Part 2

1835 Words
Pagi ini ia terlambat, cukup lama, hampir tiga puluh menit dari jam biasanya ia berangkat. Akhirnya ia bersiap diri dengan terburu-buru. Mungkin karena efek kelelahan semalam atau bisa jadi karena sedang sakit. Suhu tubuhnya tinggi, tetapi Reval harus tetap sekolah. Sweter yang hari ini ia gunakan langsung dipakai, lalu ia sampirkan tas di punggungnya. Setelah memastikan keadaan wajahnya di cermin, ia langsung menggunakan masker penutup mulut. Biasa, ia menutup luka yang semalam baru saja didapat. Reval mulai berjalan keluar, lalu menuruni anak tangga dengan perlahan. Saat jam segini, pastinya Revan dan Rangga sedang menyantap sarapan, dan pastinya juga Reval akan sulit menghindari. Lelaki itu berjalan santai, melewati ruang makan. Saat ini, dia tidak bisa menggunakan pintu dapur, karena area tersebut dekat ruang makan. Maka Reval berjalan ke arah pintu depan dan keluar dengan aman. Tidak ada yang melihat, mungkin saja. Reval menutup kepalanya dengan penutup kepala sweter. Padahal dia tidak sedang menghindari sesuatu. Biarlah, mungkin ia takut terhadap sinar matahari. Langkahnya masih setia membawa Reval ke arah halte terdekat. Setelah tiba, Reval masih harus menunggu bus yang datang lagi. Hal paling membosankan, tidak ada yang bisa dilakukan selain melihat pengendara motor dan mobil yang saling berlomba di jalan. “Tumben jam segini, biasanya pagi.” Orang yang berbicara tadi itu Sarah, teman sekelas Reval. Dia adalah cewek paling usil, menurut Reval. Maksudnya usil, Sarah kerap kali mengganggu Reval. Wajar saja, mereka berdua kan teman sejak lama. “Kesiangan,” jawab Reval seadanya. Tidak semua orang dapat berbicara dengan Reval. Bukan berarti Reval sulit mengerti ucapan orang, melainkan anak itu malas untuk menyahut, bahkan tidak ada niat untuk menjawabnya. Sarah termasuk orang yang dapat berbicara dengan Reval. Walaupun ia bilang Sarah usil, tetap saja Reval tahan dengan tingkah lakunya. “Lu udah ngerjain makalah, Val? Bantuin gua kalau udah, gua nggak bisa mikir kalau urusan makalah.” Reval melirik perempuan di sampingnya dengan heran. Apakah Sarah lupa kalau Reval masih bekerja paruh waktu? Jangankan mengerjakan tugas makalah, belajar saja hanya di sekolah. “Ih, Reval! Jawab, dong!” Reval menatap mata Sarah dengan tajam, membuat Sarah memberungut. “Gue tanya doang, nggak usah marah!” Tidak marah, Reval hanya bisa usil kepada beberapa orang, termasuk Sarah. Ia hanya ingin melihat Sarah marah, lalu sekarang ia tersenyum. “Lagian kalau udah, harusnya lu bantuin gua! Bayangin kalau cewek cantik seperti gua dihukum sama guru karena nggak mengerjakan tugas. Terus, citra gua sebagai cewek cantik akan tercemar nanti gitu? Tega lu sama gua?” “Bawel!” Mereka berdua terkesiap, suara orang di belakang mengagetkannya. “Maaf, kaget, ya?” tanya orang itu sambil tersenyum lebar. “Setan dari mana lu? Baru muncul langsung ngagetin! Lagian gua tanya sama Reval, ngapain lu yang jawab?!” ketus Sarah. Reval tersenyum tipis mendengarnya. “Biarin aja, gua kakaknya!” Senyuman Reval semakin lebar. Hanya ada dua pilihan, Reval senang atau Reval tidak percaya ucapan Revan. “Iri? Bilang aja!” “Kakak? Yakin lo kakaknya? Bukan lo adiknya? Selama ini Reval mulu yang jagain lu, tuh!” sindir Sarah. Mendengar ucapan Sarah, Revan lngsung melipat tangan di d**a dan kemudian terdiam.  “Sar!” tegur Reval. Dia menggeleng di hadapan Sarah. Sarah menatapnya juga, dengan tatapan kesalnya. “Kenapa? Kenyataan!” Reval membiarkan Sarah yang masih asyik dengan sumpah serapahnya. Ia menatap Revan sekarang. “Ada apa Tuan Revan ke halte bus? Mobilnya mogok?” Revan memberungut, tatapannya terlalu tajam untuk dikatakan sebagai candaan. Kemudian dia menghela napas kasar. “Memangnya gua nggak boleh pergi ke sekolah naik bus?” Reval mendengkus, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jalanan. “Nggak usah bersikap begitu!” tegur Revan. “Gua masih sadar dengan yang gua lakuin sekarang.” Tidak lama kemudian, bus yang melayani rute 08 datang. Penunggu bus yang lain mulai berdiri, berjuang agar bisa masuk terlebih dahulu. Reval langsung menggenggam tangan Revan, kemudian menariknya hingga berhasil masuk ke dalam bus tersebut. Sebenarnya, ini pertama kali mereka berangkat bersama, apalagi menaiki bus bersama. Biasanya Revan selalu membawa mobil. Ada rasa menggelitik di perut Reval saat menyadari hal itu. “Sini!” Sarah sudah berdiri di dekat bangku tiga tempat. Cewek itu memang lincah, batin Reval. Reval menarik Revan ke arah bangku itu, lalu mempersilakan Revan agar duduk terlebih dahulu. Wajah Revan berkeringat, sepertinya dia tidak nyaman. “Buka jendelanya kalau gerah!” “Nggak mau! Nanti kotoran banyak yang masuk!” sanggah Revan. Dia mengibaskan tangannya, berusaha memberikan rasa sejuk di wajahnya. “Lagian, udah enak-enak punya mobil, malah mau naik bus!” cibir Sarah sedikit berbisik. “Kena kuman tahu rasa lu!” Reval yang berada di tengah-tengah masih menahan tawa. Ia senang bersama mereka berdua. Mungkin akan canggung kalau hanya Revan yang bersamanya. Reval menoleh menatap Revan yang sedang kegerahan. Wajar saja, bus yang mereka tumpangi tidak dilengkapi dengan fasilitas pendingin ruangan. Lalu, Reval mengeluarkan sapu tangan dari sakunya. “Ini!” Reval menyodorkan sapu tangannya. “Pakai ini.” Revan menatap Reval dengan bingung. “Untuk apa? Lagian itu punya lu, bukan punya gua.” “Buat gua kalau nggak mau.” Sarah langsung merampas sapu tangan itu dengan sigap. “Sini buruan!” Revan mengancam Sarah dengan tatapan matanya. “Buruan!” Reval tertawa kecil melihat ekspresi Revan. Seperti kehilangan benda berharga saja. “Eh, Reval ngasih buat gua!” “Ya ... lu tadi diem aja.” Sarah menyelesaikan aksi menyeka keringatnya. “Mau?” Revan kembali ke posisinya, lalu memberungut. “Terima kasih.” Reval mulai memejamkan matanya. Lima belas menit untuk tidur lebih baik dari pada harus melihat kedua orang di dekatnya bertengkar. Revan melihatnya, ia menyenggol pelan lengan Reval. “Kok lu tidur?” Reval bergeming, dia masih saja memejam. Biarkan Revan mengganggunya, saat ini ia benar-benar masih mengantuk. “Bangun!” seru Revan. “Nanti kelewatan!” “Berisik! Biarin aja dia tidur, ganggu aja!” Reval tersenyum tipis lagi. Pagi ini benar-benar kebahagiaan untuknya. Namun, dalam hati Reval berharap tidak ada orang yang mengintainya. Tiba di halte sekolah, Sarah langsung membangunkan pelan Reval. Mereka akhirnya turun dari bus. “Besok-besok bareng gua aja!” usul Revan kesal. “Lu nggak perlu capek-capek kayak tadi! Tinggal duduk manis di samping gua, sampe deh ke sekolah.” Sarah meledeknya dengan gimik bibir yang terus berucap. “Manja! Maunya naik mobil terus.” “Sirik aja, sih!” Reval malas menanggapi. Dia langsung meninggalkan kedua orang tadi tanpa bersalah. Revan menyejajarkan posisinya dengan Reval. “Pokoknya gua akan bilang ke Ayah—“ Reval berhenti berjalan. “Gue lebih suka naik bus, membantu mengurangi polusi udara.” Sarah langsung tertawa. Reval juga ikut tersenyum melihat ekspresi Revan yang kesal. Sedangkan Revan malah melipat tangannya di depan d**a. “Kenapa lo nggak pernah nyenangin hati gue sekali aja, sih?” Raut wajah Reval langsung berubah. Dia berjalan dengan cepat sekarang, meninggalkan Sarah dan Revan di belakang. Sarah langsung menyenggol lengan Revan dengan keras.  “Reval ... sorry?” kata Revan sesaat setelah Reval berhenti lagi. “Gue minta maaf.” “Buruan masuk!” ^^^ “Seminggu lagi pengumuman pemenang.” Reval mendengar omongan Alvin, tetapi dia malas menanggapi. Sesaat kemudian ia mulai berdiri, hendak meninggalkan kelas. “Lu duluan aja, Vin.” Alvin bergeming. Dia menatap Reval  dengan bimbang. “Gua nanti aja bareng lu. Ayo ke lapangan!” Alvin langsung berjalan mendahului Reval. Mereka berjalan keluar kelas. Seperti biasa, Sarah mengikutinya dari belakang. Reval sebenarnya tidak masalah, tetapi Alvin agak kesal dengan tingkahnya. “Tunggu!” Reval tidak memedulikannya. Ia terus saja berjalan. Alvin justru berhenti. Mereka berdua akan bertengkar kalau dibiarkan saja, tetapi Reval tidak memiliki waktu untuk melerainya. Setelah sampai di tribun gedung olahraga, Reval langsung mengambil posisi duduk. Ia sempat menoleh, ternyata Alvin gagal menghentikan Sarah. Reval lupa, Sarah memang sulit untuk dihentikan jika sudah kemauannya, walau pertengkaran tetap terjadi. “Gua nggak akan rusuh, Val,” kata Sarah yang duduk di sampingnya. “Janji, deh.” Reval menghela napasnya. “Terserah,” jawabnya tak acuh. Alvin langsung duduk di samping Reval, lalu menyenggol lengannya. “Dia main basket, tuh!” kata Alvin sewot, bola matanya membulat. “Dasar nggak tahu diri!” Reval tidak menjawab, mengeluarkan ekspresi juga tidak. Dia hanya menatap kembarannya yang berlari-lari di lapangan. Pikirannya melayang, menimang beberapa hal yang akan ia lakukan. Reval mendengkus kemudian tersenyum tipis. “Biarin aja.” Dia seharusnya menarik Revan dari lapangan. Mengistirahatkan Revan, kemudian menasehatinya. Revan tidak boleh terlalu lelah. Itu yang seharusnya Reval lakukan. Namun, cowok itu justru membiarkannya saja. “Tumben. Biasanya lo orang nomor satu yang ngelarang dia main basket, atau futsal.” Sarah memulai pembicaraan. “Lo nggak lagi kesambet, kan?” Reval menggeleng pelan, ia sadar dengan perbuatannya. “Nanti juga akan berhenti kalau dia lelah.” Padahal dalam hati, Reval terus berharap agar tidak ada hal buruk yang terjadi pada Revan. Berkali-kali ia menelan ludah sendiri, menghalau rasa khawatir yang kian hadir dalam dirinya. "Inget, Val!" Alvin menepuk pundak Reval. Reval selalu ingat. Tidak mungkin ia melupakan kejadian yang dialami olehnya sendiri, tidak mungkin ia lupa. Reval masih mengingat kejadian itu, tersimpan rapi di sudut otaknya. “Are you okay?” Sarah kembali menegur Reval, kali ini tatapannya sendu. “Kalau nanti dia drop, lo juga yang repot, Val!” tegur Alvin. Mereka berdua mengkhawatirkan Reval, sedangkan Reval tidak mengkhawatirkan dirinya. Ia justru mengkhawatirkan kembarannya jika hal buruk terjadi pada Revan. Suatu hal yang sangat bertolak belakang. Revan mulai kelelahan. Terlihat dari atas, napas Revan mulai tersengal-sengal. Reval langsung berdiri dan berlari menuruni anak tangga. Dalam sekejap, ia sudah di dekat lapangan. “Revan!” teriak Reval menggema. Revan terjatuh di lapangan, ia langsung berlari menghampiri kembarannya yang pingsan dan membelah kerumunan orang yang masih menatap Revan tanpa niat membantu. “Bodoh! Seharusnya kalian tolong!” Reval langsung membawa saudaranya, kemudian meninggalkan orang yang masih menatapnya dengan perasaan bersalah. Reval bahkan melupakan Sarah dan Alvin. Tujuan utamanya kali ini hanya UKS. Petugas UKS langsung berdiri ketika Reval hadir dengan tangan menggendong Revan. "Siapa itu?" tanya petugas UKS yang sedang menjaga. "Revan, ya?" Reval tidak menjawab pertanyaan petugas UKS. Dia langsung merebahkan Revan di tempat tidur. Setelah itu, ia menggeledah lemari yang berisi obat-obatan. Ia menemukan minyak kayu putih di sana. Tanpa memedulikan petugas UKS, Reval melakukannya sendirian. Dia hanya ingin kembarannya sadar. Walaupun tidak mungkin secepat itu Revan sadar. Sarah dan Alvin baru tiba. Mereka langsung berdiri menatap Reval yang merawat Revan dengan telaten. Reval mulai menyeka keringat kembarannya. "Pingsan juga," katanya sambil tertawa kecil. "Maaf jadi buat kalian repot tadi." “Nggak repot sama sekali, Val.” Sarah menanggapi. “Sekali-kali lo ingetin dia, Val! Dia harus sadar kalau dia bukan seperti anak sehat yang lainnya,” ucap Alvin sewot. Reval hanya bisa tersenyum, tanpa ada niat untuk menjawab. Seandainya Reval memiliki hak untuk berbicara begitu, mungkin sudah Reval lakukan sejak dulu. Sarah menyenggol lengan Reval. “Perlu gue yang bicara? Barangkali lo nggak mau lihat dia sedih.” “Nggak perlu!” sanggah Reval cepat. “Kalian nggak perlu ikut campur masalah ini.” *** To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD