Hutang Budi

1027 Words
"Ma, omongannya jangan ngelantur, tolong," pinta Amanda seraya tidak melepas genggaman tangannya pada Afida sedetikpun. Kondisi Afida yang begitu lemah ditambah dengan pintanya yang terkesan seakan-akan saat ini momen terakhirya berada di dunia, membuat Amanda begitu panik. Gadis itu pun sempat berpikiran yang bukan-bukan tentang mamanya. "Sudah, jangan terlalu dipikirkan yang tadi. Yang terpenting sekarang kita sama-sama berdoa. Karena dengan berdoa sudah cukup menjadi bukti sayang kita pada tante Afida. Yah," ucap Affandi untuk pertama kalinya begitu panjang. Amanda sejenak terhenyak. Gadis tenaga kesehatan itu tidak menyangka, di balik sikap cueknya Affandi dan ketegangan yang terjadi, nyatanya lelaki berahang tegas itu mendengarkan tiap untaian kata yang terlisan dari bibir Afida. Barisan kata yang meluncur dari bibir Affandi nyatanya membuat Amanda terbangun dari ratapannya. Perempuan itu pun menolehkan wajahnya ke arah Affandi yang sedari tadi setia mendampinginya. Bahkan tak jarang mengelus lembut bahu mungil Amanda. Ditatapnya sepasang netra Affandi yang begitu teduh seraya berkata lirih, "Terima kasih ya, sudah menolong mama. A-aku atas nama mama berhutang budi padamu." Mendengar apa yang diucapkan Manda, sontak Affandi mengarahkan jari telunjuknya ke lengkungan merah milik Amanda. Meminta puan yang begitu Aninda sayangi ini menghentikan ucapan terima kasih berlebih. "Sudah. Jangan ambil pusing. 'Kan sudah sewajarnya sesama manusia saling tolong menolong. Lagian kamu pernah menyelamatkan nyawa mama," sahut Affandi seraya tersenyum simpul. Lagi-lagi ucapan Fandi kembali mampu menenangkan Amanda. "Keluarga Afida Wijaya," suara perawat di unit gawat darurat membuyarkan bincang serius antara dua insan itu. Mendistraksi konsentrasi Amanda yang tengah meresapi kata demi kata yang meluncur tanpa beban dari bibir Affandi. Sontak, Amanda menoleh ke arah sumber suara. Ia berusaha menguatkan kakinya agar mampu melangkah menuju ke nurse station. Ia hempas pikiran negatif tentang kondisi Afida. "Kalau kamu berkenan, pegang tanganku. Kita berjalan ke sana ya," tawar Affandi yang memahami perasaan Amanda sekarang. Pastilah wanita yang tengah bermuram durja sedang kacau hatinya. Pikiran yang tidak-tidak tentu saja menghiasi benaknya. Amanda mengangguk pasrah. Sontak, ia pun mengulurkan punggung tangannya ke arah Affandi. Mempersilakan lelaki bertopi hitam itu menautkan punggung tangannya yang begitu halus. Gayung bersambut. Dengan senang hati, Affandi menggandeng Amanda. Ia genggam hasta Amanda dengan lembut dan begitu hangat. Berusaha menguatkan gadis putri kesayangan Afida. "Ah genggaman ini terasa begitu hangat. Bahkan jujur jauh lebih hangat daripada mas Yogi. Entah, pertautan tangan ini seakan menguatkan jiwaku yang begitu rapuh ini." monolog Amanda seraya memandangi tanpa henti punggung tangan lebar Affandi. Yang sedari tadi setia berada di atasnya. Tak dipungkiri, kini Amanda mulai menikmati sentuhan receh yang Affandi berikan. Sampai-sampai saking menikmatinya, ia tiada menyimak serangkaian informasi yang disampaikan suster IGD. "Apa?" respon Amanda yang terkejut dengan colekan Affandi. Tentu saja, perempuan itu memajukan bibirnya. Sebagai bentuk protes pada Affandi karena mengacaukan lamunannya. "Itu loh, ditanya sama mbak perawat. Seandainya tante Afida dioperasi kamu setuju gak?" suara bariton Affandi sontak membuatnya malu. Yah malu karena baru kali ini ia terlihat begitu bingung. "Tindakannya harus segera dilakukan ya mbak? Misal tidak dioperasi kira-kira side effects-nya apa ya?" tanya Amanda. Demi menutupi rasa malunya yang tertangkap basah Affandi sedang melamun. "Iya, mbak. Tindakannya harus segera. Karena kalau terlambat sedikit ya akan menambah keparahan luka. Bahkan bisa juga mengancam keselamatan jiwa ibu Afida." terang perawat itu membuat Amanda mengangguk bingung. "Sebentar ya mbak. Tolong kasih waktu saya lima menit saja," pinta Amanda sejenak sebelum ia melangkah meninggalkan counter perawat jaga IGD. Selepas menerima keterangan dari salah satu paramedis, Amanda berjalan gontai menuju ke bangku di ruang tunggu IGD. Setelah sebelumnya sempat melihat sebentar ibunya. Mendung di wajah Amanda kini semakin terlihat. Ia terduduk lesu seraya melayangkan pandangannya dengan tatapan kosong. Sesekali ia terlihat melipat dahinya. Lalu memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening. Amanda begitu bingung. Ia ingin menggelontorkan sejumlah uang demi kesembuhan Afida. Akan tetapi, ia menyadari jika sudah tidak ada sisa uang di rekening pribadinya, selain untuk mempertahankan asap masih mengepul di dapur. "Ke mana aku harus mencari uang sebanyak itu? Mana kemarin uangnya habis aku invest di coffee shop mas Yogi?" monolog Amanda tanpa merubah posisi tubuhnya. "Apa aku sebaiknya menelepon Kak Nindy ya? Siapa tahu hatinya tergerak untuk berbakti pada mama." tekad Manda dalam hati. "Maaf, Manda. Apakah soal biaya pengobatan tante Afida yang membebanimu sekarang? Aku siap bantu kamu, kok. Asal kamu tidak keberatan." tawar Affandi hati-hati, menjaga agar Amanda tidak tersinggung dengan penawarannya. Kendati ia yakin Manda paham akan itikad baiknya. Amanda bergeming. Yah, sebenarnya saat ini ia membutuhkan dukungan, seperti dukungan Affandi terhadapnya. Akan tetapi, seandainya dia menerima tawaran pria yang saat ini masih setia menemaninya, ia takut tidak bisa membayar hutang budi. Atau bisa saja, keluarga Affandi memanfaatkan situasi ini sebagai upaya untuk membuat Manda bertekuk lutut. "Ish. Jangan kebanyakan su'udzon,Manda. Fokus pada kesembuhan mama." lerai Manda, berusaha mengendalikan pikiran negatif yang mulai merasuki benaknya. "Gimana, Mand? Mungkin kamu ada opsi lainnya. Katakan saja," ucap Affandi yang kali ini berani menyapa perempuan yang tengah kesusahan itu sesuai dengan namanya. Amanda menghela nafas panjang, setelah sekian waktu logika dan hatinya berperang hebat di dalam benaknya. Perempuan itu kini lebih berani menatap wajah tampan Affandi seraya mengucap kata yang membuat Affandi mengangguk pasrah sekaligus melipat dahinya yang tidak begitu lebar. "Terima kasih atas tawarannya, mas Fandi. Aku akan mencoba menghubungi kakak sulungku dahulu. Siapa tahu musibah yang menimpa mama kali ini bisa memperbaiki hubungan yang telah lama terputus." Tanpa sadar, Amanda mengatakan hal yang selama ini tidak pernah terungkap. Malu jika aib keluarga harus diomongkan dengan orang lain. Akan tetapi, entah mengapa Manda begitu santai mengungkapkannya pada Fandi. Orang yang masih terasa asing baginya. "Okay. It's up to you," sahut Affandi lembut. Pria itu tanpa sungkan kembali mengulas senyum simpul. Seperti tidak mempermasalahkan atas penolakan Amanda. Ah. Lagi-lagi perlakuan Affandi kepadanya membuat Amanda begitu nyaman. Sebenarnya, bisa saja Affandi memaksanya untuk menerima uluran tangannya. But, he does not do this! Justru lelaki berdada sixpack memberi kesempatan Amanda untuk memutuskan sesuatu tanpa intervensi darinya. "Thanks for giving me the space," lirih Amanda seraya menganggukkan kepalanya. Dua anak manusia yang masih merasa saling asing itu pun duduk bersebelahan. Baik Amanda ataupun Affandi sibuk dengan pikiran yang menggelayuti benak masing-masing. Namun nyatanya, pemandangan seperti yang Affandi dan Amanda lakukan sekarang, tampak lain menurut kacamata dari sosok pria yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD