EPISODE || Amnesia

2720 Words
EPISODE 14 ____________________________________________________________________________________________                 “Kita harus  meninggalkannya,” tegas Elan sampai dibarengi dengan gestur tangannya. Semua pasang mata yang sedang duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit langsung menatap ke arahnya. Mereka menunggu apa maksud pria berkumis itu.           Elan menyadari sesuatu. Ketika ia menoleh ke kanan dan kiri, ternyata banyak orang yang memperhatikannya. Pertama-tama Elan membungkuk singkat untuk meminta maaf atas ketidaksopanannya pada beberapa orang asing yang juga sedang menunggu di sana.          Teman-teman Elan menunduk, merasa malu. Sebab tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi pada pria berpakaian pantai itu.             Yap. Elan, Samantha, Sonya dan dua asisten mereka belum sempat berganti pakaian. Masih memakai pakaian pantai yang sama persis dengan apa yang mereka kenakan di pantai Hamdeok. Sehingga tak sedikit orang yang berlalu lalang di rumah sakit itu memperhatikan mereka.           Pria yang berdiri di depan 4 orang yang sedang duduk itu tampak serius dengan perkataannya. Ekspresi wajahnya pun tidak dapat diragukan lagi. Seolah sedang membahas sesuatu yang genting.           “Maksudmu, kita harus meninggalkan Tuan Noah?” Sonya bertanya pelan lantaran tidak mau membuat keramaian di rumah sakit.             Lagi pula, Sonya juga tidak mengerti siapa yang tiba-tiba Elan bahas. Masalahnya, tadi pria itu juga duduk sepertinya dan dalam sekejap berdiri. Mengatakan hal yang tidak jelas.           Elan berdecak pelan, sempat menoleh kesal. Sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Noah sudah kembali atau belum.  “Bukan. Ini tentang orang yang Noah temukan. Kita harus meninggalkannya!”           Ketika Noah menemukan orang di tepi pantai tergulung ombak atau yang lebih jelasnya adalah terdampar. Pria itu langsung menggotong orang tersebut menuju ke bukit, memanggil teman-temannya meminta bantuan. Orang itu juga tak kunjung sadar dan sebabnya Noah membawanya ke rumah sakit.           “Memangnya, apa alasan mengapa kita harus meninggalkannya? Lagi pula, tidak ada salahnya membantu orang lain, ‘kan? Kecuali, kau memang suka melihat orang lain kesakitan.”             “Astaga, kalian ini tidak berpikir ya?” kesal Elan. Berkacak pinggang di hadapan Sonya. Sopan santun pria ini sepertinya sudah hilang. Dia tak malu diperhatikan oleh orang-orang.           “Aku setuju dengan Sonya.”             Pengakuan itu membuat Elan menoleh ke Samantha dan melebarkan matanya horor.             Samantha mengangkat tangannya, bermaksud agar Elan tidak langsung menelan mentah-mentah maksud perkataannya. “Jika Noah mendengar ini dia bisa memarahimu, Sayang. Aku tidak ingin dia memarahimu.”           Kali ini Elan menghela napas.  “Kita tidak tahu siapa perempuan itu dan bukankah itu bisa membahayakan kita di sini yang statusnya hanyalah orang asing? Berpikirlah lebih jauh!” jelas Elan dengan tampang serius.           Dua orang yang juga ikut duduk di  bangku ruang tunggu rumah sakit terlihat setuju dengan ucapan Elan. Sementara Samantha dan Sonya terlihat berpikir. Mereka masih setengah-setengah menyetujuinya.           “Apa maksudmu meninggalkannya?”           Semua kepala kini menoleh ke arah Noah yang baru saja keluar dari ruang UGD bersama 1 perawat yang mengikutinya dari belakang, kemudian melewatinya untuk entah pergi kemana.             Bukan hanya Elan yang  tampak terkejut  dan ketakutan, 4 orang lainnya juga merasakan hal yang sama. Masalahnya, anak atasan mereka ini sedikit sulit untuk dinasihati. Dia juga tukang marah. Bagaimana mereka tak ketakutan? Secara tidak langsung mereka ketahuan sedang membicarakan pria itu.          Noah melangkahkan kakinya dan berdiri tepat di hadapan Elan. Hanya berjarak 2 langkah saja.           “Kau pikir apa tujuanku membawa perempuan itu ke sini?” tukasnya dengan nada suara pelan tapi tegas.             “N—Noah, aku tidak—” Elan berusaha mundur perlahan.             “Jika aku berniat meninggalkannya. Aku sudah membiarkannya tergulung ombak hingga tak satu orang pun menemukannya,” lanjut Noah menjelaskan niatnya menolong perempuan itu.           “Maksudku bukan seperti itu!”             Samantha menepuk keningnya. “Apa yang dia lakukan? Bodoh sekali! Dia tak akan bisa mengelak keputusan Noah sampai kapanpun!” gumamnya. Kasihan pada kekasihnya.             Elan menambahkan, “Kita harus ingat bahwa tujuan kita di Korea adalah untuk urusan bisnis. Bagaimana jadinya jika keluarga perempuan itu datang dan mengira kita yang sudah mencelakainya?”           Semua tak memberi respon apapun. Samantha dan Sonya sudah mulai terlihat sependapat dengan Elan.           “Atau, bagaimana jika kita menyerahkannya pada pihak kepolisian saja? Ceritakan semuanya dengan jelas.” Samantha menatap temannya satu persatu. Berharap ada yang sependapat dengannya.           “Tidak. Itu saran buruk, Sayang. Justru kita akan terjebak lama dengan urusan itu. Siapa yang bisa memastikan polisi tidak akan curiga kepada kita?” tolak Elan mentah-mentah pada pendapat Samantha. “Mereka pasti akan mengira kita yang mencelakai perempuan itu.”           Walaupun Elan terkesan ngotot dengan pendapatnya. Semua orang selain Noah tampak setuju dengan pendapat pria itu. Elan kembali duduk di dekat Samantha dengan emosi yang masih bergelora.           “Pikirkan sekali lagi, Noah. Keputusanmu juga menentukan keputusan kami.” Elan menatap 4 orang di sampingnya satu persatu. Ekspresi mereka tidak bisa dijelaskan.           Noah berbalik menghadap Elan. “Jadi, maksudmu adalah kau tidak mau terlibat masalah? Itukan yang kau jelaskan sejak tadi?”          Mulut Elan siap untuk terbuka, tetapi Noah menyela. Satu tangannya terangkat ke udara.           “Aku tahu, ini bisa menjadi peluang buruk untuk kita semua. Tetapi, siapa tahu, ini juga bisa menjadi peluang baik? Setidaknya aku akan menyelamatkannya. Dia sendirian di pantai itu yang artinya adalah dia tak punya siapa-siapa di sini,” jelas Noah dengan gestur tenang. Walaupun sebenarnya dia cukup kesal pada Elan.           Bahkan Noah tidak tahu mengapa ia melakukan itu. Tiba-tiba saja jiwa kemanusiaannya keluar begitu saja. Dan … sebenarnya selain karena itu Noah merasakan sesuatu yang aneh.    Jantungnya berdebar dua kali lipat lebih cepat saat melihat wajah perempuan yang entah namanya siapa. Noah menemukan sosok Kylie di wajah perempuan itu.           Tetapi, bisa jadi juga debaran itu karena panik melihat seseorang terdampar di tepi pantai dalam keadaan tidak sadarkan diri.           “Noah! Ini bisa membahayakan kita. Aku tidak ingin membuat masalah di negeri orang!” Pria berkumis itu berdiri, menyuarakan pendapatnya dengan penuh amarah. Samantha sampai menarik pundaknya untuk kembali duduk.         Tetap saja, Noah  menolaknya.  “Di mana hati nuranimu Elan? Dia masih belum sadarkan diri dan kau meminta kami semua untuk meninggalkannya? Oke, silakan saja jika kalian semua ingin kembali ke hotel. Aku masih ingin bersama wanita itu,” putus Noah yakin dan meninggalkan ruang tunggu itu menuju ke ruangan Dokter.           Siapa yang tega meninggalkan wanita itu sendirian di rumah sakit ini? Tidak. Noah tidak akan melakukannya karena Noah tidak sejahat itu. ______________________________________________________________________________________________           Noah Pov __________________--           Untuk pertama kalinya dalam sejarah persahabatanku dengan Samantha sejak kami bersekolah di  SMA yang sama dan menjalin persahabatan—dia tak mau menuruti kemauanku. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana Samantha membelaku di depan Ayahku. Membantuku mendekati cinta pertamaku dan bagaimana Samantha selalu merasa aku yang benar di setiap keputusan yang Ayahku berikan untukku.             Ini pertama kalinya Samantha lebih mengikuti pendapat kekasihnya yang sebenarnya dia boleh-boleh saja melakukan itu. Selain Samantha dan Elan, Sonya serta salah satu asisten juga ikut kembali ke hotel. Asisten itu ikut lantaran aku memang menyuruhnya untuk menjaga mereka.           Aku memang cukup kesal. Tetapi aku tidak sejahat itu membiarkan mereka tanpa penjaga. Hanya ketakutanku saja yang membiarkan asisten berbadan kekar itu ikut bersama mereka. Dan membiarkan Sonya ikut dengan mereka karena sekali lagi, aku tidak mau mereka kesulitan.             Sementara aku, masih bisa mengandalkan skil bahasa yang kupunya.           Satu asisten lagi masih bersamaku. Duduk di kursi ruang tunggu bersama orang asing lainnya. Aku sempat melirik jam tangan. Ini sudah sore dan jam makan siang sudah terlewat. Kami belum mengisi perut sama sekali. Perempuan itu juga belum sadarkan diri. Dokter sudah menangani luka di wajah dan sekujur tubuhnya.           “Jika kau lapar, silakan cari restoran di sekitar sini. Cari restoran dengan kualitas bagus. Lalu, take a way dua makanan. Untuk-ku dan perempuan itu,” jelasku meminta pada asisten itu.             “Bolehkah membawa makanan untuk pasien?”             “Aku tidak yakin. Tetapi, lakukan saja. Mereka tidak akan tahu.”             Asisten itu mengangguk.           Kami harus mengisi perut. Meskipun perempuan itu belum sadar sampai sekarang. Tetapi sejak satu jam lalu, dia sudah dipindah ke ruangan biasa yang mana artinya, dia sudah baik-baik saja.             “Pergilah. Dan kembali sesegera mungkin.”           “Baik, Tuan!” Asisten itu mengangguk mantap. Dan segera keluar dari ruangan rumah sakit.           “Tuan, Noah?”           Panggilan dari suara perempuan itu lantas membuatku berbalik. Ada seorang perempuan dengan seragam perawat mendekatiku.           “Pasien di ruangan 189 sudah sadar. Anda bisa menemuinya.”           “Ah, benarkah?” Aku cukup terkejut sekaligus bersyukur. Setidaknya, setelah ini aku tidak perlu perang dingin dengan Elan. Maksudku, aku bisa meninggalkannya. Dan mungkin menghubungi keluarga perempuan itu untuk mengatakan bahwa putrinya mengalami insiden mengerikan.           Perawat itu mengangguk. Lantas pergi setelah aku mengucapkan kata terima kasih beberapa kali.           Kini, aku tepat berada di depan pintu ruangan 189. Di mana perempuan cant--- maksudku asing itu dirawat. Kakiku sempat terasa kaku. Aku bimbang, haruskah aku masuk atau … tidak? Tetapi, dia pasti membutuhkan seseorang, bukan? Bisa jadi dia mengalami trauma.           Jika boleh jujur, perempuan itu sebenarnya terlihat cantik jika mungkin lebam di wajahnya menghilang. Ya, wanita itu seperti habis dipukuli oleh seseorang. Dan aku merasa iba. Bagaimana seorang wanita cantik mendapat perlakuan seperti itu?           Ketika aku masuk dan membuat suara pintu terbuka, perempuan itu menoleh pelan. Tampak bertanya-tanya dan kebingungan tampak jelas di wajahnya. Jemarinya terlihat meremas kuat ujung spresi rumah sakit. Apakah dia ketakutan?           “Si—siapa kau?” Aku memaklumi nada suara ketakutan dari wanita itu. Tetapi itu tak membuatku mundur. Aku terus melangkah sembari memberi gestur menenangkan, dan akhinya aku berhasil berdiri di samping ranjangnya.           Dari jarak kami ini, wajahnya itu dapat kulihat dengan cukup jelas. Dia cukup … sempurna? Ah, entahlah … Yang pasti dia sangat cantik walau lebam menutup kulitnya. Matanya begitu bening dan indah, hidungnya dan bibirnya … sungguh maha karya Tuhan yang sangat mengaggumkan.           “Apa kau baik-baik saja?” Bodohnya aku justru mengabaikan pertanyaannya. Kurasa namaku tidak terlalu penting daripada kesehatannya.  “Maksudku, apakah ada rasa sakit di kepalamu? Tubuhmu… mungkin?”           Perempuan yang entah namanya siapa itu menggeleng pelan. Masih dengan raut wajah kebingungan. Tetapi mendengar dia baik-baik saja, aku justru merasa senang. Entahlah, aku hanya tidak ingin dia terluka. Ini hanya naruli sebagai seorang manusia. Kuharap seperti itu.           Mungkin, dia belum menyambutku dengan kepercayaan. Tetapi aku tetap memilih menemaninya. Kuputuskan untuk duduk di salah satu kursi yang tak jauh dari ranjangnya sehingga aku masih bisa mengamati wajah cantiknya itu dari jauh.           Kami terdiam dengan keheningan dan kecanggungan yang membungkus. Suara dari pendingin ruangan yang mungkin sudah cukup usang sedikit meramaikan. Cahaya matahari jingga yang masuk dari jendela cukup membuat suasana menjadi lebih tenang.           Tiba-tiba aku mendengar suara isakan tangis. Dan dalam refleks yang hebat, aku berdiri menghampiri perempuan itu. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menangis.           “Hei ada apa?  Apa lebam di wajahmu terasa sakit?” tanyaku panik. Aku sudah berdiri di sisinya. Sayangnya aku tidak bisa menyentuhnya takut membuatnya tak nyaman. Sehingga tanganku hanya mengambang di udara.           Dia menggeleng. Aku memang tidak melihat tangisan kesakitan di wajahnya.                   “Lalu, apa yang membuatmu menangis? Apa tempat ini membuatmu tak nyaman?”           Setelah kupikir lagi, sepertinya tidak. Di sini terasa sejuk dan ruangannya pun bersih. Semuanya tampak baik-baik saja selain pendingin ruangannya.           Perempuan itu menggeleng lagi. Cukup membuatku kebingungan.           “Aku … aku—” Dia sesegukan.           Melihatnya menangis seperti itu, terasa melukai hatiku. Aku sungguh tidak tahu apa yang membuatnya seperti ini.           “Sebentar, aku akan memanggilkan dokter---”           Dia menahan tanganku dengan cukup erat ketika aku hendak melangkah.   Dia menatapku dengan manik beningnya itu. Kami saling tatap untuk sementara.           “Aku … aku tidak tahu siapa diriku … dan apa yang sudah terjadi padaku!”   __________________________________________________________________________________________           “Bagaimana, Dok? Apa yang terjadi padanya?”           Tentu saja aku khawatir sehingga kakiku tidak bisa tenang. Mengetuk lantai terus menerus. Padahal perempuan itu bukan siapa-siapa. Atau mungkinkah aku sudah memikirkan perkataan Elan? Maksudku aku takut orang-orang atau keluarganya akan mengira akulah yang melukainya.           Aku duduk di kursi tepat di depan dokter yang menangani perempuan yang kutemkukan. Masih setengah panik. Kami sedang berada di ruangan dokter tersebut. Meninggalkan perempuan itu yang kini bersama satu perawat wanita. Pria ini memintaku untuk menemuinya setelah melakukan pengecekan pada—entah siapa namanya.           “Setelah dilakukan pengecekan lebih lanjut, perempuan itu mengalami benturan di kepalanya sehingga otaknya mengalami cedera. Dan itu mengapa dia tak dapat mengingat peristiwa yang sudah dialaminya dan bahkan tak bisa mengingat dirinya sendiri.”           Diriku mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Dokter tersebut.           “Maaf Dokter, tetapi bisakah Anda menyimpulkan apa maksud dari perkataan Anda?” Aku butuh sebuah kesimpulan. Tidak bisa menyimpulkan penjelasan Dokter ini yang cukup sulit untuk ku pahami.           Dokter itu menghela napas pelan. “Dia mengalami Amnesia.”           Jujur saja, aku terkejut. Ekspresi Dokter itu tampak prihatin. Tergambar jelas di wajahnya.           Amnesia? Itu berarti aku tidak bisa meninggalkan perempuan itu begitu saja karena dia bahkan tak tahu siapa dirinya, keluarganya dan dari mana dia berasal. Jika begitu, itu artinya, aku mungkin dalam masalah besar.           Aku tidak yakin Elan, Samantha dan Sonya setuju dengan keputusanku. Mungkinkah mereka mengizinkanku membawanya pulang? Dengan kekuasaanku mungkin aku bisa membungkam mulut mereka agar tak melapor pada Ayahku. Karena aku tidak tega meninggalkannya sendirian di sini.           “Apa yang bisa saya lakukan untuk mengembalikan ingatannya lagi, Dok?”           “Selain obat-obatan, kami bisa menyarankan terapi okupasi. Ini membutuhkan waktu yang intens.”           “Apakah itu bisa memastikan ingatannya kembali?”           Dokter itu tampak ragu. “Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Tetapi, bukankah Anda mengatakan bahwa Anda menemukan perempuan itu di tepi pantai?”             Aku mengangguk samar. Menggigit kecil bibir bawahku.             “Jika begitu, kurasa akan sulit melakukan terapi itu. Kami tidak tahu apa kebiasaannya, tempta-tempat yang akan mengulang ingatannya dan semacamnya. Setidaknya, kita membutuhkan satu orang yang tahu tentangnya.”             “Itu artinya, sulit mengembalikan ingatannya, Dok?”             “Sebagai Dokter di sini saya akan mengatakan tidak. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan. Terapi itu mungkin bukan satu-satunya. Saran saya adalah semakin banyak Anda mengajaknya ke suatu tempat, dia akan mudah untuk mengingat kembali.”           Aku terdiam. Memikirkan hal apa yang harus kulakukan. Dan apa untungnya jika aku melakukan saran Dokter ini?           “Baik Dok, terima kasih untuk informasinya. Aku akan memikirkannya lagi.”           Dokter itu mengangguk. Aku kembali menuju ruangan perempuan itu. perawat yang menjaganya lantas keluar dari sana. Ketika aku mendekat, perempuan yang entah namanya siapa itu menatapku dengan penuh harap.           Dia tak tahu siapa dirinya, rumahnya, keluarganya atau yang lebih jelasnya adalah dia tak tahu latar belakang hidupnya. Kami berdua terdiam cukup lama. Meskipun aku tahu dia menungguku menyampaikan informasi dari Dokter tadi.             Aku menghela napas pelan. Masih memikirkan apa yang harus kulakukan.           Entah kegilaan dari mana, tetapi sebuah ide gila tiba-tiba muncul dari benak-ku. Aku tahu, bisikan jahat ini dari iblis. Dan sifat iblisku anehnya menyetujui itu dengan lantang.           “Hei, kau akan baik-baik saja.” Aku hanya berusaha menenangkannya. Genggaman tanganku pada tangannya itu disambut dengan hangat. Dia menggenggamnya erat. Aku tidak tahu harus mengatakan apa padanya. Yang kutahu hanyalah dia pasti membutuhkan seseorang.           “Apakah Dokter mengatakan aku tidak mengingat masalaluku?”           Sedikit bersyukur karena bukan aku yang harus mengatakan lebih dulu. Tetapi melihat matanya berkaca-kaca itu cukup menyerang perasaanku. Aku mudah sekali terbawa suasana.           Aku tidak menjawab apa-apa selain hanya bergerak secukupnya.           “Apakah aku adalah orang terdekatmu?”           Satu hal yang baru kusadari. Sepertinya dia bukan penduduk asli di sini. Dia memakai bahasa yang sama denganku. Aku tidak butuh Sonya untuk menerjemahkannya. Mungkin, dia juga sama sepertiku. Sedang berlibur. Tetapi, di mana rombongannya? Atau mungkinkah dia sendirian? Ditinggal sendirian?           “Apakah kita punya hubungan khusus?” Suaranya terdengar menuntut.           Jemari tanganku yang bersembunyi di bawah kursi tak dapat berhenti bergetar. Tatapan polos wanita ini menghinopitsku lebih dalam.           Apa yang harus kukatakan?             “Atau kau hanya orang yang menolongku? Tetapi, mengapa kau sangat baik padaku?”             Bagaimana aku tidak semakin terdesak? Nada suaranya bergetar ketika mengatakan itu. sudah sangat jelas, dia pasti akan sedih ketika mengetahui bahwa aku hanyalah orang yang menyelamatkannya. Dia pasti akan memikirkan bagaimana hidupnya ke depan.             “Aku tidak mungkin sendirian, ‘kan?” Dia berkaca-kaca.             Aku tidak mungkin mengatakan iya karena bisa jadi itu membuat kondisinya semakin memburuk. Mengatakan Tidak juga membawa hubungan kami semakin jauh. Meskipun sebenarnya aku tidak begitu keberatan.             Perlahan, kuberanikan tangan ini mengusap satu tetes air yang berhasil terjun di pipinya. Aku mengulas senyum hangat, sehingga dia tampak tak cemas.           “Tentu saja.  Tidak perlu cemas, kau adalah Jasmine Lansonia. Kau adalah kekasih dari Noah Ellards. Dan itu adalah aku."             Deg!             Bisikan iblis dari mana yang sudah menggelapkan hatiku!          Aku pasti benar-benar sudah gila mengatakan hal seperti itu! ______________________________________________________________________________________________ Sampai jumpa di episode 15
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD