Noktah di Toilet

1064 Words
Affandi menaikkan sebelah alisnya. Ia melipat dahinya, meragukan apa yang Amanda bilang. Mana ada setan di siang bolong begini. "Maksudnya gimana sih, Mand? Coba ceritain." bujuk Affandi yang terlanjur ingin tahu apa penyebab Amanda sampai nafasnya terengah-engah. Amanda menatap ragu Affandi. Tepatkah ia bercerita pada pria yang kini mendaratkan abaimana di atas sofa. Pasalnya, selama ini apapun yang Amanda alami, pastilah Yogi yang menjadi orang pertama, bukan ibunya apalagi temannya yang lain. Sejenak, Amanda menghela nafasnya. Bersiap mengutarakan semuanya. "Jadi," Amanda meremas-remas bajunya. Takut jika Affandi emosi mendengar penuturannya. "Gimana, Mand?" sahut Affandi cepat. Sepertinya level keingintahuan lelaki eksekutif muda itu meningkat drastis. Melihat gelagat Amanda yang begitu berbeda. "Jadi begini. Ehm tadi sewaktu aku mau pulang, di kaca depan mobil ada tulisan bertinta merah. Aku pikir itu 'kan darah, ternyata lipstick. Makanya aku sampai terlambat datang ke sini." urai Amanda panjang kali lebar. Seperti kereta api antar provinsi panjangnya. "Aku gak enak kalau sampai mas Affandi aja yang ada di sini. Masa iya sih yang gak ada hubungan saudara sama mama justru standby di sini sementara aku yang anaknya malah asyik bekerja. 'Kan gak etis aja gitu," imbuh Amanda yang tak kalah panjangnya dari omongannya tadi. Lagi, Affandi mengernyitkan dahinya setelah mendengar paparan Amanda. Benarkah hanya karena hal sepele membuat Amanda lari setengah ketakutan. "Yakin hanya soal itu saja? Lantas kalau boleh tahu bunyi tulisannya kek gimana? Ya rasanya gak wajar dong kalau—" tuturan Affandi terputus kala suara perempuan berbaju layaknya tenaga medis terdengar. Mendistraksi sejenak diskusi ringan antara Amanda dengan Affandi. "Maaf mengganggu waktunya, Pak Affandi. Ini berkas-berkas yang harus bapak tanda tangani." perawat itu menyodorkan berkas bermap dengan logo rumah sakit tempat Afida dirawat. "Oke. Terima kasih ya, Lis. Nanti kalau sudah selesai, segera aku konfirmasi," sahut Affandi cepat seraya memberi kode perawat itu untuk segera beranjak. Begitu tumpukan berkas itu diterima, Affandi cepat-cepat meletakkan tumpukan berkas itu di dalam tas ranselnya berwarna hitam. Ia sengaja membalik sisi permukaan map itu agar logo rumah sakit tempatnya ia bekerja tidak terbaca oleh Amanda. Namun rupanya tindakan Affandi kalah cepat. Tanpa sepengetahuannya, Amanda telah memperhatikan lambang rumah sakit itu ketika Affandi berserah terima map berisi dokumen penting itu. Lobus frontalnya merekognisi lambang itu dan akhirnya membuat kesimpulan bahwa Affandi memang bekerja di situ. "Oh pantas saja mas Affandi santai banget jagain mama. Ternyata dia kerja di sini toh." monolog Amanda seraya menatap backpack milik Affandi. Saking khusyuknya pikirannya berkelana, Amanda tidak kunjung merespons perkataan Affandi. Perempuan itu juga tidak bergeming ketika Affandi sengaja menggerakkan telapak tangannya di depan Amanda. Hingga akhirnya suara berat dokter tampan yang dinanti Amanda, bergaung juga. Membuyarkan lamunan dara berparas ayu itu. Di dalam ruangan bercat putih itu, terjadi dialog ringan antara dokter spesialis dan dua anak adam yang baru saja mengenal satu sama lain. "Kondisi nyonya Afida sejauh ini sudah semakin baik. Sudah ada kemajuan. Jadi mulai hari ini bisa dilakukan perawatan di rumah." tanpa diduga, kehadiran dokter itu memberi kabar gembira. "Hanya saja, tolong jaga beliau dari hal-hal yang membuatnya berpikir yang berat-berat. Karena bisa saja membuat penyakit nyonya Afida kambuh," imbuh dokter itu yang diamini oleh Amanda dan Affandi. "Baik, terima kasih pak dokter atas anjurannya. Kami berjanji akan senantiasa menjaga nyonya Afida sebaik-baiknya," timpal Affandi yang berhasil membuat Amanda diam terpaku. Lobus frontalnya berusaha mencerna barisan kata yang keluar dari bibir Affandi. Memikirkan sebuah kata yang singkat namun berhasil membuat Amanda mengernyitkan dahi. Kami? Lah gak salah Affandi menyebut dirinya dan Amanda dengan sebutan kami? Apa maksudnya coba? Pertanyaan itu masih berputar sesuka hati di benak Amanda. Hingga dokter itu berjalan meninggalkan ruang perawatan Afida, posisi Amanda belum berubah juga. Obyek tatapannya pun tidak berubah. Sikap yang baru saja Amanda tunjukkan nyatanya memantik keberanian Affandi untuk melakukan hal yang jarang ia lakukan. Tidak ada cara lainnya selain menyentil bahu Amanda. Agar Manda segera tersadar dari lamunannya. "Kamu memikirkan apa lagi? Masih tulisan tadi? Atau kata kami yang baru saja kamu dengar?" tanya Affandi seraya menepuk bahu Amanda untuk kedua kalinya. "Tenang aja, aku gak ada maksud apa-apa kok. Ya masa di hadapan dokter aku bilang saya saudaranya dan perempuan ini putrinya akan menjaga nyonya Afida bla bla bla. Terlalu panjang dong, Mand bilangnya," tutur Affandi yang membuat Amanda tenang. Meyakini jika lelaki yang saat ini bersamanya bukanlah tukang modus. Amanda menganggukkan kepalanya. Saat ini, ia lebih memilih berhenti untuk berpikiran berlebihan. Yah karena sepertinya otaknya sudah kelelahan terlebih dahulu menghadapi kejadian misterius yang baru saja ia hadapi. "Mama, makan dulu yah. Biar Manda suapin." Amanda meraih sepaket ransum makanan. Ia mulai menuangkan sedikit nasi ke dalam piring. Lalu diguyur nya secentong nasi dengan sayur favorit Afida. "Nih, enak banget menunya, Ma." perempuan yang belum sempat berganti kostum itu sengaja memperlihatkan menu ransum senja itu. Ia ingin agar mamanya tergerak untuk makan sedikit demi sedikit. "Mama maunya disuapin nak Affandi aja," ucap manja Afida yang disambut tatapan heran oleh Amanda. Sejak kapan ibunya akrab dengan Affandi? Apakah selama ia tinggal bekerja, Affandi mulai bertingkah demi menggaet hati Afida? Amanda menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau pikiran negatifnya memberi kekeruhan pada hubungan pertemanannya dengan Affandi yang baru seumur jagung. "Oh, tapi 'kan ada Amanda di sini, Ma. Kemarin-kemarin mas Fandi suapin mama karena memang Manda lagi bekerja," tutur lembut Amanda, berusaha membujuk Afida agar bersedia ia suapi. Tepat pada saat perdebatan receh itu berlangsung, sesosok pemuda pemilik nama Yogi tengah berdiri di depan pintu ruang perawatan Afida. Ia menatap nanar gambaran yang ia saksikan. Betapa harmonisnya hubungan antara Afida, Manda dan Afida. Affandi yang kebetulan menoleh ke arah pintu, spontan mempersilakan Yogi masuk ke dalam kamar Afida. Lelaki itu pun mencoba menengahi pertikaian antara Amanda dengan Afida. "Oh, mungkin tante Afida kepingin disuapi sama Yogi. Yok, Yogi. Sini." Affandi melambaikan tangan, meminta Prayogi untuk bergabung dengan mereka. Masih berada di sudut kota yang sama, seorang lelaki sedang bercakap-cakap dengan sesosok dara muda yang berpakaian semi menggoda mata kaum adam. Memunculkan fantasi liar mereka. "Jadi, apa rencanamu untuk menakut-nakuti perawat idola di rumah sakit bergengsi itu? Ingat ya, jangan sampai ulahmu itu melukai dara ayu itu. Satu senti pun is big no." selidik perempuan itu seraya menatap wajah angkuh pemuda yang duduk di depannya. Lelaki itu membisikkan rangkaian kata. Yang kemudian membuat mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Seakan-akan kemenangan berada di pihak komplotan misterius itu. "Akan ada sesuatu di kaca toilet rumah sakit itu," gumam pria berkacamata hitam sesaat sebelum ia menenggak minuman wine yang tersaji di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD