(Un)sweet Escape

1064 Words
"Fandi berangkat ke kantor dulu ya, Ma." Fandi meraih tangan keriput Aninda lalu mengarahkan ke keningnya. Ia sempatkan meneguk segelas s**u hangat buatan Aninda hingga tandas. Lalu bersiap berangkat. "Tunggu, Nak. Yakin kamu mau tetap berangkat kerja? Wajahmu masih awut-awutan gitu," ucap Aninda menahan langkah Affandi. Netra yang tidak seprima waktu muda dulu nyatanya masih bisa menangkap jelas gurat kelelahan di wajah putra sulungnya. Affandi memilih membungkam mulutnya. Ia hanya menganggukkan kepalanya lalu berpesan pada Afida untuk selalu berhati-hati. "Fandi berangkat ya, Ma. Just take care at home," pesannya seraya meraih kunci mobil yang diletakkan di atas nakas. Lalu berjalan menuju ke garasi. Di kala ia akan menjalankan mobilnya, lampu LED gawainya pun berkedip. Menandakan jika ada satu pesan singkat masuk yang baru masuk. Mendistraksi konsentrasinya. "Siapa sih, pagi-pagi udah ganggu. Kalau kantor gak mungkin lah via text message begini," gumam Affandi menafikan sebentar benda pipih berwarna hitam. Yang sedari tadi seakan meminta perhatian darinya. "Bye, Ma," ucapnya seraya membiarkan kakinya yang kokoh menginjak pedal gas perlahan. Membawa kuda besi seven seater itu bergerak menjauhi rumah klasik namun tetap kelihatan megah itu. Kali ini, Affandi masih bisa bernafas lega. Pasalnya ia berhasil lolos dari sederet pertanyaan Afida yang bakal memborbardirnya. Mulai dari semalam ke mana aja, tidur di mana dan sebagainya. Padahal, sejatinya Affandi sudah menyiapkan segala jawaban palsu tentang momen semalam. Baru saja Affandi tersenyum senang, lagi-lagi lampu gawainya berkedip. Disusul dengan dering yang sengaja dibuat berbeda. Yang mau tak mau menuntun tangan kokoh Fandi meraih benda pipih itu. Lalu membaca ratusan huruf yang dirangkai. ["Sayang, nanti malam lagi yah. Gak nyangka deh kamu benar-benar ajib."] tulis pengirim pesan misterius itu. Tidak lupa dalam pesan singkat itu dibubuhkan emotikon cinta dan ciuman. Tak pelak, pesan singkat yang baru saja diterima, membuat sepasang bola mata Affandi membulat sempurna. Lalu sedetik kemudian ia memijit pelipisnya seiring pening mulai menyergap kepalanya. Lobus frontal Affandi pun kembali mengingat momen semalam. Pasca ia meninggalkan kafe di mana ia melihat sosok Amanda tengah bersama dengan pria lain, Fandi memutuskan untuk mengarahkan mobilnya tanpa tujuan yang jelas. Hingga akhirnya ia menemukan warung yang tampak biasa saja. Dan memutuskan untuk singgah sebentar. Sekedar untuk melepas penatnya. Namun, baru saja ia selesai memesan sebuah menu, seorang perempuan cantik menepuk bahunya. Lalu mengajaknya ngobrol, mengeluarkan uneg-unegnya, meminum minuman yang belum pernah Affandi rasakan sebelumnya. Hingga akhirnya ia kehilangan kewarasan sejenak. "Ah, perempuan itu!" gumam Affandi yang kini teringat tentang perempuan penggoda itu. Yang berhasil memancing Affandi mengeluarkan sisi buasnya di atas ranjang. Sontak, ia memukul kemudinya. Kesal karena kecerobohannya yang bersedia bergumul panas dengan perempuan penggoda itu. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Tak mungkin juga ia mampu menghindar dari rasa sesal yang kini diam-diam menggerogoti jiwanya. ["Sayang, gimana? Nanti malam kamu bisa 'kan? I need you, Babe."]. tulis perempuan itu yang masih saja mengganggu konsentrasi Affandi. "Y," jawab singkat Affandi yang kali ini tidak mau terganggu dengan rentetan pesan singkat yang bernada sama. "Selamat pagi, pak Affandi." sambut beberapa karyawan begitu melihat Affandi memasuki lobby rumah sakit. Tak lupa, bawahan Fandi pun tak segan menundukkan badannya sedikit. "Pagi juga," sahut Affandi seperti biasanya. Yah seperti everything runs well. Lelaki itu kini berjalan menuju ke ruang kerjanya. Bermaksud segera menuntaskan pekerjaan yang sempat tertunda. "Eh bro, tumben penampilan kamu kek begini," tutur rekan dekat Affandi yang melihat ada yang beda dengan penampilan pria kepala rekam medis ini. "Kek begini gimana?" sahut Affandi yang masih belum menyadari jika penampilannya tidak serapi biasanya. Terkesan sepertinya ia berpakaian serampangan. "Ada cermin di toilet. Sempetin lihat penampilan sendiri gih," sahutnya cepat. Belum juga tuntas Affandi mencerna barisan kata yang terucap dari bibir teman kerjanya, seorang rekan lain pun iseng bertanya, "Habis ngapain aja, Pak? Masih pagi tapi udah kelihatan capek banget gitu wajahnya." Tak ayal, celetukan iseng terakhir itu membuat Affandi mengernyitkan dahi, sejenak sebelum ia memutuskan untuk menilik diri. Penasaran dengan kondisinya saat ini, sejurus kemudian Affandi melangkahkan kakinya menuju ke toilet. Hanya demi melihat penampakan dirinya sendiri. "Everything is fine. Tapi tunggu deh." untuk pertama kalinya Affandi memperhatikan paras tampannya. Sepasang netra hazelnya jelas menangkap gurat kelelahan di wajahnya. Sekarang jelas lah sudah komentar yang ditujukan pada Affandi. Pria itu tak menyangka jika aksinya semalam masih menyisakan sesuatu hingga pagi ini. Sepertinya kali ini semesta belum merestui Affandi untuk menghela nafas kelegaan. Baru saja ia selesai berkaca penampakannya, sebuah pesan singkat dari pengirim yang sama, kembali mengganggunya. "Ah dia lagi. Tapi tunggu gambar apa yang ia kirimkan?" Affandi berdecak kesal sekaligus penasaran. Affandi pun membuka pesan bergambar itu. Sedetik kemudian, sepasang netra hazelnya terbelalak. Melihat wanita yang membantunya menuntaskan hasratnya semalam, kini mengirimkan gambar diri yang memamerkan aset tubuhnya. Tak lupa ditambah caption yang menggugah hasrat kejantanan Affandi. "Ah sial! Dasar w*************a!" "Oke. Nanti malam harus lebih seksi dari gambar ini," balas cepat Affandi. Seraya melangkahkan kakinya meninggalkan toilet. Pelarian yang dikiranya membuatnya lebih bisa bernafas lega, justru kini semakin menghimpitnya. Kesenangan sesaat yang sengaja ia hadirkan malah kini menggiringnya pada momen yang begitu ia benci. Sepanjang berada di kantor, Affandi tidak bisa seratus persen berfokus pada pekerjaannya. Kejadian semalam, pesan singkat dari perempuan itu dan juga bayang Amanda yang tengah bersama dengan kekasih hati, kini mulai memenuhi isi kepala Affandi. "Aargh!" Affandi memukul meja kerjanya keras. Ia begitu merasa kesal karena tidak mampu menyingkirkan bayang-bayang memuakkan itu dari pikirannya. "Ada apa, bos? Apa ada yang salah dengan pekerjaan kami?" tanya seorang karyawan yang melihat Affandi menggebrak meja. Yang kebetulan meja kerja itu dipenuhi berkas pekerjaan tim kerja Affandi. Hilang sudah kini kewibawaan Affandi yang selama ini selalu ia tunjukkan. Hanya karena potongan momen yang tidak ia inginkan kehadirannya. "Gak apa kok, Mil. Santai aja," sahut cepat Affandi tanpa menerangkan penyebab ia sedikit murka. Jelaslah terlihat konyol, jika Affandi sampai mengatakan penyebab utamanya bertingkah seperti bukan Affandi yang dikenal orang-orang selama ini. "Baiklah kalau begitu, Bos. Jujur, saya dan rekan-rekan begitu takut melihat pak bos bersikap seperti tadi. Maafkan kami sudah menduga bapak yang tidak-tidak. Kalau begitu saya balik ke meja kerja ya, Pak," pamit Mila sejenak sebelum ia menyingkir dari hadapan Affandi. Affandi pun menganggukkan kepalanya. Tak lupa senyum manis pun sengaja ia kembangkan. Penyesalan kini membayangi Affandi. Jika saja ia memilih menurut apa kata Afida yang menahannya pergi malam itu, tentu akan berbeda kejadiannya. "If I can turn back the time," sesalnya seraya menyadari pelarian yang dikiranya manis. Nyatanya berbanding terbalik. "It's unsweet escape, not sweet escapes," lirih Affandi seraya mengusap kasar wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD