Part 7

566 Words
"Aku hanya sekedar bantuin, Alia. Walau bagaimana pun Nana itu sahabatku, aku nggak bisa nutup mata lihat dia kesulitan, suaminya main serong dengan wanita lain, anaknya sakit butuh pengobatan. Aku nggak bisa buat nggak peduli, Al." "Kamu nolongin wanita yang di tinggal suaminya main serong dengan cara yang sama seperti yang suami wanita itu lakukan. Ckckckckck, selingkuh aja kebanyakan nama!" Aku bersedekap, menantangnya untuk menjawab lagi, dan sungguh aku sangat menikmati bagaimana Bang Dwika menyugar wajahnya dengan frustrasi, "aku nggak selingkuh, Alia. Aku hanya sekedar nolongin sahabatku." "Kalau gitu kenapa mesti diam-diam? Kenapa harus kamu kunci itu hape dan sembunyikan dari aku!" "Ya karena aku tahu kamu nggak akan izinin Alia, karena aku tahu kamu bakal marah ke aku kayak gini. Soal janjiku ke Nada, aku cuma mau besarin hatinya, Al. Anak itu terlalu kecil buat tahu gimana kondisi orangtuanya. Kamu itu paham nggak, sih?" "Nggak, aku nggak paham sama sekali sama jalan pikiranmu dan juga Nana. Di otakku bahkan kamu terdengar seperti orang yang sok mau jadi pahlawan kesiangan buat si Nana dan anaknya. Ngasih-ngasih uang ke istri orang, diiiih itu tangan sama kakinya nggak guna buat kerja sampai harus ngemis ke suami orang? Kamu nggak suka dengar aku ngomong kayak gini?" Tanyaku melihat alisnya mengerut, khas sekali Bang Dwika jika tidak menyukai sesuatu, selama ini mungkin aku sama sekali tidak di anggapnya selain penghibur untuknya dan ibu dari anaknya saja, tapi aku mencintainya, aku paham dirinya aku mengerti kebiasaannya bahkan terhadap hal sekecil apapun yang ada di dirinya? "Sama, aku juga nggak suka kamu dekat-dekat bahkan perhatian ke wanita dan anak selain aku dan Andika. Aku benci dan aku tidak suka! Dengan kamu berhubungan dengan wanita dari masalalumu itu kamu sudah menginjak-injak harga diriku sebagai seorang istri. Aku tidak masalah kamu membantu sahabatmu, tapi tidak dengan Nana. Tidak dengan wanita yang dulu kamu cintai!" Sama sepertiku yang sudah habis kesabarannya, Bang Dwika pun bangkit, kakinya hilir mudik di ruang tamu rumah kami, tentang apel, dinas pagi, dan mungkin kegiatan dengan anggotanya di Batalyon terlupakan begitu saja, sama sekali tidak pernah aku bayangkan dan pikirkan jika badai masalalu bisa menghantam keluargaku yang sempurna ini. "Terus kamu maunya gimana, Alia. Abang cuma bantuin Nana, dia sudah nggak punya orangtua, dia anak tunggal dan saat keluarganya bangkrut, keluarga suaminya dan suaminya sendiri ninggalin dia begitu saja, apalagi anaknya sakit, Alia. Ya sudahlah kamu nggak suka sama Nana, tapi apa kamu tega sama anaknya?" Bang Dwika ini lucu ya, bertanya apa mauku untuk masalah ini tapi pada akhirnya dia pun memberikan ultimatum jika dia tidak bisa mengacuhkan sahabatnya tersebut. Bukankah itu sama saja dengan dia yang tidak bisa meninggalkan sahabatnya? Semudah itukah Bang Dwika melupakan luka yang di torehkan oleh Nana? Hanya dengan rintihan tentang keadaannya yang menyedihkan, Bang Dwika langsung luluh? Apa kehadiranku sama selama ini sama sekali tidak di anggapnya sampai-sampai aku harus memaklumi kehadiran Nana kembali? "Kamu nggak tega sama Nana dan anaknya tapi kamu tega sama aku dan Andika! Pantas ya belakangan ini kamu nggak pernah ada waktu buat aku dan Andika. Aku diam saja tanpa komplain ternyata kamu diam-diam datengin tuh masalalu sialan! Kamu tanya mauku apa, mauku kamu nggak usah ada hubungan sama si Nana, perkara tuh anaknya sakit atau si Nana mati sekalian, nggak usah peduli, kalau kamu nggak bisa menuhin permintaanku, kamu yang akan kehilangan aku!" "..............." "Kamu melemparkan satu luka di hatiku, maka aku akan mencabik hidupmu sampai berantakan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD