"Ras. Lo beneran pacaran sama Erland?" tanya Alina untuk ke sekian kali.
Persis seperti kemarin setelah aku turun dari motor Erland saat berangkat sekolah dan setelah belanja bersama cowok itu. Dan kali ini tidak seheboh kemarin, lebih seperti ... mencoba memastikan lagi.
Aku berhenti untuk menatapnya. Tidak lama aku kemudian mengangguk malas---untuk ke sekian kalinya---mengiyakan.
Sebenarnya aku mau saja mengatakan apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan sepupu berwajah kartunnya Alina itu, tapi sayangnya aku sudah membuat perjanjian dengan Erland kalau aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya kepada siapa-siapa. Termasuk kepada ketiga sahabatku ini ataupun salah satunya.
"Seriusan lo, Ras?"
Kali ini Karina menepuk bahuku, heboh seperti kemarin. Tidak lupa matanya yang bundar berubah dalam mode pelototan.
"Ya, gitu deh." Aku memilih mengedikkan bahu.
"Tapi, gue kok ngerasa ada yang aneh, ya?" Gini menyeletuk menatapku. Ia sudah memutar kursinya menghadapku sejak tadi pagi. Tidak jauh dari Karina, ia juga menampakkan tatapan penuh selidiknya.
"Maksud lo?"
Bukan aku, tapi Karinalah yang mengatakan itu. Mereka pasti sudah berkomplot sebelumnya. Aku seratus persen yakin.
"Ya, aneh aja, Rin. Lo tahu kan Erland itu orangnya gimana?!" Gini menatap Karina.
"Maaf ya, Ras, sebelumnya." Gini beralih menatapku. "Lo tahu kan Erland itu lama banget pacaran sama Oktavia? Terlepas dari lo yang nggak terlalu suka gaul sama anak-anak lain di sekolah." Gini berhenti, menyilakan rambutnya yang menjuntai di depan ke belakang telinga. "Terus, tiba-tiba, seminggu lalu Erland sama Oktavia putus dengan kabar populer yang mengatakan kalau cewek itu udah nggak suka sama Erland dan menyukai cowok lain."
"Iya." Karina mengiyakan. "Semua orang juga tahu Erland itu salah satu cowok most wanted di sekolah. Rajanya malah. Dan sampai di sekolahan lain yang ada di sekitar sekolah kita pun, banyak cewek yang suka dan ngebet buat ngejar-ngejar Erland. Tapi selama ini Erland selalu biasa ke mereka dan mengatakan kalau dia udah punya Oktavia di sisinya. Dari hal itu, orang-orang banyak yang mengambil kesimpulan kalau Erland udah cinta mati sama Oktavia. Nggak peduli secantik apa cewek lain yang terang-terangan nyatain perasaannya ke dia. Jadi, sama kayak Gini, gue juga berpikir kalau aneh setelah putus dari Oktavia semudah ini dia macarin lo, Ras."
Karina menjeda.
"Lo yakin, Erland tulus sama lo?" tanyanya. "Gimana perasaan lo kalau seandainya Erland belum move on dari mantannya? Apalagi, dengan fakta kalau ini adalah pengalaman lo pacaran yang pertama, Ras! Gue nggak mau lo cuma dijadiin pelarian dan disakiti."
Karina menarik napas setelah menyelesaikan kalimat panjangnya yang melebihi rel kereta itu.
"Iya, terus?" kataku menghela napas.
Sungguh, aku tidak tahu harus mengatakan apa dan bereaksi yang bagaimana setelah mendengar semua kata-kata Gini dan Karina.
Alasannya jelas, aku dan Erland hanya berpura-pura. Bagaimana perasaannya bukan sesuatu yang harus menjadi urusanku. Lagi pula, jika benar Erland menyukai Oktavia dengan tingkatan 'cinta mati'-nya, semua tidak akan berpengaruh apa-apa untukku. Aku hanya pacar palsu dan Erland hanya orang asing di kehidupanku.
Dia ... bukanlah seseorang yang berpotensi untuk menyakitiku dan hatiku.
"Ya, lo hati-hati lah, Ras! Gue bicara seperti ini bukan karena gue dulu orang yang pernah suka sama Erland, tapi sebagai sahabat lo. Gue beneran takut kalau Erland cuma mainin lo." Karina menghela napas.
"Yang dibilang sama Karina bener," sahut Gini. "Nggak tahu kenapa gue juga merasa kalau Erland itu sebenarnya masih suka sama Oktavia. Semua orang tahu bagaimana hubungan mereka selama ini. Jadi, lo mesti hati-hati kalau nggak mau ngalemin yang namanya sakit hati, Ras. Iya kan, Lin?" Gini tiba-tiba menyenggol lengan Alina yang duduk di sebelahnya. "Bengong aja!" katanya sebelum tertawa. Mungkin, berusaha memecah ketegangan suasana.
Alina yang disenggol hanya melirik Gini sebentar sebelum kembali lurus menatapku. Ia masih diam tak bersuara dengan tatapan seriusnya.
"Pasti ada apa-apanya," gumam Karina lirih kemudian. "Beneran, Ras. Lo harus hati-hati!" Karina menambahi. Wajahnya masih begitu serius seperti tadi.
"Dan, Ras, kalau ada apa-apa, jangan lupa ngomong ke kita, ya!" Gini kembali bersuara. Sebentar, gadis itu menatap Karina dan Alina.
Mataku yang mengikutinya juga melihat bagaimana Karina dan Alina yang menganggukkan kepala.
"Iya," kataku akhirnya mengiyakan. Tanpa anggukan dan hatiku bergetar.
Itu yang sebenarnya kuinginkan. Menceritakan yang sebenarnya kepada mereka. Jika aku dan Erland, kami hanya pacar pura-pura.
Cklek!
Tiba-tiba terdengar suara kuakan dari arah pintu.
"Selamat pagi."
Lalu disusul suara renyah Bu Monic, guru Matematika Peminatan yang memiliki jam pagi ini.
Semua pun langsung kembali ke bangkunya masing-masing. Alina yang tidak mengubah posisi kursinya tinggal memutar tubuh sedangkan Gini harus cepat-cepat berbalik mengembalikan kursi dan duduk kembali.
Kulihat di sampungku Karina yang sudah mengeluarkan buku. Untuk beberapa saat aku memejamkan mataku sebelum ikut mengeluarkan buku milikku.
Semuanya ... pasti akan baik-baik saja.
***
"Lo nggak ngantin?" tanya Karina yang baru bangkit dari kursi.
Alina dan Gini sudah berdiri di ambang pintu menunggu kami.
Aku yang masih berkutat dengan PR yang tadi diberikan Bu Monic kemudian mengangkat kepala untuk menatapnya.
Tugas-tugas sekolah, aku jarang sekali mengerjakannya di rumah. Tidak peduli meski PR adalah akronimnya 'Tugas Rumah', asal aku bisa langsung mengerjakan pasti langsung kukerjakan.
Bukan karena malas. Seringnya adalah karena tidak punya cukup waktu. Jadi kalau ada tugas dan aku merasa langsung bisa, maka pasti akan kukerjakan di kelas seperti ini. Dan jika lebih bersemangat, aku akan pergi ke perpustakaan dan mengerjakan tugasku di sana.
"Gimana? Ke kantin nggak?"
Itu suara Alina. Aku segera menoleh ke arahnya.
Tugasku sebenarnya tinggal beberapa. Tersisa dua nomor. Tapi jika dipikirkan lagi kasihan ketiga temanku jika harus lama menungguku. Tahu sendiri mengerjakan tugas Matematika membutuhkan waktu yang cukup lama, karena meski sedikit soalnya, maka jawabannya akan memakan habis satu lembar halaman buku jika soal itu sudah menyangkut angka-angka yang beranak pinak dengan operasinya.
Pertimbangan lain, perut sahabat yang menjadi teman satu bangkuku Karina tadi sudah terdengar keroncongan. Kasihan.
Seperti biasa, cewek itu akan kurang asupan saat mata pelajaran yang melibatkan perhitungan. Sebut saja Fisika, Kimia, dan Matematika. Semuanya termasuk pelajaran wajib bagi siswa jurusan IPA seperti kami.
"Emm, kalian duluan aja deh, gue nanti nyusul!" kataku akhirnya.
"Oh, gitu. Ya udah, duluan ya, Ras!" Alina melambaikan tangan.
"Iya." Aku pun manggut-manggut balas melambai.
"Eh, lo mau gue pesenin bakso nggak?" Karina yang kakinya sudah mencapai pintu keluar menolehkan kepalanya sebentar padaku.
Aku langsung tersenyum. Seperti sahabatku yang lain, Karina juga tahu makanan favoritku di kantin sekolah.
Aku tersenyum karena perhatiannya. Padahal cewek itu jelas sangat kelaparan, tapi sempat saja dia memikirkanku. Dan makanan favoritku, bukan bakso saja sebenarnya, hanya saja aku memang suka memesan makanan satu itu saat di kantin. Harganya lebih murah dan cepat mengenyangkan. Jika bukan bakso, maka mie ayamlah yang kujadikan pilihan.
Karina yang berdiri di depan pintu mengangkat dagunya sebagai repeat atas pertanyaan tadi.
Aku segera mengangguk sebelum melanjutkan kegiatan awalku mengoperasikan angka-angka yang ada di buku.
Setelah beberapa waktu terlewat, kini hanya tersisa satu nomor lagi.
Baru saja tanganku menggoreskan pensil di genggaman, pensil itu menghasilkan bunyi 'klak' karena ujung runcingnya yang patah. Aku menghela napas sebelum meraih kotak pensil untuk mengambil peraut.
Cek!
Saat itu, sebuah tangan besar tiba-tiba mencekal lenganku.
Aku langsung menengokkan kepala ke samping mejaku dan mendongak. Mataku pun membelalak.
"Eh, elo?! Ngapain?" terkejutku melihat sosok yang baru muncul dan berdiri di sampingku.
Bersambung