Tamu tak Diundang

1075 Words
"Selamat datang di Teduh Coffe shop. Selamat menikmati kopi racikan terbaik kami," sambut barista perempuan, begitu ada sesosok wanita lewat paruh baya yang melangkah masuk ke bangunan itu. "Saya mau bertemu dengan owner coffee shop yang megah ini. Bisa?" balas Afida dengan nada bicara kurang ramah. Bahkan bisa dibilang intonasi yang mengintimidasi. Sahutan Afida nyatanya cukup sukses membuat karyawan baru Teduh Coffee shop bergidik ngeri. Dengan suara terbata-bata gadis kisaran usia di bawah kepala dua itu mengiyakan permintaan orang tua tunggal Amanda. "Maaf, P-pak bos. A-ada tamu yang—" ucapan pelayan yang baru bekerja dalam hitungan hari itu tak tuntas seiring suara bariton Yogi terdengar. "Ambil nafas dalam-dalam, lalu keluarkan perlahan, Nina. Just be calm." Yogi menenangkan pegawai barunya. Lalu perlahan mengajak gadis itu berbicara dengan tempo lambat. "Ada apa?" selidik Yogi yang mampu menangkap ketakutan dalam diri karyawannya. "Di luar ada tamu yang ingin bertemu dengan bos. Seorang perempuan." akhirnya pesan yang sedari tadi susah diungkapkan akhirnya terlisankan juga. Yogi menempelkan ujung jari telunjuknya dengan ujung ibu jarinya. Lalu gegas melangkahkan kakinya menuju ke ruang depan. Sekedar mengobati rasa penasarannya tentang sosok pengunjung yang membuat Nina ketakutan setengah mati, seperti melihat setan saja di siang bolong. "Mand—" ucapannya terputus kala ia menyadari jika yang datang bukanlah Amanda-nya. Melainkan perempuan yang menurunkan gen cantik yang terpahat sempurna pada wajah Manda. "Oh tante Afida. Mari silakan duduk dahulu." buru-buru Yogi meralat sapaannya. Seiring pengunjung istimewa itu membalikkan badannya. Lelaki berkemeja flanel itu lanyas mempersilakan Fida duduk. Tak lupa ia memberi kode pada Nina untuk membuatkan kopi tamu agungnya di senja hari itu. Namun, memang dasarnya Fida saja yang ingin berbuat rusuh di kedai kopi kepunyaan Yogi. Sudah tahu ia diperlakukan begitu istimewa di warung minuman kekinian milik Yogi, perempuan itu bukannya menanggapi keramahan pria berwajah putih bersih, akan tetapi justru mengucapkan untaian kata yang menusuk hati. "Wah, selamat yah atas pembukaan perdana coffee shopnya. Megah sih. Tapi tetap saja gak sesuai dengan levelku," sinis Afida seraya menatap lurus wajah Yogi. Kendati Yogi mendengar ucapan Fida yang menusuk hatinya, ia tetap menyunggingkan senyum terbaiknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Fida telah meluangkan waktunya mengunjungi outlet barunya. "Terima kasih karena tante Fida karena sudah repot-repot datang ke sini. Kalau boleh tahu, tante ada perlu apa ya?" tembak langsung Yogi seraya membalas tatapan Afida. "Yah, saya ke sini hanya ingin melihat sejauh mana progress yang sudah kamu capai, Yogi. Dan ternyata, setelah saya lihat, kualitas dirimu bisa dikatakan meningkat." Sejenak, Afida menjeda ucapannya. Sepertinya ia tengah memikirkan diksi yang akan ia lisankan kepada pria yang begitu ingin menjadi menantunya. "Mungkin sekarang levelmu tengah merangkak naik, nak Yogi. Namun, bukan berarti restu yang begitu berharga ini akan semakin mudah kamu dapatkan," tutur Fida dengan jumawa. Mendengar kalimat yang begitu membuat panas telinganya, spontan Yogi mengepalkan tangannya. Ia terus-terusan menghela nafas panjang. Menambah stok sabar di dalam hati. Yah kalau saja sosok yang berdiri di depannya ini seorang cowok. Bisa dipastikan sebuah bogem mentah pastilah sudah menyapa pipi Afida. "Sabar, Yog. Inhale then exhale." sugesti Yogi pada dirinya sendiri. Meskipun ia begitu dongkol dengan Afida, Yogi tetap memasang wajah seramah mungkin. Ia sunggingkan senyum palsunya. Dan tentu saja dengan tutur kata yang tetap sopan didengar. "Terima kasih tante, 'kan semua ini juga berkat tante Fida," sahut Yogi yang sengaja membuat jiwa wanita matrealistis itu terbang membumbung tinggi. "You are the reason, Madam," ucap Yogi yang tak mampu ia lisankan. Yah, jika saja wanita yang melahirkan Amanda itu tidak terlalu meremehkannya atau mampu menghargai usahanya. Pastinya Yogi tidak akan terlalu menginginkan Afida kebakaran jenggot seperti ini. Tak ayal, ucapan terima kasih Yogi kepadanya membuat Afida mengernyitkan dahi tidak mengerti. Berterima kasih untuk apa. Pasalnya setahu Fida, ia tidak pernah memberi bantuan pada Yogi. "Maksud kamu?" tanya Afida yang tidak paham arah bicara Yogi. Spontan, Yogi terkekeh memandang wajah polos perempuan berhati jumawa itu. Setan dalam hatinya bersorak sorai kala Yogi berhasil membuat Fida bingung setengah mati. "Oh lupakan saja, Tante. Ngomong-ngomong silakan diminum kopi ala rumahan ini. Mumpung masih panas," tutur Yogi sengaja merendah, seiring dua cangkir kopi espresso tersaji di meja kaca outletnya. Sementara itu, pada waktu yang sama, seorang gadis muda melirik kesal ke arah gawainya. Sudah berpuluh kali ia menghubungi Yogi. Namun tetap jua di panggilannya yang kedua puluh itu belum Yogi angkat. "Mas Yogi kenapa sih? Tumben banget tingkahnya nyebelin kek begini." gumam Amanda seraya berusaha memfokuskan diri pada data pasien yang terpampang di layar komputernya. "Apa outletnya rame atau gimana? Cuma sepadat-padatnya kedai itu harusnya Abang satu itu bisa meluangkan waktu menengok gawainya. 'kan udah ada dua karyawannya di situ." Amanda berusaha menganalisa tingkah Yogi di sore hari itu. Mencoba menerka penyebab abainya kekasih hati terhadap panggilannya. Tidak ingin terlalu lama terjebak dalam asumsi yang belum jelas kebenarannya, Amanda segera beranjak dari posisi tubuhnya saat ini. Tangan halusnya ia sibukkan merapikan workstation-nya, sesaat sebelum ia tinggalkan. Lantas gegas berjalan menuju ke parkiran basement. "Kayaknya memang aku perlu ke outlet sekarang. Mastiin keadaan abang kelewat ganteng itu baik-baik saja. Atau setidaknya tahu penyebab panggilan atau pesan singkatnya terkesan diabaikan oleh Yogi. Seiring Manda melajukan sedan merah hatchbacknya menuju ke Teduh, suasana di outlet itu semakin panas. Tanpa ada pihak yang membantu Yogi untuk meredam hawa itu. "Loh, memang ada yang bilang kalau saya merintis usaha kopi ini hanya untuk mengemis restu yang begitu berharga dari tante Afida? Sayang sekali, asumsi itu tidak sepenuhnya benar, Tante." sangkal Yogi. Bagaimanapun juga ia tidak ingin perempuan berwajah ayu namun tingkah lakunya sepertinya iblis itu merasa menang karena tutur katanya yang mengiris hati. "Saya hanya ingin mengembangkan diri, tante. Agar nantinya mampu membahagiakan keluarga kecil saya. Bukankah letak kehormatan seorang lelaki itu ada pada kesetiaan dan tanggung jawab." Yogi mulai menguatkan posisinya dengan rangkaian kata yang tidak bisa terbantahkan lagi. "Lebih jauh lag—" lagi-lagi rangkaian kata pria wirausahawan muda itu tidak bisa terlisankan dengan tuntas. Seiring indera pendengaran Yogi mendengar Amanda memanggil namanya. "Yogi kenapa kamu," sejenak Amanda menghentikan ucapannya kala netra hazelnya melihat sosok wanita yang ia cintai berada di warung kopi. "Mama. Mas Yogi, ada apa ini? Kok mukanya pada tegang gini sih?" tanya Amanda seraya menatap menyelidik pada dua sosok yang tengah duduk berhadapan itu. Belum juga Amanda mendengar jawaban baik dari Sang Ibunda ataupun Yogi, suara salah seorang pengunjung membuat air muka wajah Amanda berubah. "Baguslah kalau mbak datang. Usir aja perempuan menyeramkan ini dari sini. Sedari tadi berbuat rusuh. Memantik emosi mas owner ganteng ini dan kami para pengunjung, mbak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD