Can We Meet Up?

1017 Words
"Dia gak ada maksud seperti itu, Li. Yah, sekarang gimana dia bisa tahu kalau emang gak dikabarin? Yogi bukan cenayang yang bisa tahu segala hal yang aku alami. Please, pahamin sampai situ deh." kini giliran Manda yang berbicara dengan nada seperti berapi-api. "Sekarang coba deh kamu pikir-pikir. Malam itu, rumahku kebakaran. Kamu tahu apa yang mamaku lakukan? Beliau dengan sengaja menghubungi Tante Aninda, memberitahukan jika tengah terkena musibah." Sejenak, Amanda menghirup nafasnya dalam-dalam. Lalu menghembuskan perlahan. Berharap sesak di dadanya akan segera terurai, seiring Sang Waktu berjalan. "Kenapa dia gak nelpon mas Yogi aja, yang sewaktu-waktu bisa dimintai tolong? Aku yakin sepadat apapun outlet kopinya, dia akan bergegas ke rumah. In case kalau ada sesuatu yang urgent ataupun gawat," cerocos Amanda dengan nada bicara yang masih sama. "Di mana letak gak gunanya mas Yogi? Coba jelasin ke aku, Ruli sayang. Biar aku bisa melihat lebih jelas tentang pria yang ada di hatiku!" cecar Manda yang tidak bisa menerima lelaki yang menemaninya selama tiga tahun terakhir ini, begitu direndahkan. Mendadak suasana menjadi hening. Bahkan suara jari yang menari di atas papan keyboard komputer nyaris tidak terdengar. Yang terdengar hanyalah helaan nafas dari dua perempuan itu dan suara pendingin udara yang sudah waktunya diperbaiki. Ruli yang sedari tadi begitu yakin Yogi bukanlah cowok yang selalu ada di sisi Manda, sedikit demi sedikit keyakinannya itu luntur. Hingga akhirnya ia berani bersuara. Setelah beberapa saat yang lalu sempat bersitegang dengan Amanda. "Aku minta maaf karena khilafku, Mand. Mungkin aku sudah sedikit terpengaruh dengan perkataan tante Afida tempo hari. Yang begitu mudahnya menilai orang tanpa tahu yang sebenarnya," sesal Ruli seraya menarik tangan Amanda. Memohon agar Manda mau memaafkannya. Amanda sempat melipat dahinya menjadi beberapa kerutan, segera setelah Ruli menuntaskan ucapannya. Ia begitu heran dengan sahabatnya. Bagaimana bisa , dalam waktu secepat kilat merubah stigmanya tentang Yogi. Apakah untaian kata itu hanya untuk menenangkan Amanda. Ataukah memang merasa ada yang tidak beres dengan kejadian di malam itu. Kendati demikian, Amanda tidak ingin terlalu ambil pusing dengan perubahan Ruli yang begitu mendadak. Karena bagi Amanda, yang terpenting hanyalah penjelasan darinya. Soal si lawan percaya atau tidak dengannya, itu soal nomor ke sekian. "Alright, gak apa-apa kok, Li. Ya 'kan kita gak bisa ngejudge seseorang dari sisi luarnya. Yah, memang mas Affandi itu orangnya baik dan juga bertanggung jawab. Tapi 'kan itu salah satu sifat baik yang muncul di permukaan," ucap Amanda sesaat sebelum ia menghela nafas panjang penuh kelegaan. "Then, what's about the other side? Kita juga gak bakal tahu kalau memang benar-benar gak ngeh dengan kesehariannya." mau tidak mau, kali ini Amanda harus rela menghentikan obrolannya. Seiring untuk kesekian kalinya alarm nurse call itu berdering agak lama. Lain halnya dengan Amanda yang kembali berjibaku dengan data pasien dan monitoring kondisi pasien di bangsalnya, saat ini Affandi terlihat begitu resah di balik kemudi SUV mewahnya. Sudah 60 menit lamanya lelaki berwajah tampan itu menunggu seorang wanita muda. Korban dari kecerobohannya beberapa hari yang lalu. "Masih lama? Aku sudah menunggu di meeting point yang sudah disepakati." tulis Affandi yang mulai tidak sabar menunggu. Kata wanita yang baru saja dikenalnya, jarak antara rumah perempuan itu dengan restoran mewah, di mana Affandi khusyuk menunggu, hanyalah sekitar satu kilometer. Tidak akan memakan waktu lebih dari lima menit lamanya. "Sabar ya, Beb. Sebentar lagi aku akan datang kok," balas cepat wanita bersurai pirang itu. Tak lupa ia menambahkan emotikon kecupan hangat dalam pesan singkatnya. Affandi menghela kasar nafasnya. Pria itu menepukkan dahinya, bingung apa yang perempuan itu lakukan. Masa hanya berganti baju dan memoles wajah tipis-tipis bisa memakan waktu lebih dari sepuluh menit. "Kok dia begitu berbeda dengan Amanda yah. Selama ada janji dengannya, dia tidak pernah membiarkan aku menunggu selama ini. Heran jadinya," gumam Affandi seraya melirik jam tangan mewah yang masih setia melingkar di pergelangan tangannya. "Oke. Mesti berapa menit lagi?" tanya Affandi, meminta kepastian sampai berapa lama ia harus menunggu perempuan itu. Nampaknya, samudra kesabaran Affandi nyaris mengering. ["Sabar. Sepuluh menit lagi ya, Beb. Sebentar lagi prosesnya selesai kok."] Lagi, nampaknya perempuan itu meminta Affandi untuk lebih bersabar menghadapinya. Yah, hanya demi menyempurnakan penampilannya, wanita berambut pirang itu menghabiskan waktu berjam-jam dan membiarkan Affandi yang selalu menghargai waktu, justru ia biarkan menanti lama. "Oke," tulis singkat Affandi dalam pesan singkat itu. Tak lama sebelum akhirnya ia melempar gawainya ke arah jok sebelah kiri. Lalu membanting kemudinya. Tak terasa, sepuluh menit berlalu. Dengan setianya, Affandi masih bertahan dengan posisinya. Meskipun sesekali ia melirik jam digital yang tampil di dashboard mobilnya. Membuktikan kebenaran ucapan perempuan itu. Melihat tidak ada pertanda kedatangan puan nan menggoda itu, Affandi membiarkan tangan kekarnya untuk menekan tombol start engine. Lalu bersiap mempersilakan kakinya menginjak pedal gas. Sayang, tepat pada saat Affandi mulai melajukan mobilnya, seorang dara muda melambaikan tangan ke arahnya. Sembari memanggil namanya berulang kali. "Lah, dia siapa? Kenapa manggil-manggil?" sesaat lobus frontal Affandi berusaha mengingat siapa puan itu. Namun, karena ia dikejar oleh Sang Waktu yang bergerak begitu cepat, Affandi mengabaikan lambaian itu seraya membiarkan jari tangannya yang besar menari-nari di atas papan keyboard. Menuliskan untaian kata yang membuat wanita itu menghentak-hentak kesal kakinya. "Sorry, I have to go. Terima kasih sudah membuatku menunggu lama." tak lupa, Fandi membubuhkan emotikon kedua telapak tangan yang disatukan. Situasi yang berbeda kini justru dialami oleh Amanda. Menjelang berakhirnya shift pagi itu, sebuah pesan singkat baru menyapa benda pipih berwarna hitam milik Amanda. Yang berusaha mendistraksi konsentrasi Amanda yang tengah mengerjakan laporan. "Mand, itu loh pesan barunya dibuka dulu. Yah, siapa tahu aja urgent. Gak cuma pesan sampah aja," ucap Ruli yang jujur agak risih dengan bunyi notifikasi yang berdering berulang kali. "Tanggung ah, Li. Bentar lagi aku selesai kok," sahut Amanda yang masih kekeh menuntaskan laporan, sekalipun kali ini ia menghadapi godaan. Ia membiarkan jari tangannya yang lentik mendarat di tuts jejeran huruf dan angka di atas papan keyboard. "Yah, terserah kamu, Mand. Aku tinggal ke kamar nomor enam ya. Udah jadwalnya mengganti larutan intravena nih," tukas Ruli seraya berjalan meninggalkan Amanda. Tepat pada saat Amanda menyelesaikan laporannya, ponsel cerdas itu berdering lagi. Menggiring Amanda untuk segera membaca pesan singkat itu. ["Hon, bisakah kita meet up sore ini? Aku tunggu balasannya segera yah."]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD