EPISODE|| Sudah Hancur

1905 Words
EPISODE 4 _____________________________________________________________________________________________             Langit semakin gelap dan kesadaran Noah semakin hanyut bersama wine yang larut  di dalam dirinya. Di balkon kamar lantai tiga,  Noah berdiri menghadap halaman depan rumahnya yang tampak sepi dan gelap karena lampu sekitar sengaja dimatikan olehnya.             Jauh di depan sana ada lapangan golf yang membatasi dengan rumah Noah adalah pagar besi setinggi 3 meter. Lapangan itu juga masih miliknya. Pekarangan rumah milik Noah ini seluas 5 hektar. Dia membangun semua fasilitas  yang Kylie inginkan. Seperti taman, satu rumah kaca untuk menikmati waktu malam hari ketika langit berbintang, lapangan golf, danau dan beserta jembatan menyebranginya. Dan bangunan lainnya yang sudah selesai di bangun.             Tentu tidak dalam satu malam Noah membuatnya. Namun, Noah dengan segenap hati menuruti semua permintaan Kylie. Ketika harapan itu musnah, harapan untuk bersama juga musnah. Rasanya, Noah ingin menghancurkan semua bangunan yang ada di sini untuk menghilangkan semua kenangan tentang Kylie.             Memang benar, Kylie sama sekali belum pernah kesini karena tempat ini nantinya akan menjadi kejutan untuk perempuan itu. Tetapi Kylie sendirilah yang menghancurkannya.             Noah menghela napas lelah. Dia belum punya rencana untuk esok hari. Apa saja yang akan ia lakukan dan bagaimana dia akan menghadapi orang tuanya jika besok ia memutuskan untuk pulang. Sulit untuk mempercayai diri sendiri, Noah ragu bisa menghadapi esok hari dengan luka di hatinya. Sementara dia saja masih merangkak dari rsa sakit yang terus menghantuinya.             Haruskah dia mengikuti semua aturan orang tuanya agar semua permasalahan di hidupnya satu demi satu terselesaikan? Meskipun mengorbankan dirinya sendiri? Haruskah Noah juga memaafkan Kylie dan pura-pura tidak tahu atas apa yang terjadi agar semuanya baik-baik saja? Haruskah Noah menutup mata dan menulikan pendengarannya dan menjadi orang bodoh agar semuanya tetap menjadi seperti apa yang Noah mau?             “Hei, Bung. Masih sulit berdamai dengan rasa sakit?” Tidak tega melihat sahabatnya murung, Elan berusaha mencari Noah. Untungnya, dia menemukan pria itu di sini.             “10 tahun mengenalku, kau pasti sudah mengenalku dengan cukup baik. Aku selalu memberikan sepenuhnya hatiku pada wanita yang kucintai—”             “Dan akan membenci sepenuh hatimu pada orang yang tidak kau sukai, ‘kan?” Noah menatap lekat Elan dengan keterdiaman. Tidak heran jika Elan tahu soal itu.             “Hei, Bung! Aku sudah lama mengenalmu. Aku tahu itu. Maksudku, akan sampai kapan kau berdebat dengan dua perasaan yang tidak pernah menyatu itu? Setidaknya pilihlah salah satu. Kau memutuskan untuk mencintai Kylie lagi atau kau akan membencinya? Tidak-kah kau kasihan pada dirimu sendiri? Dia pasti kebingungan untuk menentukan.”             Tidak ada tanggapan. Noah menatap ke bawah. Kedua lengannya bersandar di pembatas balkon. Elan menepuk punggungnya pelan.             “Berpikirlah dan tentukan sesuatu. Satu saran dariku yaitu jangan mengambil waktu terlalu lama karena lama-kelamaan kau akan nyaman di kondisi seperti sekarang.”             Noah menegakan posisinya dan menggeleng pelan. “Aku akan memutuskannya. Kurasa aku juga tidak ingin terjebak dalam rasa ini terus menerus. Sakit, tetapi aku juga tidak tahu harus bagaimana.”             Elan tersenyum simpul. “Itu lebih baik.”             “Di mana Samantha?”             “Ah, benar. Tadi aku berniat mengambilkan buah untuknya di dapur. Mengingat ini rumahmu, aku jadi khawatir dan mencari keberadaanmu dulu.”             “Tidak perlu mencemaskanku. Aku baik-baik saja.”             Elan mengangguk. “Aku percaya padamu. Kalau begitu, aku harus ke dapur untuk mengambilkan apa yang Samantha mau. Oh dan, jangan terlalu banyak minum. Kau sudah setengah teler.” Pria berkumis itu terkekeh, Noah tersenyum tipis.             Tepat ketika Elan meninggalkan balkon, sebuah mobil BMW masuk begitu saja ke halaman rumahnya dan berhenti di parkiran. Rumah ini dijaga oleh satpam. Tetapi anehnya, mengapa satpam tidak meminta izin padanya untuk membiarkan orang asing masuk?             Mengingat kembali siapa saja yang bisa melanggar apa yang Noah perintahkan. Dia langsung tahu, siapa di dalam mobil tersebut. Noah masih tanpa ekspresi. Matanya selalu saja menyorot tajam apapun, rahangnya selalu saja menegas. Seolah dia marah, padahal begitulah Noah.             “Dia selalu saja memperburuk suasana,” gumam Noah sembari menyibak kasar rambutnya.             Walaupun setengah malas Noah menemui orang itu, pada akhirnya Noah tetap turun dari lantai itu menuju lantai dasar.             “Hei, sepertinya ada mobil yang datang.” Elan baru saja keluar dari dapur bersamaan dengan Noah yang baru saja menuruni tangga. Mereka berhenti sebentar.  “Kau mengundang seseorang?” Elan menatapnya.             Noah menggeleng.             “Jangan-jangan Ayahmu?” tebak Elan sembari menenggak minuman kaleng di tangannya. Noah hanya menatap pria itu tanpa ekspresi. Kemudian, berlalu begitu saja diikuti oleh Elan.             “NOAH!!!”  Suara panggilan itu menggema di seluruh ruangan.             Noah menghentikan langkahnya di ruang tengah.  Elan juga ikut berhenti.             “Benar. Itu suara Ayahmu, ‘kan?” Elan memperhatikan eskpresi Noah yang tetap saja sama dalam kondisi apapun. Sepenglihatannya, Noah menjadi pendiam semenjak hubungannya dengan Kylie berakhir.             “Noah!!!” Panggilan itu semakin keras dan dekat jaraknya.             Ellards sudah masuk bersama dua pengawal di belakangnya. Langkahnya cepat menghampiri Noah. “Apa-apaan kau ini, huh?!” Ellards berkacak pinggang. Matanya membulat, wajahnya memerah padam. “Jujur padaku. Mengapa kau kabur dari perjamuan makan malam dengan keluarga Zelia dan kau juga mengatakan bahwa kau tidak setuju dengan perjodohan itu?!”             Sial! Ciuman di pipi Zelia dua hari lalu tidak memberikan efek apapun pada perempuan itu. Tentu jelas Zelia pasti melapor pada ayahnya karena bisa jadi perempuan itu tah kelemahan Noah adalah ayahnya sendiri,             Noah terdiam. Sama sekali tidak mengalihkan matanya dari wajah Ellards yang sangat menyeramkan. “Noah jawab! Kau sengaja membuat kami malu, bukan begitu? Dengan  sengaja menghilang selama 2 hari agar tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang kau lakukan huh?!”             Lagi-lagi Noah tidak menjawab. Dia hanya terus menatap ayahnya tanpa sedikitpun mengalihkan netranya. Sementara Elan yang berdiri di belakang Noah menatap was-was dua orang tersebut. Bagaimana jika terjadi pertengkaran hebat antara Ellards dan Noah? Dia terus melirik Noah dan Ellards secara bergantian. Ingin sekali melerai, tapi Ellards adalah bosnya dan Noah adalah sahabatnya. Tidak tahu harus membela siapa.               “Hei, katakan saja apa adanya, Dia pasti akan mengerti,” bisik Elan berusaha memberikan nasihat agar suasana tegang itu segera berakhir.             Namun Noah tetaplah Noah. Dia lebih suka berdiri di atas sepatunya senduri. Oleh karen itu jangankan mengangguk, Noah memilih tidak menanggapinya.             “Dan kau Elan ….” Pria paruh baya itu menoleh ke Elan.  Elan langsung berdiri tegap disebut oleh Ellards.             “Apakah kau ingin menyia-nyiakan hidupmu? Berteman dengan orang seperti Noah tidak akan membuatmu sukses di kemudian hari. Bukankah kau harus mengumpulkan banyak uang untuk pernikahanmu dengan Samantha? Apakah kau yakin terus bermain bersama Noah akan membuatmu sukses? Noah hanya beruntung karena dia mewarisi ilmu bisnis dariku. Kau hanya akan terus diajari caranya  berbohong dan ….”             Noah mendengus samar. Bagaimana ada seorang ayah seperti Ellards? Noah sangat letih mengepal jemarinya kuat-kuat. Menahan dirinya agar tidak membentak ayahnya sendiri. Atau bahkan melawan.             “Berhentilah mengikuti Noah. Dia tidak pernah dewasa. Otaknya masih anak-anak. Tukang marah dan susah diatur.” Mata Ellards melirik putranya kesal. “Kecuali jika kau ingin menjadi pria gagal sepertiny---"             “Diam!!” bentak Noah keras sampai membuat semua orang di sana terkejut.             Noah tahu itu salah. Tetapi, ayahnya sudah keterlaluan. Bahkan Noah tidak terkejut ketika mendapat tatapan murka dari Ellards.             “Kau tidak tahu banyak tentangku Ayah.” Noah menghapus jarak satu  langlkah di antara mereka.  “Kau hanya tahu bahwa aku selalu mengikuti semua aturanmu karena kemauanku yang mana adalah sebuah kesalahan besar. Kau salah paham, Ayah. Aku tidak sebaik dan sepolos itu menuruti semua kemauanmu dan Ibu.”             “Noah, kau?” tegur Ellards.             “Aku selalu mencoba sabar selama ini. Sayangnya aku bukan sepenyabar itu dan kesabaranku mulai menipis, Ayah. Di mana hatimu? Mengapa sedikitpun kau tidak mau memahami perasaanku! Kau pikir, aku ini apa? Oh, atau selama ini kau hanya menganggapmu sebagai alat bukan sebagai putramu?”             “Noah!!!” tegur Ellards setengah membentak. Pria itu mengeram. “Di mana sopan santunmu?”             Percuma.             Semua yang Noah lakukan itu percuma.             “Noah, sudahlah jangan bertengkar ….” Tangan Noah ditarik oleh Elan agar menjauh.             Mana pernah Ellards mendengarkan pendapat ataupun omongan Noah? Sama sekali tidak. Jadi, menyuarakan pendapatpun hanya akan menghabiskan tenaganya.             “Kau ini tidak pernah bersyukur! Sejak kecil Ayah selalu memberikan yang terbaik untukmu. Apa ini balasan yang kau berikan, huh?!”             Noah tersenyum miris. Selalu saja itu yang ayahnya bahas. Balas budi dan balas budi. Terkadang, Noah sampai tidak pernah menyangka orang tuanya meminta hal semacam itu.             “Sekarang. Cepat pulang! Malam ini akan ada pertemuan dengan keluarga Zelia lagi. Jika kau sampai memalukanku, ingat namamu tidak akan pernah ada di identitas keluarga kami!” Kalimat itu terdengar serius di telinga Noah.             “Maaf Tuan, tetapi Noah sedang setengah mabuk. Bukankah---”             “Elan, berhentilah membelanya. Kau tidak akan mendapat apa-apa.”             Mau tidak mau, Elan akhirnya mengatupkan mulutnya rapat-rapat.             Elan mendekat dan menepuk pundak Noah ketika Ellards dan dua pengawalnya pergi dari sana.             “Sabarlah, dan ikuti apa kata Ayahmu.”             “Ya, setidaknya agar aku tidak menjadi anak yang durhaka. Kalian berdua silakan menginap di sini. Aku mungkin tidak akan kembali lagi.” Setelah itu Noah pergi. Dia sudah letih berdebat dengan orang tuanya. ________________________________________________________________________________________             “Sayang, kita harus pulang.” Elan berjalan ke arah pemutar musik untuk mematikannya, sekaligus lampu disco di ruangan tersebut. Langsung lengang, ruangan masih sama berantakannya.             Duduk Samantha di sofa terusik. Dia menoleh dengan cepat. “Memangnya ada apa? Dan bagaimana dengan Noah?” Kernyitan di dahi mulusnya itu tampak jelas terlihat.             “Ayahnya baru saja datang. Untuk apa kita di sini jika Noah harus pulang bersama Ellards. Sebenarnya, dia menyuruh kita untuk menginap dan sudah jelas ada banyak kamar yang bisa kita tempati dengan bebas.”             “Lalu, mengapa kita harus pulang?” Samantha berdiri, meletakan gelas kaca ke atas meja. “Jika Noah saja mengizinkan kita. Mengapa kita harus repot-repot pulang?” Anehnya, meski sudah menolak untuk pulang. Samantha justru meraih jaket kulitnya di sandaran sofa.  “Sebagai sahabatnya, kurasa akan sangat tidak berguna jika kita hanya diam saja.”             “Maksudmu tentang Noah dan kesedihannya?”             Samantha mengapit lengan Elan dan mengangguk. Perlahan menuntut kaki mereka keluar dari ruangan itu.             “Mau bagaimana lagi? Kau tahu sendiri pria seperti apa Ellards.”             “Bagaimana, jika kita bawa kabur saja Noah? Maksudku, kita ajak dia berlibur tanpa harus meminta izin pada orang tuanya? Ayolah, sekali-kali kita perlu melanggar aturan. Kau tahu pepatah yang mengatakan bahwa aturan dibuat untuk dilanggar, ‘kan?” Bangga sekali Samantha mengatakan itu.             Tentu saja langsung mendapat tatapan tajam dari Elan. “Aturan ada untuk dipatuhi. Dari mana pepatah itu kau dapatkan? Sepertinya berteman dengan Noah membuatmu banyak melanggar aturan.” Elan menggelengkan kepala tidak habis pikir.             Samantha cemberut.             Sifat yang bertolak belakang dari Elan tentu mendapat penolakan. Samantha memang selalu sependapat dengan Noah. Perempuan 25 tahun itu selalu mendukung kemauan Noah. Dia selalu ada di kubu pria itu. Meskipun Elan juga sahabat pria itu. Namun, Elan selalu berusaha berada di kubu terbaik Noah. Tidak harus mendukung semua kemauannya yang belum tentu bagus.             “Sayang ….” Suara Elan berubah lebut karena wajah Samantha yang berubah menakutkan baginya.             Mereka menuruni tangga. “Dulu, kita pernah melakukannya, ‘kan? Dan terakhir kali, Ellards bahkan berniat memecat kita. Aku tidak mau itu terjadi. Karena jika itu terjadi, aku akan semakin kesulitan mengumpulkan uang untuk menikahimu.”                         Samantha luluh dan mengangguk sedih. Ada benarnya. “Benar juga. Baiklah, kita tidak perlu melakukannya. Yang terpenting, kita selalu ada di sampingnya.”             Elan menjentikan jarinya.  “Aku setuju 100 persen denganmu, Sayang!” Malam itu, mereka pulang, mengosongkan rumah megah tersebut.  ______________________________________________________________________________________________ Sampai Jumpa di episode 5
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD