Chapter 03; Deep Mist

2108 Words
Bunyi hentakkan antara kapak dan bongkahan kayu besar itu terdengar nyaring, menggema di pagi yang sunyi bahkan seperti menghentikan burung-burung yang sedang asyik berkicau. Sejak datang ke gudang itu Rodin hanya sendirian, tidak biasanya juga Arian belum datang hingga jam segini? Padahal jika diingat, sahabatnya itu selalu datang lebih cepat satu jam sebelum dia yang datang kemudian, bahkan tak jarang saat Rodin sampai, Arian sudah memotong dua sampai tiga bongkahan besar kayu menjadi ptongan-potongan kecil yang siap diikat untuk dijual. Berkali-kali Rodin melihat ke ujung jalan, tetap saja tak ada bayangan pemuda itu tampak di sana. Pagi ini memang tidak seperti pagi biasanya, embun terlihat lebih tebal membentuk kabut yang cukup pekat sampai-sampai pemuda ini harus memakai jaket ganda untuk menghalau udara dingin yang cukup mengigit  pagi ini. Sambil menunggu Arian datang, Rodin kembali membelah bongkahan kayu besar di depannya. Hari ini mereka harus memenuhi pesanan lagi meski tidak terlalu banyak tapi tetap harus terselesaikan hari ini juga. Tapi, entah kenapa dia merasa kalau pagi ini memang cukup sunyi dibanding pagi-pagi sebelumnya. Kabut yang menutupi desa seolah membuat pemandangan hutan yang terbentang di hadapannya terlihat semakin mengerikan. Rodin mungkin tidak pernah masuk ke dalam hutan itu tapi, dia tahu kalau hutan itu memang mengerikan. Dia sering mendengar dari Arian kalau di dalam sana tidak pernah ada apapun kecuali pohon-pohon tinggi yang menggoda untuk segera ditebang, tapi tetap saja dia takut kalau berada ditempat ini sendirian. Terlebih dengan legenda yang sudah dipercayai desa ini selama puluhan tahun. "Kuharap anak itu tidak lupa kalau dia masih punya pekerjaan di sini." Rodin setengah menggerutu. Karena ini sudah terlalu siang dan pekerjaan mereka tidak akan selesai kalau hanya dia saja yang mengerjakannya. Mengabaikan rasa jengkel yang mungkin bisa menghilangkan semangatnya mencari uang hari ini, Rodin memilih untuk kembali membelah gelondongan kayu-kayu itu agar bisa dia jual nantinya. Suara hentakkan antara kayu dan kapak terus menggema seolah memberitahu kalau di tempat itu masih ada makhluk hidup. Seolah tak mau kalah dengan apa suara yang dikeluarkan Rodin, dari arah dalam hutan, sayup pemuda ini mendengar suara gesekan antara dahan pohon dengan sesuatu. Bergemerisik, membuat suara bising yang samar namun bisa Rodin dengar jelas saat dia menghentikan sejenak pekerjaannya untuk mendengarkan suara-suara itu. Gemetar, sambil memegang erat kapak di tangannya, Rodin mengantisipasi kalau-kalau dia harus menggunakan benda itu untuk menyerang sesuatu yang akan menyergapnya dalam pekat kabut di sana. Zrask. Rodin tersentak saat dia mendengar suara benda dijatuhkan tepat di bawah kakinya, sontak dia mengangkat tinggi kapaknya bersiap menyerang tapi, Rodin berhenti saat dia melihat Arian di sana sambil tersenyum lebar seolah tak melihat bagaimana pemuda ini hendak mengayunkan kapak ke arahnya. "Sabar! Aku bukan kayu! Itu yang kayu!" Tunjuk Arian penuh canda ke arah potongan kayu yang sudah lebih kecil dari sebelumnya. berterimakasihlah karena itu berkat kerja keras Rodin dalam satu jam terakhir. "Kau? Apa-apaan itu?" Tanya Rodin sedikit kesal setelah tahu kalau yang hampir membuatnya mati ketakutan adalah Arian. Masih dalam ketakutan, Rodin mencoba mengatur irama jantungnya setelah yang nyaris membuatnya menghantamkan kapak itu di adalah Arian dan bukan makhluk mengerikan yang dia takutkan. Bukan hanya Arian, Rodin juga melihat bungkusan kain cukup besar di dekat kakinya setelah dia menaruh kapak tadi di tanah. "Kau bawa apa itu?" Tanya Rodin dan dijawab anggukan puas Arian. "Aku membawa makanan dan sedikit s**u panas." "s****n, kenapa kau datang sesiang ini?" Umpatnya untuk rasa takut barusan. "Ah, itu ... aku, bangun agak telat, semalam tidurku pulas." Bohong Arian sambil melihat ke dalam hutan di mana kabut terlihat lebih tebal di sana seolah membuat kegelapan lain yang mengerikan. Arian mengigit bibir bawahnya saat bayangan semalam masih terekam nyata, saat dia melihat sosok mengerikan yang datang mendekatinya dan nyaris mengunyahnya hidup-hidup. Bahkan dia masih bisa merasakan bagaimana napas makhluk itu terdengar sangat berat dan sangat panas menyentuh kulitnya, mendengus, dengan liur yang menetes deras dari sela gigi-gigi taring setajam belati yang siap menembus daging dan mungkin saja bisa mengoyaknya saat itu juga. Tapi Arian beruntung karena dia masih dibiarkan hidup hingga sekarang. "Hei, Rodin...," Panggil Arian setelah Rodin menghentikan kegiatannya dan memilih membuka bekal makanan yang dibawa Arian dan meminum s**u panas yang dibawa pemuda itu, "menurutmu, legenda itu nyata?" Lanjut Arian tak yakin dengan pertanyaannya. "Legenda? Apa maksudmu?" Jawab Rodin diikuti pertanyaan sambil menyeruput perlahan s**u panas yang dibawa Arian dari sebuah gelas kaleng. "Maksudku, tentang dia yang kalian sebut Alpha itu?" "Kenapa? Kau mulai percaya pada legenda itu?" Rodin menebak. "T-tidak, bukan, maksudku ... kenapa mereka menyebutnya Alpha? Pasti ada alasannya bukan?" Rodin terdiam sejenak. Dia mencoba mengingat apa yang orang-orang pernah bilang padanya tentang hutan tersebut, legendanya dan hal-hal lain yang membuat mereka semua takut untuk masuk ke dalam sana selama puluhan tahun. Setelah cukup mengingat, Rodin melirik Arian dari balik cangkirnya, kabut memang cukup tebal pagi itu tapi sama sekali tidak menutup kalau raut khawatir tergambar jelas di wajah Arian. "Aku tidak tahu." Jawab Rodin singkat. Namun, tidak memberikan kepuasan sama sekali untuk Arian. "Tapi ... aku ingat kalau dulu bibi Joan pernah bercerita tentang makhluk itu," lanjut Rodin meski tak yakin. "Ibuku?" Rodin mengangguk sambil mengeratkan letak jaket yang dia pakai. "Dulu aku hanya iseng bertanya dan bibi bilang kalau tinggi makhluk itu sekitar dua atau tiga meter, berwajah serigala, punya sepasang cakar dan dua kaki." "Maksudmu, dia sejenis Werewolf? Seperti dongeng dari Jerman itu?" "Hei kawan, kita juga masih disekitar Eropa meski kita berada di perbatasannya, kau lupa?" "A-ah, kurasa...," Arian menggaruk pelipisnya. Dia tahu ini konyol tapi, apa yang dia lihat semalam sama persis seperti yang dikatakan Rodin. Wajah makhluk itu persis seperti serigala, dengan cakar yang panjang dan napas baunya yang menyengat. Dia masih ingat bagaimana takutnya dia saat melihat makhluk itu bergerak mendekat ke arahnya. Mengendusnya yang tidak bisa bergerak sama sekali. Bahkan Arian lupa betapa dinginnya malam itu setelah ketakutan membuatnya bermandikan keringat. Dia bahkan masih bisa mengingat saat makhluk itu meraung ke arahnya seperti berniat menelannya hidup-hidup. "Lalu," Arian menghentikan ingatannya saat Rodin kembali bersuara, "dari cerita yang kudengar, dia menguasai semua wilayah di hutan, menandainya, dan menjadikan hutan di sana itu sarang para serigala." "Se-serigala? Yang benar saja? Aku tidak pernah melihat serigala di sana! Jangank-" "Jangankan seekor kelinci sekalipun?" Rodin memotong, "itu karena hewan kecil macam itu sudah pasti dihabisi oleh mereka lebih dulu. Makanya kau tidak bisa menemukan mereka di sisi hutan di manapun." Arian meneguk ludahnya paksa. Dia tidak tahu kalau dia benar-benar sudah masuk ke dalam tempat yang sangat berbahaya. Sekarang dia ragu untuk tetap melanjutkan pekerjaan yang mungkin akan membunuhnya suatu hari nanti dan membuat mayatnya tidak akan ada siapapun yang bisa menemukan karena habis dimakan makhluk buas itu. "Namanya, makhluk itu benar-benar bernama Alpha?" Sekali lagi Arian coba meyakinkan pertanyaannya. "Aku tidak tahu, mereka menyebutnya begitu karena mereka bilang kalau semua serigala di sana tunduk padanya. Kau tahu, pemimpin kawanan itu biasanya disebut Alpha, bukan? Kurasa dari sana sebutan itu berasal, bisa jadi itu menjadi namanya sampai sekarang." "Tapi itu hanya titel untuk hewan?" "Lalu menurutmu, apa makhluk itu terlihat seperti manusia?" Arian meneguk ludahnya setelah Rodin selesai. Mungkin Rodin benar saat mengatakan kalau makhluk itu tidak seperti manusia, karena di mata Arian makhluk itu memang bukan manusia, tentu saja dengan taring tajam dan kuku cakar yang sangat tebal dan siap menembus daging setebal apapun. Dan dengan gambaran fisik seperti itu, siapapun tidak akan pernah bisa menyebutnya manusia. Hanya saja, dari sekian banyak cerita yang beredar di desa ini, Arian tidak pernah tahu alasan sebenarnya kenapa makhluk yang mereka beri nama Alpha itu bisa terus hidup hingga sekarang? Benarkah semuanya karena kutukan? Atau mungkin semuanya memang hanya halusinasi yang muncul karena ketakutannya? Karena ... sehebat apapun kutukan tetap tidak akan pernah membuat sesuatu tetap abadi. "Oh ya, kemarin aku dapat dua pesanan baru." Rodin mengalihkan pembicaraan mereka. "Apa? Tapi, kayu kita tidak cukup untuk itu." Jawab Arian spontan. Rodin menaikan alisnya sambil menatap Arian sinis saat dia mendengar kalimat yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. "Ke-kenapa?" Rodin menggeleng setelah menyeruput s**u panas yang mulai hangat di gelas miliknya setelah mendengar jawaban Arian. Rasanya, hari ini Arian sedikit berbeda di mata Rodin. Pemuda yang yang biasanya akan selalu sigap saat mendengar kalau uang akan datang ke dalam kantongnya, sekarang malah seperti enggan membiarkan kepingan itu masuk dan membuat saku celananya melorot karena penuh. "Kau bisa menebang sebatang pohon lagi, bukan?" Arian tersentak. Wajahnya pucat seketika saat Rodin menyarankan sesuatu yang rasanya mustahil dia lakukan sekarang. Sekali lagi, Arian meneguk ludahnya paksa sambil melirik ke arah dalam hutan yang masih gelap tertutup kabut. Sungguh, apa yang dia lihat semalam benar-benar membuatnya ingin berhenti dari pekerjaan ini. Bahkan saat pagi datang pun, Arian sempat berpikir kalau dia tidak akan pergi lagi ke gudang ini tapi saat dia ingin berhenti sekarang, kebutuhan hidup kembali mendesaknya lalu dari mana dia akan dapat uang untuknya juga untuk membeli obat-obatan untuk ibunya? Sementara menjadi kuli angkut di pasar tidak pernah bisa mencukupi biaya hidup mereka? Mungkin benar, Arian memang tidak punya pilihan lain untuk mendapatkan uang lebih banyak dari pekerjaan selain ini. "Berapa pesanan yang kau dapat?" Tanya Arian setelah memantapkan hatinya. "Tidak banyak, mungkin sebatang pohon yang tidak terlalu besar cukup." Arian melirik sedikit ke dalam gudang yang berisi banyak potongan-potongan kayu yang siap diantarkan pada orang-orang yang memesannya jauh-jauh hari, dan jika dihitung keseluruhan, sebenarnya itu hanya cukup untuk dijual dan tidak untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri untuk puncak musim dingin nanti. "Persediaan kita juga sudah tidak ada, bukan?" Tanya Arian setelah selesai mengkalkulasi. "Kau mau menebang yang besar?" "Kurasa kita butuh sedikit lebih banyak untuk di rumah, aku tidak ingin pergi lagi ke hutan di puncak musim dingin nanti." "Baik, ini untukmu!" Rodin melempar kapak yang berada tak jauh darinya sejak tadi tepat di sebelah kaki Arian. Arian akui kalau dia dia takut untuk masuk lagi ke dalam sana, tapi dia akan ke lebih takut kalau dia tidak bisa membeli obat lagi untuk ibunya. Jadi, yang Arian lakukan sekarang hanya menekan sekecil mungkin ketakutan yang dia rasakan untuk masuk lagi ke dalam hutan agar bisa terus mendapatkan uang. Setelah menghabiskan s**u dan makanan yang dia bawa, Arian mulai masuk ke dalam hutan dengan peralatan biasa yang selalu dia bawa setiap dia mau menebang pohon, sebilah kapak dan sebuah gergaji juga nyali yang susah payah dia kumpulkan. Dengan semua persiapan mental yang dia kumpulkan lebih banyak dari peralatannya, Arian mulai berjalan memasuki lebatnya hutan penuh kabut. Kabut tebal yang menyelimuti hampir seluruh wilayah itu memang perlahan mulai menghilang, kendati demikian tidak membuat hutan itu berangsur dikelilingi cahaya matahari. Setelah apa yang dia lihat semalam, Arian pikir kalau dia tidak ingin pergi terlalu jauh ke dalam hutan, Rodin juga bilang kalau pesanan mereka kali ini tidak terlalu banyak bukan? Jadi pohon muda pun tak masalah, bukan? Dari tempatnya berdiri, Arian masih bisa melihat Rodin dan mendengar bagaimana sahabatnya itu sudah mulai memotong balokan kayu jadi lebih kecil. Sementara dalam hatinya, Arian berharap dia tidak akan pernah bertemu dengan makhluk yang dia lihat semalam lagi. Setelah memilah, Arian pun menemukan pohon yang bisa dia tebang dengan cepat dan mungkin masih akan ada sisa untuk persediaan puncak musim dingin nanti. Tanpa menunggu apapun, Arian langsung memulai pekerjaannya, Berbekal kemahirannya menebang pohon selama bertahun-tahun, mungkin Arian bisa dikatakan cekatan dalam hal tersebut. Buktinya, tak butuh waktu lama bagi Arian untuk bisa membuat sebatang pohon nyaris terputus dari pangkalnya. Zrask. Suara gesekan daun kering terdengar sangat jelas ditelinga Arian, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan kalau dia hanya mendengar angin bermain dengan daun-daun kering seperti biasanya. Dilihatnya sekeliling, tidak ada apapun di sana kecuali pohon, pohon dan pohon. Tidak ada yang aneh, kecuali kabut yang awalnya tipis sekarang kembali berubah tebal, bahkan lebih tebal dari sebelumnya. Sambil menggenggam erat kapak di tangannya, sekali lagi Arian meneguk ludahnya paksa. "Rodin?" Teriak Arian dengan suara gemetar, berharap sahabatnya itu mendengar dan menghampirinya. "Rodin? Kau dengar aku?" Teriak Arian lagi, tapi tak ada jawaban. Kepanikan seperti benar-benar membungkus Arian saat ini. Dia terus meremat gagang kapak di tangannya sambil bergerak ke arah di mana dia datang tapi, betapa terkejutnya dia saat dia tidak lagi bisa melihat Rodin di sana, bahkan gubuk gudang tempatnya menyimpan kayu-kayu pun sama sekali tidak bisa dia lihat, semuanya hanya kabut dan pohon. "Rodin? Rodin?" Teriak Arian sambil bergerak menjauh dari tempatnya berdiri. Masih sambil memegangi kapak di tangannya, Arian mencoba menghindar dari sesuatu yang mungkin bisa membuatnya mati. Tapi, kepanikannya membuat Arian nyaris kehilangan fokus. Beberapa kali kakinya tersandung akar pohon hingga akhirnya membuatnya jatuh, masih dipenuhi ketakutan, Arian mencoba bangun bahkan saat sepasang telinganya kembali mendengar gemerisik daun kering bergesek di antara tanah. Ketakutan kembali menyerang Arian saat suara itu bergerak mendekatinya. "Pergi!" Racau Arian sambil mengacungkan kapak kesembarang arah, "kubilang pergi!" "Sedang apa kau di sini?!" _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD