Dear diary,
Beberapa hari ini aku merasa aneh. Ada seseorang yang mengikuti ke mana pun aku pergi. Saat pulang sekolah, berangkatnya, pergi kerja, pulang kerja, bahkan saat mau tidur.
Aku merasa ada seseorang yang mengawasiku!
Ke mana pun aku selalu melihatnya---tidak secara langsung, tapi aku bisa merasakan keberadaannya.
Dia ... Sosok hitam itu .... Dia ada di mana-mana. Bahkan aku juga malihatnya dalam mimpiku.
Siapa dia aku tidak tahu. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Sampai sekarang aku bahkan tidak tahu bagaimana wajahnya. Tapi jika dari postur dan tinggi badannya, aku yakin dia pasti seorang laki-laki.
Aku kurang yakin mengatakan ini, tapi aku merasa pernah melihatnya sebelumnya. Entah kapan dan di mana. Aku merasa sosok serba hitam itu tidak asing buatku. Dan ini memang terdengar gila, tapi nyatanya, hati kecilku berkata kalau aku mengenalnya.
Entah siapa, kapan, dan di mana.
***
Jam sembilan malam. Udara terasa semakin dingin.
Sendirian, aku melangkah menyusuri jalan. Tidak seperti biasanya, jalan yang biasa membawaku pulang ini tampak sepi. Hampir tidak ada satu kendaraan pun yang melintas.
Ke mana semua orang? Aku juga tidak menemukan seorang pun saat menatap sekeliling. Bahkan Pak Joko dan Pak Adi, petugas hansip yang biasa jaga malam setiap hari juga tidak terlihat saat aku melewati posnya tadi.
Aneh. Ini belum terlalu malam, bukan? Kenapa tidak ada seorang pun di luar? Ke mana mereka? Apa semua sudah tidur?
Akhir-akhir ini udara memang terasa sangat dingin. Mungkin orang-orang malas keluar karenanya. Aku yang sekarang sedang memakai jaket juga masih merasa kedinginan.
Drtt ... Drtt ....
Kurasakan ponsel yang kusimpan di saku jaket bergetar. Segera, kukeluarkan benda pipih itu.
Ada tiga pesan masuk.
Kak Rama:
Dek, beliin kakak nasi goreng 5 ya! Temen kuliahku main ke rumah nih. Pake uang kamu dulu nanti kakak ganti.
Yang 4 pedes terus yang satu biasa aja buat kamu. Kamu gak suka pedes kan?!
Sama sekalian 2 bungkus krupuk, jangan lupa!
Ternyata dari Kak Rama.
Larasati Sinta:
Iya, Kak.
Ketikku cepat membalasnya.
Cepat aku memutar langkah kembali ke jalan utama untuk mencari tukang nasi goreng.
Berbeda dengan jalan pulang ke rumah tadi. Suasana yang tadinya begitu sunyi mendadak dipenuhi ingar-bingar orang dan kendaraan. Aku baru bisa pergi ke seberang jalan setelah lampu merah di pertigaan jalan yang berjarak tiga puluh meter dari tempatku berdiri menyala. Padahal, sedari tadi aku sudah berdiri di pinggir zebra cross, tapi tetap saja, tidak ada kendaraan yang berbaik hati membiarkanku menyeberang dulu sebelum lampu merah itu menyala---seperti biasanya.
"Mbak, tolong nasi goreng bungkus lima, ya! Yang empat pedes, yang satu biasa aja. Sama krupuk dua bungkus. Cepet ya, Mbak!" kataku pada seorang penjual setelah lama mengantre di salah satu kedai nasi goreng yang kuhampiri.
Berdiri, aku menunggu pesanan milik Kak Rama itu disiapkan karena dari awal memang tidak ada tempat duduk yang kosong.
Kedai ini ramai. Selain aku, pembeli lain juga banyak yang berdiri sepertiku. Menunggu pesanan nasi gorengnya masing-masing.
Setelah sekitar lima belas menit menunggu, pesananku pun selesai.
"Berapa?" tanyaku menerima kresek berisi pesanan.
"Nasi goreng lima sama krupuk dua bungkus. Semua jadinya delapan puluh lima ribu."
Aku mengeluarkan tiga lembar uang dua puluh ribu, dua lembar uang sepuluh ribu, dan selembar uang lima ribu dari dompet kemudian memberikannya pada mbak-mbak penjual.
"Makasih ya, Mbak."
"Sama-sama."
Dengan beberapa bungkus nasi goreng dan krupuk di tangan, aku kembali berjalan pulang.
Aneh. Jalanan yang ramai tadi ikut sepi. Padahal tadinya jalan ini masih ramai saat aku kembali melewatinya untuk membelikan Kak Rama nasi goreng.
Jalan sepi yang tadi kulewati seharusnya masih sekitar seratus meter di depan sana. Bagaimana bisa setelah dua puluh lima menit saja jalan ini menjadi sesepi ini? Lagi pula, jalan ini hanya sekitar dua puluh meter dari jalan utama tadi. Toko-toko di sekitar juga masih buka. Kenapa jalannya sekarang sepi?
Aku berakhir mengedikkan bahu masa bodoh dan kembali melangkah.
Wush ....
Angin yang cukup kencang tiba-tiba menerpa tubuhku dari depan.
Sepersekian detik aku menutup mata merasakan udaranya. Semakin dingin saja.
Tidak mau menggigil karena berhenti lama-lama, aku kembali mengayunkan kaki yang sempat terhenti.
Rumahku ada di depan. Mungkin sekitar seratus langkah dari sini tepat setelah sebuah belokan di pertigaan jalan di depanku.
Wush ....
Baru beberapa langkah berjalan, lagi-lagi angin yang cukup kencang menerpa tubuhku. Kali ini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Lalu dari belakang, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki tak jauh dari posisiku.
Set!
Secepat mungkin aku menoleh. Namun, tidak ada siapa-siapa. Padahal aku yakin sekali kalau tadi itu dia.
Ya, dia. Sosok serba hitam yang beberapa hari ini mengikutiku ke mana-mana. Bayangan Hitam.
Seharian ini sosok itu memang tidak muncul. Aku sempat mengira kalau dia sudah berhenti mengikutiku, tapi nyatanya, aku salah. Dia ada di sini, di dekatku, masih sekitar tempat ini.
Aku menajamkan telinga sembari terus berjalan. Tidak lama, suara langkah kaki di belakang kembali terdengar.
Itu dia. Dia di sana.
Langkahnya yang samar entah bagaimana terdengar semakin jelas di telingaku. Tanpa menoleh, kurasakan orang itu memang ada di belakangku.
Aku menahan napas karena merasakan kehadirannya yang memang dan terasa nyata.
Di sana ... dia ada.
Tepat sebelum belok kanan di pertigaan jalan menuju rumah, kuputuskan untuk menoleh cepat.
Cuat!
Sekelebat bayangan yang biasa kulihat mengikutiku melesat dengan cepat ke atas.
Seorang sosok berjubah hitam dengan tudung di kepala yang kemudian menghilang setelahnya. Bak ditelan udara.
Aku berlari ke arahnya berdiri tadi sambil terus melongok ke atas, berharap bisa menemukannya. Namun, dia memang sudah tidak terlihat lagi. Hanya ada atap-atap rumah yang temaram karena pias lampu jalan yang tampak di mataku.
Sudah sejauh ini, aku tidak bisa terima jika aku kembali kehilangan jejaknya lagi.
"Bayangan hitam!"
Kuputuskan untuk berteriak kencang memanggilnya.
"Siapa lo?"
Pandangan mataku mengarah ke atas tempat bayangan itu menghilangkan wujudnya.
"Keluar! Jangan jadi pengecut!"
Dengan suara yang masih tetap keras, aku kembali berteriak, berharap bayangan hitam menampakkan diri setelah dia mendengarnya.
"Siapa pun elo." Aku mengambil napas. "Tunjukkin diri sekarang! Kenapa lo selalu ngikutin gue? Kenapa?"
Aku mengepalkan kedua tangan. Membuat pegangan tangan kiriku pada bungkusan nasi goreng milik Kak Rama semakin erat.
Sampai satu menit, tidak ada jawaban. Namun, di sisi lain aku masih bisa merasakan pengawasan dari sosok itu. Aku bisa merasakan kalau dia masih berada di dekatku.
Huh. Apa dia memang ingin mempermainkanku?
"Oke." Aku berujar keras sembari menghela napas. "Kalau lo emang nggak mau muncul di depan gue, berhenti ngikutin gue! Gue nggak peduli sama apa pun permainan yang lagi lo mainin siapa pun lo. Tapi please, jangan ajak gue untuk memainkan permainan konyol itu! Ini sama sekali nggak lucu."
Hanya tercipta hening.
Satu menit kemudian masih tidak ada jawaban juga.
Bayangan hitam itu sepertinya memang tidak mau keluar menunjukkan dirinya.
Menghela napas, aku kembali menyapu langit. Sosok itu benar-benar tidak menunjukkan tanda-tanda keberadaannya meski di sisi lain aku masih merasakan kehadirannya.
Yang terlihat hanya beberapa bintang yang berkilau di atas langit dan sebuah bulan yang bersinar malu-malu dengan cahayanya di balik gumpalan awan.
Drtt ... Drtt ....
Ponsel yang bergetar halus di saku jaket menyedot atensiku kembali. Aku mengeluarkannya dan mendapati Kak Rama mengirimiku pesan lagi.
Kak Rama:
Dek, kamu di mana? Kakak sama temen-temen udah laper banget nih. Cepetan ya!
Aku langsung menepuk jidadku sendiri setelah membacanya. Gara-gara bayangan hitam itu, aku sampai lupa kalau Kak Rama di rumah sedang kelaparan menungguku.
Secepat mungkin aku pun segera mengayunkan langkahku berlari pulang.
Wush ....
Baru beberapa ayunan, lagi-lagi angin yang cukup kencang menerpa tubuhku. Kali ini dari belakang. Dan anehnya, hawanya terasa panas.
Aku memutuskan berhenti untuk berbalik dan melihat ke belakang.
"Astaga." Mataku langsung membola melihat sesosok hitam besar berdiri di sana. Api berwarna merah tampak menyala di kedua tangannya.
Aku tidak bisa melihat wajahnya karena sosok hitam besar itu berdiri membelakangi sorot cahaya dari lampu. Namun aku tahu, dia bukan bayangan hitam yang biasanya mengikutiku. Matanya menyala merah seperti api yang ada di tangannya.
Aku pun langsung menganga saat sosok itu mengacungkan salah satu tangan apinya ke udara, seolah hendak melemparkan apinya itu ke arahku.
Panik, aku ingin segera berlari setelah melimelihat apa yang dia lakukan. Namun, kedua kakiku mendadak terasa kaku dan tidak bisa digerakkan.
Aku kembali menatapnya dan mendapati sosok itu yang terlihat sudah mau menyerangku dengan nyala panas di tangannya.
Aku tidak siap, tapi yang bisa kulakukan akhirnya hanya berusaha mengumpulkan keberanianku. Aku tidak boleh takut meski mungkin aku akan hangus terbakar setelah ini.
Sepertinya aku akan mati.
Set!
Dengan gerakan yang sangat cepat dan tiba-tiba, bayangan hitam muncul di sampingku, kemudian dengan kecepatan cahaya, ia menarikku ke sisinya lalu membuatku berdiri di belakangnya.
Dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan kedua tangan bayangan hitam terangkat ke depan seolah sedang menahan udara. Lalu saat sosok besar yang berdiri di seberang kami melemparkan apinya, cahaya berwarna biru keperakan yang menyerupai perisai tercipta di depan kami dari tangan bayangan hitam dan memusnahkan api itu.
Aku menelan ludahku dan terbelalak menyaksikan peristiwa tidak masuk akal itu.
Mereka, bayangan hitam yang selalu mengikutiku dan sosok hitam besar yang baru muncul di depanku itu, keduanya menggunakan kekuatan anehnya di depanku.
"LARI, CITRA! LARI!"
Aku langsung tersentak saat sebuah suara tiba-tiba teredam di kepala.
Bayangan hitam yang ada di depanku menoleh, kemudian secara ajaib, aku mendengar suara itu tercipta lagi di kepalaku untuk kedua kali.
"CEPAT PERGI!"
Suara itu terdengar jelas.
Bersambung