belum seberapa. Baru tahun ini aku bisa menabung setelah bekerja. "Gaun pesta ya?!" tanya Tante Farah setelah beberapa saat. Matanya yang bulat menyapuku dari atas ke bawah seperti mesin pemindai. Aku yang dipindai pun otomatis jadi merasa sedikit tidak nyaman. "Baiklah. Tante rasa, Tante punya beberapa gaun yang cocok. Ada di dalam. Ayo!" Tante Farah melangkah ke sebuah ruangan besar yang ada di samping ruangan tempatnya keluar tadi. Dari celah pintu yang sudah terbuka, terlihat jelas gaun-gaun yang berkilau kelewat indah di dalamnya. Sekelas Disney mungkin. Dan aku dibuat menelan ludah hanya karena melihatnya saja. "Ish. Lo apa-apaan sih? Kenapa cari gaun aja mesti ke sini? Kenapa nggak ke toko biasa-biasa aja? Lagian, gue juga punya gaun bagus kok di rumah, ngapain beli?" celotehku segera setelah Tante Farah menghilang di balik ruangan sebelumnya. Erland menanggapi hanya dengan tersenyum miring dengan salah satu alis yang terangkat ke atas. "Lo tahu, lo itu cewek teresek yang pernah gue kenal," katanya datar. "Alasan lo gue bawa ke sini, gue nggak mau lo malu-maluin di party-nya Via. Dengan memakai gaun yang nggak berkelas, semua orang pasti akan menghina lo. Dan lo nggak sedang lupa kan, posisi lo sekarang adalah cewek gue? Ngerti apa yang gue maksud?!" Cowok itu menatap remeh. Cih! Aku mendengkus. Jadi, semua ini hangat karena gengsi selangitnya Erland? Oke, aku paham. Ternyata butuh lebih dari kesabaran untuk menghadapi cowok yang suka merendahkan orang lain sepertinya. Sayangnya aku tidak memilikinya. Jadi, sekarang lebih baik aku berhenti dari permainan ini karena rasanya aku sudah tidak tahan lagi. Aku berbalik hendak pergi. "Heh, tunggu! Lo mau ke mana?" tanyanya. "Lo nggak mau bandul kalung lo balik?!" lanjutnya lagi setelah aku melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Ya, aku berniat mau pulang. "Oke, kalau lo nggak mau, nggak masalah buat gue," katanya. "Tinggal lempar kalung ini ke kloset, selesai." Erland tertawa sumbang. Aku langsung terdiam. Di luar, dari balik pintu kaca di depan wajahku sebuah angkot yang satu jurusan dengan daerah rumahku baru saja melintas di jalanan. Penumpangnya tidak terlalu penuh. Haruskah aku berbalik setelah sampai di sini? Tapi, bandul liontin Mama, bagaimana? "Tenang, Ras. Gue yang bayar semuanya." Suara Erland kembali terdengar. Aku tetap hanya diam. Di posisiku sekarang, kakiku rasanya terkunci dengan tanganku yang berubah dingin terhenti di pegangan pintu keluar butik yang tadinya hampir kubuka. Beberapa detik setelahnya aku pun memejamkan mata. Meski merasa sangat kesal, aku memilih melampiaskan kekesalan itu dengan menghela napas kuat-kuat. Aku tidak bisa menghindar. Liontin Mama dan kenangannya adalah hal paling berharga untukku. Aku tidak bisa jika harus merelakannya. Aku menyerah. Memilih melangkah kembali pada Erland meski harus mengorbankan rasa malu dan harga diriku. Semua ini kulakukan demi benda kecil yang menjadi peninggalan terakhir Mamaku, perempuan hebat yang telah mengandung dan melahirkanku. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD