Empat

1123 Words
Drtt ... Drtt .... Ponselku yang tergeletak di meja menyuarakan bunyi. Kulirik, ternyata pesan WA dari Karina. Karina: Ras, lo udah belajar belum? Besok ulangan kimia. Belajar yang rajin ya! Gue udah coba belajar tapi gak ngerti sama sekali. Jadi biasa. Gue nyontek lo aja yaa ;) Aku langsung mendengkus kesal. Dasar kebiasaan! Belum juga ponsel benar-benar kuletakkan di atas nakas, pesan yang senada datang lagi dari dua sahabatku yang lain, Gini dan Alina. Anak-anak ini .... Selalu saja menyerah sebelum berusaha. Sorry yaa. Besok kayaknya gue nggak masuk. Cepat aku membuat pesan siaran kepada ketiga sahabatku itu. Dan sebelum ketiganya merespons pesanku, cepat kumatikan data sekaligus ponselku. Aku malas jika harus meladeni mereka. Jadi biarkan saja. Saat ini kupikir meminum teh herbal akan sedikit membantu. Apalagi setelah kejadian irasional yang kualami beberapa jam yang lalu. Lagi pula, persediaan teh chamomile-ku juga masih ada. Pusingku pasti mereda jika meminumnya. Aku pun memutuskan diri untuk turun ke dapur. Saat melihat ruang tengah, Kak Rama dan teman-temannya masih tampak ribut di depan televisi. Mereka terlihat semakin antusias menonton, apalagi setelah tim jagoan mereka yang memang sama mencetak angka. Aku tahu karena mendengar teriakan gol mereka tadi saat masih di kamar. Pendengaranku kurasa memang semakin tajam akhir-akhir ini. Terus melangkah ke arah dapur ... Bugk Aku jatuh terduduk saat sesuatu yang besar tiba-tiba menabrak tubuhku. Menatap ke depan, tampak sebuah tangan terulur ke arahku. Dan aku terkesiap demi mendapati sesosok laki-laki yang berdiri di depanku dalam gelap. Laki-laki itu. Dia ... Aku tidak menyalakan lampu tadi. Tapi, aku yakin mengenali sosok ini. "Kamu nggak pa-pa?" Suaranya terdengar jelas di telinga. Bukan di kepala. Aku tidak menjawab dan hanya mendongak menatapnya. Terlalu terkejut. Dia ... dia adalah bayangan hitam. Lagi-lagi aku tidak bisa melihat wajahnya karena kegelapan. Sedari awal sampai sekarang aku belum pernah bisa melihat wajahnya karena tudung hitam yang dikenakannya. Namun kali ini, dia tidak memakai jubah dan tudung di kepalanya sama sekali. Dan dari tinggi dan postur badannya, aku yakin sekali itu dia. Pelan aku meraih uluran tangan itu. Terjadi seperti sengatan, perasaan aneh yang sama segera menyergapku seperti saat bayangan hitam memegang tanganku, persis seperti sebelumnya. "Laras, kamu nggak pa-pa kan?" katanya membantuku berdiri. Aku terkesiap lagi. Laras? Kenapa dia memanggilku Laras? Bukannya dia selalu memanggilku Citra sebelumnya? Aku menatap lekat-lekat ke arahnnya. Jrek ... Jrek ... Jrek ... Jrek .... Hampir saja aku akan bersuara saat suara derap langkah kaki yang beradu di lantai terdengar mendekat. Menoleh ke asal suara itu, tampak seseorang berdiri di bingkai pintu dapur dengan dua sosok lain di belakangnya. Cklek .... Dapur seketika dilingkupi cahaya. Orang yang berdiri paling depan tadi menekan tombol on lampu dapur yang memang ada di dinding dekat pintu itu. Setelahnya aku langsung bisa mengenali tiga sosok itu. Kakakku, Kak Rama berdiri di paling depan. Sedangkan yang di belakangnya tidak lain adalah dua orang temannya, Kak Niko dan Kak Jordi. Eh, tunggu. Ada satu teman Kak Rama yang tidak ada. "Ternyata lo, Sok. Gue kirain siapa?" Kak Rama berkata. Sontak aku melihat ke sampingku. Pada sosok dalam gelap yang tadi menabrakku. Aku membulatkan mata. Bukannya bayangan hitam, orang yang tadi kukira dia ternyata adalah Kak Asoka, teman Kak Rama yang tidak kulihat dalam formasinya. "Iya, Ram. Gue baru dari kamar mandi tadi. Waktu mau balik, eh, tabrakan sama Laras." Kak Asoka angkat bicara. "Maaf ya, Ras. Tadi udah nabrak kamu. Aku nggak sengaja, gelap. Tadi udah mau nyalain lampu tapi nggak tahu di mana mencet tombolnya," kata laki-laki itu padaku sembari menggaruk pelipisnya. Aku masih menatap tidak percaya orang yang kukira bayangan hitam adalah dia. Seorang cowok yang selama ini kukenal sebagai Kak Asoka. Asoka Ranggaswara. Salah seorang teman Kak Rama yang dari SMA sudah biasa main ke rumah kami. Sebentar aku hanya menatap pria dengan senyum cerah itu tanpa menanggapi kata-katannya. Ya, aku harus percaya. Dia memang Kak Asoka. Bayangan hitam itu tidak ada. Di sini maksudnya. "He he he. Iya, Kak, sama-sama. Salah Laras sendiri juga sih, tadi nggak langsung nyalain lampu," lirihku menunjukkan senyum. "Ya udah. Ayo balik, Sok!" Kak Rama berseru pada Kak Asoka. Setelahnya kakakku itu langsung berlalu bersama Kak Niko dan Kak Jordi, kembali ke ruang tengah. "Kamu nggak mau ikut nonton bola, Ras?" Kak Asoka yang belum beranjak menatap lurus padaku. "Eh?!" Aku sedikit terkesiap. "Eng-enggak, Kak. Tadi, aku ke sini mau bikin teh. Kak Asoka mau?" tawarku. Entah kenapa, sorot teduh di mata itu begitu menarik perhatianku. "Nggak usah deh, Ras." Kak Asoka tersenyum lagi. "Aku balik ke depan aja. Duluan ya!" "Iya," anggukku menyaksikan dia pergi dengan santainya. Kenapa tiba-tiba aku merasa harus lebih memperhatikan Kak Asoka, ya?! Aku menggelengkan kepala. Bayangan hitam dan segala yang berhubungan dengannya membuatku benar-benar hampir gila rasanya. Dan Kak Asoka juga. Padahal hanya sekali ini kukira dia sebagai bayangan hitam, tapi dia sudah mau menarik kewarasanku. Ke mana saja aku lebih dari lima tahun mengenal cowok itu tapi tidak berhasil mengenali bayangannya dalam gelap? Bahkan sampai mengiranya bayangan hitam. Sungguh benar-benar keterlaluan. Setelah berhasil membuat secangkir teh di dapur, aku langsung bergegas kembali ke kamarku di lantai atas. Sempat bertukar senyum dengan Kak Asoka karena tak sengaja saling bertatapan saat menaiki tangga. Benar-benar sulit dipercaya. Kenapa bisa aku mengira Kak Asoka bayangan hitam? Bayangan hitam jelas bukan cowok itu. Namun, jika diperhatikan, tinggi dan postur tubuh Kak Asoka dan bayangan hitam itu memang sama. Bahkan pegangan tangan mereka juga terasa sama tadi. Tuhan! Aku akan gila jika terus memikirkan ini. Kududukkan diri menyandar di kursi meja rias. Menatap bayanganku sendiri yang dipantulkan oleh kacanya. Oh, yang benar saja?! Apakah aku memang harus berpikir keras atas kejadian mengejutkan yang baru kualami tadi? Baiklah, aku menyerah. Akan kupikirkan lagi. Kenapa bukan bayangan hitam yang kulihat di dapur? Kenapa Kak Asoka? Hanya ada satu kemungkinan jika ini terjadi ... apa jangan-jangan, bayangan hitam itu sebenarnya adalah Kak Asoka? Tidak tidak. Aku langsung menggelengkan kepala. Bagaimana pun, bayangan hitam itu tidak mungkin Asoka Ranggaswara. Meski dilihat dari segi fisik mereka mirip, tidak mungkin Kak Asoka yang kutahu pasti adalah orang biasa sepertiku mengikutiku selama ini. Bahkan sampai ke Surabaya dan Kediri segala. Itu sangat kurang kerjaan namanya. Suara dan pegangan tangan mereka bisa saja terasa sama. Namun, tidak mungkin Kak Asoka adalah bayangan hitam. Kak Asoka tidak mungkin mengikutiku. Karena untuk apa? Orang biasa sepertinya juga tidak mungkin bisa muncul di mana-mana, menghilang, atau bahkan memiliki kekuatan super seperti bayangan hitam. Dan lagi pula, saat aku diserang dan melihat bayangan hitam itu tadi, Kak Asoka jelas-jelas ada di rumah ini bersama Kak Rama, kan?! Kuseruput cairan teh dalam gelasku lagi. Sangat nikmat. Harum aroma chamomile terasa begitu menenangkan saat terhirup hidung. Beban di kepala langsung terasa berkurang karenanya. Aku jadi merasa lebih baik. Kak Asoka ... dia tidak mungkin bayangan hitam. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD