The Terror

1033 Words
"Sial. Yogi semakin lengket saja dengan Amanda. Tapi gak apa-apa deh. Silakan kalian nikmati kesenangan ini yang sebentar lagi akan berganti dengan air mata kehilangan. Hahaha," ucap perempuan itu seraya tersenyum smirk. Lalu segera berlalu dari coffee shop yang tengah naik daun itu. "Hon, aku balik dulu yah. Aku pikir-pikir kasihan juga si mama kalau aku tinggal lama. 'Kan tiap hari udah aku tinggal kerja. Giliran aku off day, beliau juga aku biarin di rumah sendirian. Yah, begini deh nasib jadi anak bontot tapi di rumah,” pamit Amanda setelah sempat menghabiskan waktu bersama Yogi di kedai kopi itu. Dengan mantap, pria berbadan atletis itu menganggukkan kepalanya. Mengizinkan kekasihnya untuk segera cabut dari lapak usahanya. “Oke. Hati-hati di jalan ya. Nanti kalau udah sampai rumah tolong kasih kabar.” pesan Yogi seraya mengecup kening Amanda. Amanda menautkan ujung jari jempolnya dengan jari telunjuk, sesaat sebelum ia berbalik arah. Berjalan menghampiri sedan merah kesayangannya yang masih setia terparkir di halaman parkir Teduh Coffee Shop itu. “Aku balik yah. Jaga diri baik-baik. Jangan tebar pesona sama pengunjung cewek di sini,” teriak Manda seraya melambaikan tangannya. Sesaat sebelum ia mempersilahkan kaki jenjangnya menekan pedal gas hingga membuat mobil itu bergerak menjauhi kedai yang dipenuhi para penikmat kopi. Mendengar pesan konyol Manda, sontak Yogi terkekeh. Lelaki itu tidak melepaskan pandangannya sampai mobil yang Manda kendarai menghilang dari pandangannya. Namun, baru saja Manda pergi dari kedainya, seorang wanita muda yang berpakaian mengundang hasrat lelaki melangkah masuk. Cara berjalannya yang sengaja dilenggokkan ke kiri dan ke kanan tak pelak membuat mata para pria beralih padanya. "Selamat datang di Ted—" ucapan the guest greeter terpotong seiring wanita berambut pirang itu menyela ucapannya. "Pak Yogi ada? Saya mau berbicara empat mata dengannya. Minta tolong dipanggilkan yah," pinta dara cantik yang mengenakan sepatu hak tinggi. Sengaja memamerkan bentuk kakinya yang indah. "Mohon maaf, tapi apa sebelumnya sudah ada janji?" tanya Nila spontan, berjaga-jaga jika Yogi mendapatkan tamu serese kemarin. Perempuan itu mencebik. Ia kini melanjutkan langkah kakinya yang sempat terjeda. Tanpa mengindahkan teriakan karyawan Yogi yang sedianya memintanya untuk lebih bersabar. "Sombong amat kamu sekarang, Yog. Tapi, tenang aja kesombonganmu itu akan luluh lantak ketika melihat keindahan bukit kembarku ini," gumamnya seraya tersenyum jahat. ["Tante, aku berhasil masuk ke ruangan Yogi. Wish me luck."] tulis tamu misterius itu, sesaat sebelum ia membuat Yogi membelalakkan matanya. "Ah, Yogi. Long time no see, Dear!" ucapnya seraya gegas menghambur ke d**a bidang Yogi. "Felya ka—" Yogi tak mampu menuntaskan bicaranya kala sepasang lengkungan berwarna merah perempuan itu menyentuh bibir Yogi. Hangat. Basah. Membuat jantung Yogi seakan berhenti berdetak. Dan Sang Waktu yang biasanya bergerak lebih cepat, kini seakan terhenti. “Mukanya jangan tegang gitu lah, Babe. Aku melangkahkan kakiku ke sini hanya untukmu. Gimme your smile, Dear!” rayu Felya sesaat sebelum ia mendaratkan bibirnya kembali. Namun, kali ini semesta seperti tidak berkenan Felya merayu Yogi kembali. Tanpa disangka, Yogi mengangkat tangannya lalu ia arahkan ke bibir bergincu nude Felya. Menahan agar lengkungan lebar itu tak bisa mendarat padanya. "Felya…kamu!" Yogi mengacung-mengacungkan jari telunjuknya pada Felya. Mengecam perbuatan m***m yang Felya lakukan. "Maksud kamu apa sih, hah? Kepingin mengacak hubunganku lagi dengan Manda?" seru Yogi dengan tatapan menghunus tajam. Teguran Yogi nyatanya terdengar seperti gertakan belaka di telinga Felya. Perempuan itu bukannya gegas memperpanjang jaraknya dengan Yogi. Melainkan ia sengaja mengikis jarak tubuh rampingnya dengan raga atletis Yogi. Seraya menatap mesra ke arah putra sulung Lita. "Tenang aja, Yogi sayang. Aku tidak akan tega merusak hubungan kalian." "Hanya saja, aku akan membuatmu ketagihan bersamaku sepanjang hari. Tidak seperti Manda yang gak bisa muasin kamu," monolog Felya seraya memandang Yogi dengan tatapan menggoda. "Fel! Jangan gila kamu! Ini tuh di tempat umum. Astaga!" pekik Yogi depresi. Ia mengusap kasar wajahnya. Sementara Yogi berupaya menelan salivanya karena usaha Felya yang membuat naluri kejantanannya hampir melonjak, Manda kini tengah menguji keberaniannya. Sepulangnya ia dari kafe milik kekasih hati, tanpa diduga datang serangkaian mobil yang mencoba menghalangi jalannya. Kuda besi beroda empat itu dengan sengaja seperti mengapit sedan hatchback yang Manda kendarai. "Ini mobil apa-apaan sih! Bukannya jalan masih longgar tapi kenapa mepet-mepet gini sih!" protes Amanda seraya melihat sisi kanan dan kiri kendaraannya. Sejenak, Manda memaksa lobus frontalnya bekerja lebih keras. Apa yang harus ia lakukan agar bisa lolos dari pengguna jalan yang sepertinya akan mencelakakannya. Hingga akhirnya dalam waktu sepersekian detik, Amanda tahu apa yang harus ia lakukan. Yah, ia tetap harus menjaga posisi mobilnya lurus. Sembari sesekali melirik dua mobil yang mengapitnya. Hingga akhirnya dirasa mobil penguntit itu lengah, Amanda langsung tancap gas. Perempuan itu tidak lagi memperdulikan kecepatan kuda besinya. Ia pun juga tak terlalu memikirkan siapa yang berada di balik ini teror yang menimpa Amanda. Karena yang ada di dalam benaknya sekarang hanyalah menyelamatkan diri. Gadis berjilbab itu kini menghela nafas lega. Ketiga kendaraan yang sempat membuatnya kacau kini tidak terlihat lagi. Ia pun bermaksud rehat sejenak. Akan tetapi, belum sampai ia melemaskan ototnya yang sedari tegang, radar sepasang netra hazelnya menangkap mobil penguntit tadi berjalan memperpendek jarak dengannya. Amanda menghela nafas kasar. Tak mungkin jika sekarang ia kembali menggeber kecepatan maksimal mobilnya menuju ke murahnya. Lagi, ia meminta lobus frontalnya bekerja ekstra keras. Hingga akhirnya dalam waktu sepersekian detik, Manda tahu ke mana arah yang akan ia tuju. Tanpa menunggu waktu lama, Amanda kembali menginjak pedal gas dalam-dalam. Ia pun mengarahkan sedan hatchbacknya menuju ke kantor polisi. Ia berpikir, satu-satunya tempat yang aman baginya hanyalah kantor polisi. Jika ia mengarahkan mobilnya menuju ke rumah, besar kemungkinan justru membahayakan Sang Ibunda. Pun kalau tujuannya ke rumah sakit, pastilah nanti terjadi kegemparan di rumah sakit milik orang tua Affandi. "Ok. Let's play this game, dude!" gumam Amanda seraya menyempatkan diri melirik kaca spion tengah, memastikan di mana posisi persis kawanan pemburu misterius itu. Aksi kejar-kejaran bak di film luar yang berjudul Fast and Furious pun terjadi. Yah, meskipun manuvernya masih kalah jauh. Orang-orang yang kebetulan berlalu lalang di sepanjang jalan menuju ke kantor polisi, terpaksa mengurangi laju tunggangannya. Daripada nanti harus menjadi korban dari aksi yang tidak perlu ini. "Bos, target sudah di depan mata kami. Hanya, dia menuju ke tempat yang terlarang untuk kami masuki." ucap salah seorang pria bertubuh tegap kepada seseorang di ujung telepon sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD