Malam Itu

1161 Words
Di sebuah ruangan bercat putih, seorang gadis muda dengan cekatan memasukkan barang penting ke dalam tasnya. Amanda; begitulah ia sering disapa, beberapa kali melirik jam dinding di kamarnya. Tampaknya ia tengah berlomba dengan waktu yang berjalan begitu cepat. Saking tergesanya, kaki jenjang Manda hampir tersandung kaki-kaki meja makan. Menimbulkan suara yang menarik perhatian Fida. “Hati-hati, Nak. Mau ke mana sih kok sepertinya lagi buru-buru,” ucap Fida. “Iya. Ma. Manda lagi balapan sama waktu nih. Khawatir terlambat sampai di tempat kerja.” terang Manda seraya mengangkat gelas berisi air putih. "Lho, kamu mau berangkat kerja juga? Apa kamu gak capek tho, Nak?" protes Sang Ibunda yang kebetulan melongok ke kamar Manda. "Iya, Ma. Ya soalnya malam ini perdana aku jaga shift malam." Manda merapikan hijab segi empatnya. "Tapi 'kan kamu habis bepergian dari ibu kota, Sayang. Rehatlah barang sebentar saja. Yah, paling tidak bisa menghilangkan rasa lelah." usul mama Manda. Wanita lewat paruh baya itu begitu khawatir kalau-kalau Manda jatuh sakit hanya karena letih yang menumpuk. "Jangan hanya karena mengedepankan profesionalitas, kamu korbankan kesehatanmu, Sayang." lagi-lagi perempuan itu berusaha mencegah Manda pergi. Selepas mendengarkan nasehat mamanya, Manda pun terdiam. Sepertinya lobus frontalnya mencerna kata demi kata yang meluncur dari bibir Fida. Hati kecil Manda memang membenarkan apa yang Fida tuturkan. Hanya saja, gadis berparas ayu itu merasa raganya masih kuat. She knows her limits well. Lagian, sudah menjadi resikonya bila bekerja di sektor publik. "Mama, terima kasih sudah mengingatkan Manda. Hanya saja, Manda harus masuk kerja. Banyak orang yang membutuhkan tenaga yang tak seberapa ini," ucapnya dengan nada pelan namun penuh dengan penekanan. Mencoba memberi pengertian pada Fida; wanita yang telah mengorbankan nyawanya kala Manda lahir ke dunia. Fida terdiam. Kali ini perempuan yang menginjak usia hampir lima dasawarsa ini menyerah. Bagaimanapun juga apa yang Manda sampaikan benar adanya. "Mama doakan agar Manda selalu sehat ya, Ma. Kalau begitu Manda berangkat dulu." Manda mengulurkan tangan halusnya ke arah Sang Ibunda. "Tunggu, Nak. Kamu berangkatnya naik mobil sendiri 'kan?" tanya Fida. Amanda menggelengkan kepalanya. Dara berparas ayu nan meneduhkan itu berucap bahwa malam ini ia akan diantar oleh Yogi; pemuda yang tiga tahun ini membersamai Manda. Sepertinya lebih aman jika ia berangkat dengan Yogi. Paling tidak, ada lelaki yang menjaganya kala terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. "Apa? Dengan Yogi lagi? Sampai kapan sih kamu bertahan dengan pria itu, Nak?" Fida menaikkan nada bicaranya sekian oktaf. "Mama heran sama kamu deh, Nda. Kenapa sih pemuda pengangguran itu kamu bangga-banggakan. Emang hidup bisa kenyang kalau makan cinta aja?" imbuh Fida yang kini semakin kentara menentang hubungan putrinya dengan Yogi. Manda menghela nafasnya panjang kala mendengar Sang Ibunda berbicara dengan nada tinggi. Ingin rasanya ia mematahkan argumen Sang Ibunda tentang Yogi. Memang, pendapatan kekasihnya sebagai abang ojek online tak menentu dan tak seberapa. Namun, bukan berarti Yogi bisa disebut pengangguran. "Mama, mohon maaf. Manda harus berangkat sekarang. Keburu terlambat nanti. Mama hati-hati ya di rumah." pamit Manda. Dara pemilik nama Faza Amanda itu memilih tak menanggapi omongan Fida. Ia khawatir dengan kondisinya yang lelah bisa memantik emosinya membuncah. Memicu pertengkaran yang sebenarnya tak perlu. **** Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit lamanya, akhirnya Manda menginjakkan kakinya di gedung berlantai tujuh. Sebelum menuju ke counter perawat jaga, Manda menyempatkan diri ke toilet. "Aku harus terlihat ceria. Jangan sampai suasana hatiku saat ini mempengaruhi tingkah lakuku kepada pasien dan teman-teman," gumamnya seraya membasuh wajahnya yang terlihat sembab. Selepas menyeka parasnya, Manda melangkahkan kakinya ke ruang perawat jaga. "Weis, pejuang jaga malam dah datang, nih." sambut rekan Manda kala gadis itu tiba di ruangannya. "Kamu kuat juga ya, Nda. Pulang dari luar kota langsung masuk malam aja." perawat lain menimpali. "Ah kalian bisa aja. Tenang saja, selama berada di dalam kereta, aku dah sempatkan istirahatkan sebentar kok. Biar kuat kalau kalian ajak bercanda." kekeh Manda seraya memasukkan tas ranselnya ke dalam loker. Selang beberapa waktu, jarum di jam dinding rumah sakit menunjukkan pukul sebelas malam. Pelan-pelan, rasa kantuk dan lelah mulai menggoda. Namun, Manda tetap berusaha keras agar sepasang netra beningnya tetap terjaga. Bukannya ia pejuang begadang, hanya saja Manda; begitu ia akrab dipanggil, menjalani shift malam. Shift yang sudah lama ia inginkan. Memanfaatkan momen begadang untuk hal yang bermanfaat. "Eh, Manda. Aku temani shift malam nih. Jangan takut ya kalau nanti brankar di sudut sana bergerak sendiri," canda sekaligus pesan salah satu perawat senior di rumah sakit itu. "Hehehe, iya nih, Li. Jangan khawatir kalau aku takut, aku pasti langsung pegang lengan kamu," jawab Manda seraya terkekeh. Dua orang perawat yang sedang berdinas malam itu sama-sama tertawa. Hanya saja dengan volume yang relatif pelan. Khawatir candaan mereka mengganggu pasien yang tengah beristirahat. Hingga akhirnya suara tawa itu terjeda oleh bunyi bel yang berdering dari kamar pasien. "Nanti kita sambung lagi ya, Li. Aku ke kamar ujung timur dulu ya." Manda beranjak dari kursi busa itu. Lalu bersiap meninggalkan counter perawat. Berjalan menuju ke ruangan sumber suara. Sesampainya di pintu kamar, Amanda dibuat berdiri mematung untuk sesaat. Sepasang bola matanya yang berwarna coklat mendapati tak seorang pun terjaga. Sontak, satu pertanyaan pun terbesit di hatinya. Jika pasien dan penunggunya tengah tertidur, lantas siapakah tadi yang memencet bel. Tak pelak, gadis itu merasakan bulu kuduknya berdiri. Apa jangan-jangan yang menekan bel barusan makhluk tak kasat mata. Akan tetapi, dara itu tak mengambil pusing kejadian itu. Ia enyahkan rasa bergidik yang sempat menghampirinya. Meluruskan niatnya yang ingin tahu kondisi pasien di ruang rawat nomor tujuh itu. "Oh, cairan infusnya habis." gumam Manda seraya berjalan mendekati seorang perempuan lewat paruh baya yang terbaring lemah di atas brankar. Situasi memang genting. Tapi sebisa mungkin perawat yang baru berusia 23 tahun tetap bersikap tenang. Karena kalau dia tampak panik, bisa berpengaruh ke ketenangan pasien. Kala Manda hampir selesai memperbaiki infus pasiennya, tetiba seorang pemuda terbangun dari tidurnya. "A-ada apa ini?" tanyanya dalam kondisi nyawa belum terkumpul sepenuhnya. Tak dipungkiri, perasaan bingung sekaligus kaget bercampur di benak Fandi. "Maaf, Pak. Saya ke sini karena tadi ada dering bel dari kamar ini. Dan ternyata cairan infus ibu telah habis." jelas Manda dengan nada bicara sopan. "Hah? Habis? Bagaimana sih aku ini, disuruh menjaga mama tapi malah tertidur." rutuknya seraya menepuk dahi yang sebenarnya tak perlu ditepuk. "Cairan infusnya sudah mengalir lancar ya. Kalau begitu, saya permisi dulu ya pak." Manda bersiap melangkah, menjauh dari brankar di mana Ninda terbaring lemah. "Ehm, tunggu." ucapan Fandi membuat Manda menjeda langkahnya. Perempuan muda itu memutar tubuhnya 180°. "Iya, ada yang bisa dibantu lagi, Pak?" tanya Manda dengan ramah. "Terima kasih ya, sudah menyelamatkan nyawa mama saya. Mohon maaf karena keteledoran saya mbak jadi repot," tutur Fandi kikuk. Untuk pertama kalinya, pemuda itu mengenyahkan egonya yang tak ingin mengucapkan terima kasih. "Sama-sama, Pak. Namun saya tidak merasa direpotkan. Karena memang sudah menjadi tugas kami sebagai perawat di sini." tandas Manda seraya menyunggingkan senyum manisnya. "Kalau begitu saya undur diri dulu. Selamat beristirahat, Pak." Manda kini melangkahkan kakinya keluar dari kamar bernomor tujuh itu. Meninggalkan Fandi yang masih kebingungan dengan kejadian barusan di rumah sakit itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD