"Eh, elo?! Ngapain?"
Tanpa menjawab pertanyaanku, pemilik tangan itu kemudian menarikku berdiri.
Aku tidak sempat merapikan mejaku dengan buku dan kertas-kertas coretan yang berserakan di atasnya saat si pemilik tangan besar itu membawaku keluar dari kelas.
Dan ya, just for your information, pemilik tangan itu adalah pacar pura-puraku, siapa lagi kalau bukan Erland Altair Januar.
Di koridor luar, mataku menemukan teman-teman Erland yang sedang menyandar di tembok membentuk barisan.
Astaga. Apakah sekarang Erland mau benar-benar menculikku karena pesannya yang semalam tidak kubalas?
Bukannya jadi salahnya men-chat anak gadis orang di tengah malam sedangkan ponsel milikku sudah lebih dulu kumatikan?
Membawa pasukan pula?
Dan pagi tadi, mana mungkin aku membalas chat tidak jelasnya yang aku sangat ingat bagaimana tertulisnya.
Erland Altair Januar
Good night, Love. Sleep tight and sweet dreams.
Aku bahkan mau muntah saat membaca pesan yang kuyakini salah kirim itu.
Iya, salah kirim. Karena sedetik setelah pesan itu k****a tiba-tiba pesan itu dihapus oleh si empunya. Hanya pesan yang ada di bawahnya yang kemudian tersisa.
Erland Altair Januar
Jangan lupa misi kita besok
Aku menghela napas lirih sebelum menatap Erland.
"Ada apa?" tanyaku.
Di hadapanku tiga orang cowok menatapku dengan tangan Erland yang masih menetap di lenganku.
Ketiganya tak berkedip dengan sorot beragam yang membuaatku merasa risih. Ada yang menatap dengan sorot menyelidik salah satunya, entah kenapa.
Aku pun langsung merasa tidak nyaman. Alasannya ketiga cowok yang bisa kusebut gerombolan atau bisa juga komplotan ini tidak kukenal. Dan mereka semua sejenis dengan orang yang menarikku kini, cowok yang kutahu pasti sama populernya seperti Erland di sekolahan ini.
Kudengar, semua cowok yang bergabung bersama geng Erland adalah manusia yang satu jenis dengannya. Tampan, kaya di atas rata-rata, dan memiliki banyak penggemar.
Dari dua kalimat yang k****a setelah susah payah memanjat tumpukan chat yang ada di grup kelas itu, dua kata yang perlu kugaris bawahi. Cowok dan populer. Dan dari dua kata itu hanya satu yang membuatku benar-benar kehilangan yang namanya rasa nyaman. Mereka semua cowok.
C O, co. W O, wo. K. Cowok.
Okelah, kakakku memang juga laki-laki. Bahkan ketiga temannya yang suka main di rumah kami juga laki-laki seperti orang-orang ini. Aku sendiri pun juga terbiasa berinteraksi dengan mereka. Para pelanggan di toko Bu Sari, juga banyak yang sejenis mereka. Masalahnya hanya pada sikon---situasi dan kondisinya.
Mereka, teman-teman Erland ini, adalah jenis siswa sekolah ini yang selama ini kuhindari. Mereka juga bukan orang yang biasa mau kukenal tentu saja. Fakta lainnya, aku tidak nyaman berada di sekitar banyak laki-laki yang jelas-jelas asing dan tak kusuka.
"Cantik juga cewek lo, Land!"
Seseorang yang tentu saja tidak kukenal dan sepertinya belum pernah kulihat bersuara.
Kurasa, aku baru melihatnya karena kemarin ia tidak terlihat di antara Erland dan gerombolannya.
"Kenalin, gue Devan." Cowok itu mengulurkan tangan sembari tersenyum.
Aku kemudian hanya tercenung melihat tangan besar itu. Terulur tepat di depanku.
Masih bingung mengambil keputusan untuk menerima uluran tangan itu atau tidak, Erland tiba-tiba menepis tangan itu kasar. Ekspresi tidak suka terlihat jelas di wajahnya saat aku berpaling melihatnya.
"Mau mati lo?!" kata Erland terdengar santai namun sarat ancaman secara bersamaan.
"He he."
Cowok yang tadi memperkenalkan diri bernama Devan terkekeh dengan tangan yang menyilakan surau rambutnya.
Satu detik, tangan itu kemudian beralih menggaruk belakang kepalanya yang aku yakin sedang tidak gatal.
Jika diperhatikan, cowok bernama Devan ini cukup tampan. Kulitnya putih dengan wajah yang bersih. Dia juga tidak kalah tinggi jika dibandingkan Erland. Bahkan, wajah Devan juga terlihat lebih ramah dengan senyuman bersahabatnya.
Ya, memang meski dilihat dari sisi manapun Erland lebih unggul, tapi tetap saja roman mukanya tidak semenyenangkan Devan. Erland orang yang pelit tersenyum. Vonisku, dia memang kurang bisa tersenyum.
"Ayo!" Erland kemudian menarik tanganku yang digenggamnya.
Aku pun mencoba menahan tubuh agar tidak bergerak, mematung di tempat dengan alis yang naik sebelah menatap cowok itu.
"Ayo ikut!" kata Erland menukas lagi.
Tidak mendapat respons dariku, Erland kemudian memeluk pinggangku.
Aku terkesiap dibuatnya dan segera melepaskan diri.
"Apaan sih? Gue masih ada kerjaan di kelas," kataku kemudian melihat ke sepatu branded-ku yang kemarin dibelikannya. Tanganku meremas ujung rok seragam yang kukenakan. Kaget dan gugup bercampur jadi satu entah kenapa.
Tanpa lebih lama menunggu jawaban Erland, aku kemudian berbalik melangkah masuk kelas. Namun belum sepenuhnya tubuhku melewati pintu, lagi-lagi sebuah tangan menarikku.
Siapa lagi kalau Erland yang melakukannya.
"Bentar dong. Itu, buku gue masih berantakan di meja!" rutukku.
Erland tidak menggubrisnya. Retinaku malah menangkap wajah tak terbacanya yang tampak datar.
"Gue bilang ikut, ya ikut! Gue nggak suka penolakan. Sekarang lo harus ikut gue!" Erland menatap dalam dengan manik yang mengintimidasi.
Aku memilih diam. Sorot mata itu seolah memaksaku untuk bungkam. Aku mengangguk lemah sebelum akhirnya cowok itu menautkan jemari kami jadi satu dan mengajakku melangkah pergi.
Aku menghela napas. Merasa sedikit lega karena koridor sepanjang kelas tampak sepi. Jadi, untuk saat ini tidak ada yang melihat adegan memuakkan tadi. Setidaknya, fangirl fanatik Erland tidak harus mencela dan menghinaku seperti kemarin dan tadi pagi dengan mengataiku gadis centil ataupun melayangkan lirikan maupun kata-kata nyinyir mereka secara langsung, di belakang maupun lewat chat teror dan sebagainya.
"Kita mau ke mana?" Aku yang bersuara.
"Ke mana lagi sih? Ya ke kantin lah, kakak ipar manis."
Bukan suara Erland. Sahutan itu berasal dari Devan yang berjalan di belakang kami. Erland kemudian menoleh dan meliriknya tajam.
Lagi-lagi aku hanya terdiam.
Langkahku sudah semakin dekat ke kantin.
Sabar. Aku tahu itulah yang harus kupraktikkan sebentar lagi.
Belum sampai kantin, kudapati puluhan mata sudah menatap ke arahku. Cewek dan cowok. Aku pun langsung mempersiapkan diri untuk menulikan telinga. Toh, kata-kata yang akan mereka lontarkan unfaedah saja nantinya.
"Citra."
Namun, tiba-tiba sebuah suara teredam di kepalaku.
Aku pun langsung menoleh cepat ke asal suara dan menemukan sosoknya berkelebat cepat di udara.
Itu dia. Bayangan hitam.
"Ada apa?" Erland mendekatkan wajah ke arahku. Kepalanya menunduk ke wajahku dengan mata menelisik yang berjarak hanya beberapa senti dariku. Cowok itu mencoba menatap retinaku.
Sebentar, aku turut melihat ke dalam matanya. Ada tatapan penasaran di sana.
Aku pun memalingkan muka dan mundur beberapa langkah karena sadar akan situasi aneh yang baru saja terjadi.
Erland yang tampak sama terkejutnya kemudian melakukan hal yang sama.
Melebarkan kedua mata, kulihat ada kecanggungan juga yang menyelimutinya.
Aku pun segera menggelengkan kepala sembari menjawab pertanyaannya, "Nggak ada apa-apa," bohongku mencoba tersenyum.
Bersambung