Unplanned Meeting

1017 Words
Pria pemilik nama Afandi ini masih saja terjaga. Ia begitu penasaran dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Sebenarnya siapa yang berbaik hati menekan tombol nurse call, sementara Fandi dan mamanya sama-sama tertidur pulas. Mungkinkah malaikat atau malah jin baik hati. Lelaki itu mengedikkan bahunya. Logikanya tak kuat mencerna kejadian yang menurutnya aneh tetapi nyata itu. "Fandi," panggil Aninda membuyarkan lamunan pria bertubuh atletis itu. Membuat Fandi kini memusatkan perhatiannya pada ibunda tercinta. "Iya, Ma. Fandi ada di sini," jawabnya lembut. "Kok kamu belum tidur, Fan?" selidik Aninda. Fandi mengikis jarak antara wajahnya dengan Sang Ibunda. "Mama tenang saja. Fandi sudah sempat tidur kok. Hehehe. Lagian 'kan Fandi di sini memang untuk jagain mama," ucapnya dengan suara lembut. Ninda menganggukkan kepalanya, mendengarkan rangkaian kata yang keluar dari bibir putra sulungnya. Yah, ia begitu bahagia karena Fandi begitu sayang padanya. Sebisa mungkin, Fandi memprioritaskan keluarganya daripada kepentingannya. Hanya saja, ada secuil kesedihan dalam lubuk hati wanita lewat paruh baya itu. Yah, di usia menginjak tiga dasawarsa ini, Fandi belum juga menemukan pendamping hidup yang pas. Yang mampu menjadi support system untuknya. "Mama lanjutkan istirahatnya ya. Tenang aja, Fandi tetap berada di sini. Oke." pinta Afandi. Lelaki itu meraih punggung tangan wanita yang melahirkannya. Lalu mendaratkan bibirnya pada tapak tangan Ninda yang mulai berkeriput. Ninda menganggukkan kepalanya, mengiyakan pinta putra kesayangannya. Lalu seiring berjalannya waktu, Ninda memejamkan sepasang netra beningnya. Melanjutkan istirahatnya yang sempat terjeda. **** Amanda membuka sepasang netra beningnya kala indera pendengarnya menangkap suara adzan Shubuh berkumandang. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, dara cantik itu mengayunkan kakinya yang jenjang ke arah toilet. Yah sekedar untuk membasuh wajahnya. Lalu menggelar sajadah panjangnya. Selepas mencurahkan apa yang ia rasa dengan Sang Pemberi Hidup, Manda kembali ke counter perawat. Lalu melanjutkan langkahnya ke arah kamar para pasien di bangsal Dahlia itu. "Li, pagi ini kamar mana aja yang bakal aku samperin?" tanya Manda pada temannya. Sembari ia mempersiapkan alat pemantau kesehatan yang akan digunakan. "Oh, kamu pagi ini ke kamar kelas 1 dan VIP yang di sayap barat ya," ucap Ruli seraya menyalakan pc di ruang perawat jaga. Amanda menautkan ketiga jari tangannya membentuk huruf O. Lalu sengaja memperlihatkan tautan jarinya ke arah Ruli. Sebagai isyarat bahwa Manda mengerti maksud Ruli. Wanita muda yang baru bekerja selama 12 bulan di rumah sakit ternama itu, kini melangkahkan kakinya ke arah deretan bilik yang berada di sayap barat bangunan bangsal itu. TOK...TOK...TOK… Terdengar suara pintu kamar diketuk. Afandi yang kebetulan masih melemaskan otot-ototnya di atas sofa, kini menegakkan posisi tubuhnya. Lelaki itu beranjak dari sofa lalu mengayunkan kakinya yang kokoh ke arah sumber suara. "Eh...mbak perawat. Silakan masuk, Mbak." Fandi memberi jalan bagi Manda untuk masuk ke kamar mamanya. "Selamat pagi ibu Ninda." Manda mengulaskan senyum ramah pada wanita lewat paruh baya yang terbaring di brankar. "Saya ukur tensinya dulu ya, Bu." Dengan penuh kelembutan, Manda mengangkat tangan yang kekuatannya sudah berubah. Dengan cekatan, Manda memasangkan manset di lengan Ninda, sambil menekan permukaan tangan yang dirasa kuat denyutnya. Tak lupa ia memasukkan jempol Ninda dalam Pulse dan oximeter. "Selamat pagi juga, Mbak," sahut Ninda seraya memperhatikan Manda yang tengah mengukur tekanan darahnya. "Wah, tekanan darahnya bagus, Bu. 120/80 mmHg. Denyut jantung dan kadar oksigen dalam darah juga normal, Bu." Manda melepas manset lalu merapikan peralatan yang ia bawa. "Oh ya, bagaimana dengan keluhannya, Bu?" tanya Manda yang tak sekedar berbasa-basi. Sambil menyunggingkan senyum, Ninda mengungkapkan kini kondisinya lebih baik. Keluhan yang sering kali ia rasakan kini berkurang. "Saya bersyukur mbak, selama di sini rasa lemas yang biasa saya rasakan sudah mulai berangsur berkurang. Kepala pusingnya juga jarang saya rasakan." jelas Aninda. "Syukurlah, Bu. Baik, kalau begitu saya undur diri. Lekas sembuh ya, Bu." pamit Manda seraya mengayunkan kakinya menjauhi tempat tidur Ninda. Lalu keluar dari ruang perawatan nomor tujuh itu. Ninda menganggukkan kepalanya seraya tersenyum manis. Ninda membiarkan sepasang manik hazelnya memandangi punggung Manda yang semakin lama menjauh. "Ah, kenapa aku tadi lupa menanyakan namanya? Seumur-umur baru kutemukan perawat seramah dia." sesal Ninda di dalam hati. Kala Ninda tengah asyik dengan lamunannya, datanglah Fandi dengan membawa sesuatu di tangan kanannya. Fandi mengernyitkan dahinya. Pasalnya, pemuda itu jarang mendapati mamanya melamun lama. "Hayo,mama lagi melamun ya," ucap Fandi. Menghentikan pikiran Ninda yang sempat berwisata ke antah berantah. "Ish, kamu Fan. Ngagetin mama aja ih." Kini sepasang mata elang Fandi mendapati pipi Ninda bersemu merah. Mungkin karena malu ketahuan Fandi sedang melamun. "Kalau Fandi boleh tahu, emang mama lagi mikirin apa sih? Fandi panggil beberapa kali gak cepat-cepat menyahut." selidik Afandi. Kala Ninda akan menjawab pertanyaan putra sulungnya, lampu gawai Afandi berkedip. Meminta pria berparas rupawan ini segera menjamah benda kecil itu. Mendistraksi konsentrasi Fandi yang siap mendengar rangkaian kata yang terucap dari bibir Ninda. "Sebentar ya, Ma. Fandi angkat telepon dahulu." Lelaki penyuka kemeja slimfit itu beranjak dari hadapan Sang Ibunda, seraya menempelkan benda pipih berwarna hitam pada daun telinganya. Tepat pada waktu yang sama, tampak Amanda sedang berkemas-kemas. Sembari menunggu balasan chat dari kekasihnya. Cukup lama Manda menunggu balasan pesan singkatnya dari Yogi. Dara manis itu berdecak. Tak biasanya Yogi membiarkan ia menunggu balasan chat darinya. Memantik rasa berburuk sangka dalam pikiran gadis berkacamata ini. "Tumben banget nih, si Mas lama balasnya." gumam Amanda seraya melihat jam digital yang melingkar di tangannya. "Ah apa lebih baik aku tunggu di lobby aja kali ya. Sembari mencari sesuatu untuk mama." putus Manda pada akhirnya. Amanda lekas memakai ransel hitamnya. Lalu beranjak dari tempat duduk yang terkadang menimbulkan rasa panas di biritnya. "Bye bye semua. Aku pulang dulu ya gaes." pamit Manda bersiap meninggalkan ruang bercat dominan putih itu. "Loh, Nda. Kamu gak nunggu Yogi di sini aja. Hawa di lobby itu agak panas loh." saran rekan sejawatnya. Namun Amanda tak mengindahkannya. Gadis itu kini malah melangkahkan kakinya jenjangnya. Menjauhi basecamp perawat di bangsal itu. Tampaknya semesta memang sedang menghendaki Manda bertemu dengan Fandi lagi. Tanpa sengaja, dua anak keturunan Adam itu bersemuka di depan lift. Tak terelakkan lagi, peristiwa yang membuat keduanya kikuk terjadi. Sepasang netra bening Fandi menatap lama wajah Amanda, yang di pagi hari ini tampak lebih segar. Begitupun dengan Amanda. Manik hazel gadis itu akhirnya tergoda menatap wajah rupawan Afandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD