Chapter 02; The Story Of The Carpenter

1981 Words
"Hei, Arian?" Panggil pria tua itu sambil menjinjing seikat besar jerami kering yang dia kumpulkan dari ladang gandum yang tak jauh dari tempat Arian membuat kayu-kayu bakar. Pria tua itu bernama Carl, dia bukan pemilik ladang gandum, hanya saja Carl selalu berhasil mengumpulkan banyak jerami kering untuk wadah ternak ayamnya. Dan kali ini, pria tua itu membawa pesanan Arian, seikat besar jerami kering. "Hanya ini?" tanya Arian penasaran. "Untuk tiga ekor ayam yang bertelur tak lebih banyak dari kotoran yang mereka keluarkan setiap hari kurasa itu lebih dari cukup." Jelas Carl sambil melempar jerami itu kesal ke hadapan Arian yang dibalas kekehan kecil pemuda itu. "Ayolah, berkat kotoran mereka aku bisa menanam sedikit sayuran di belakang rumah." Canda Arian melepas kapak di tangannya dan memilih duduk sejenak sambil menyeka keringat. "Sayur dari kotoran ayam? Tak bisa kubayangkan rasanya seperti apa." Carl bergidik jijik. Sekali lagi, Arian hanya terkekeh. Meski ucapan Carl selalu tidak enak terdengar di telinganya tapi pria tua itu adalah orang yang cukup perhatian pada keluarganya. Bahkan saat dia sedang butuh beberapa keping uang Carl tak segan meminjamkannya untuk mereka dan tidak pernah menagih kapan uang itu akan dia kembalikan. Carl adalah orang mengenal Arian dan keluarganya sangat lama, bahkan saat ayahnya meninggal waktu dia masih kecil tahun pun, Carl dengan gagah selalu bersikap seolah dialah ayahnya. Tentu saja, Carl melakukannya bukan tanpa alasan. Kalau mendengar dari cerita ibunya, Carl adalah sahabat baik sang ibu sejak mereka masih muda. Meskipun Carl sudah memiliki keluarga bahkan cucu tapi, pria tua itu seperti lebih menyayangi Arian. Mungkin karena Arian ditinggalkan sosok ayah sejak dia masih sangat kecil sementara ibunya enggan mencari pengganti lain, Carl seolah mengambil alih peran itu. Bahkan saat waktu Carl lebih banyak dihabiskan untuk Arian, anak-anaknya seolah tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Dari Carl jugalah, Arian bisa belajar mencari uang setelah dia merasa kalau dia sudah cukup untuk tanggung jawab itu. Meskipun tidak memiliki sosok ayah tapi, Carl tidak pernah membuatnya merasakan itu. Saat Arian memutuskan untuk menjadi tukang kayu seperti sekarang pun Carl adalah orang yang mendukungnya setelah sang ibu mati-matian malarang. Bagi Carl, pekerjaan seperti apapun tidak jadi masalah asalkan Arian bisa menjaga diri dan menghasilkan uang dari keringatnya sendiri walau seberapa sen pun. "Bagaimana keadaan ibumu?" "Semakin buruk setiap harinya." "Bawalah dia ke kota? Setidaknya di sana dia bisa dapat perawatan yang lebih baik?" "Dan uangnya? Kau mau memberikanku uang untuk biaya pengobatan di sana?" "Ch, kau pikir aku sekaya apa sampai bisa memberikanmu uang untuk itu?" "Hahaha ... kupikir karena ibuku cantik kau jadi jatuh hati dan rela melakukan apapun yang kuminta? Setelah itu kau akan menagih semua hutangku dengan membiarkanmu menikahinya?" "Kau gila!" Hardiknya sambil memukul kepala Arian, "kau pikir berapa umurku sampai masih punya hasrat seperti itu." Carl mengabaikan Arian yang menggerutu setengah tertawa, setelah kepalanya dipukul pria tua itu. Apapun alasan Carl, Arian tahu kalau dulu ibunya adalah wanita tercantik di desa dan hampir semua laki-laki di sini selalu sibuk merebut hatinya tapi, tak ada satupun yang berhasil. Jadi, Arian cukup punya banyak alasan untuk mengejek Carl. Apalagi setelah istrinya meninggal, Arian seolah punya alasan mengatakan itu karena mereka sama-sama sendiri hingga saat ini. Sementara Arian duduk di lantai tanah penuh remah kayu dan masih sambil terus sibuk mengusap kepala yang dipukul Carl, kakek tua itu hanya berkacak pinggang melihat bagaimana banyaknya pekerjaan Arian. "Rodin tidak datang membantumu?" Tanyanya setelah dia sadar kalau pemuda itu hanya sendirian di sana. "Dia sedang mengantar kayu untuk Johan Cliff." Carl mengangguk. Dia paham kalau yang memakai jasa tenaga Arian tidak sedikit, meski jumlah penduduk di desa mereka tidak terlalu banyak tapi kebutuhan kayu bakar untuk persediaan musim dingin hanya dipasok oleh Arian, Carl merasa ini terlalu berlebihan. "Kau tidak berniat cari tambahan orang untuk membantumu?" Arian menggeleng cepat. "Doktrin soal kutukan hutan itu sudah mendarah daging untuk warga desa dan beberapa desa setelahnya. Tidak ada alasan untukku bisa merekrut orang lagi selain Rodin yang sama gilanya denganku." Arian kembali tertawa ringan. "Seharusnya desa kita dapat sedikit bantuan dari kerajaan untuk subsidi batu bara. Setidaknya, kita tid—" "Aku akan jadi orang pertama yang menolak kebijakan itu! Bahkan saat bantuan mereka datang, aku akan membajaknya dan kubakar angkutannya ditempat! Biar tidak ada siapapun yang dapat batu bara itu." "Dasar bodoh! Setiap hari kau mengambil kayu di hutan ini untuk kebutuhan seluruh penduduk desa? Kau pikir berapa lama lagi sampai hutan ini gundul dan tidak bisa membuatmu tetap menghasilkan uang?" "Dan kau pikir aku akan tetap dapat uang dengan menyetujui peraturan kerajaan untuk memasok batu bara di desa kecil ini?" "Kau bisa ikut bekerja pada mereka dan jadi salah satu orang yang menjual batu bara pada penduduk?" "Kau lupa betapa mahalnya harga batu bara untuk desa sekecil ini, Carl?" "Aku lebih takut kalau kau dimakan sesuatu yang tidak pernah kau lihat di dalam sana." "Omong kosong! Di dalam sana tidak ada apapun, bahkan seekor kelinci pun tak ada." Arian melempar handuknya sembarang hingga mendarat di antara kayu-kayu yang sudah dia potong sebelumnya. Dia benar-benar tidak suka saat setiap orang berpikir kalau di dalam sana ada sesuatu yang bisa kapanpun membunuhnya. Apa mereka pikir kalau benar-benar ada sesuatu yang mereka namakan Alpha di dalam hutan sana? Makhluk buas dengan insting membunuh yang tidak bisa diprediksi siapapun, bahkan mereka mengatakan kalau makhluk itu akan menghabisi apapun yang menginjak hutan miliknya jika ada siapapun yang berani masuk. Lalu bagaimana dengannya? Sudah puluhan kali dia masuk ke dalam hutan itu tapi tidak ada satu pun terjadi padanya, bahkan seekor semut pun tak berani mengigitnya. Carl terus saja mengoceh soal batu bara dan semua keuntungan yang akan diberikan benda itu untuk desa mereka. Hanya saja Carl lupa, kalau untuk makan tiga kali sehari saja desa mereka sedikit kesusahan, karena tidak ada lahan lebih yang bisa diolah di sana karena dongeng bodoh itu. Karenanya, desa mereka tidak akan pernah sanggup untuk membeli sekantung batu bara pun dengan penghasilan per kapita per tahun yang desa mereka dapatkan. Arian masih tetap mengabaikan Carl dan ocehannya untuk kembali memotong kayu-kayu itu dengan kapak miliknya. Memotong yang besar hingga terus jadi potongan-potongan yang tidak terlalu besar dari sebelumnya.                                            Setelah seharian bekerja. Seperti biasa Arian selalu melanjutkan kegiatannya dengan memasak makan malam kemudian menyuapi ibunya yang nyaris sudah tidak bisa berbuat apapun di atas ranjang. "Hari ini aku bertemu Carl," Arian memulai. "Dia menagih hutang padamu?" Tanyanya khawatir. "Tidak, dia hanya memberikan jerami untuk kandang ayam kita." Jawab Arian sambil terus menyuapi ibunya. "Kupikir dia...," "Ibu tenang saja, aku akan mencari uang untuk membayar semua hutang kita padanya." Bujuk Arian sambil menyentuh tangan renta ibunya, namun di mata tua itu, Arian hanya melihat kekhawatiran. Arian menatap lekat wajah ibunya. Wajah tua itu masih terlihat sangat cantik meski dia tidak tahu bagaimana kerasnya hidup wanita itu sebelum dia menjadi setua ini tapi, Arian yakin kalau apa yang dilakukan ibunya adalah apa yang mereka miliki sekarang. Kebahagiaan, meski tidak sesempurna mereka di luar sana. "Aku akan menghangatkan obat untukmu." Ujar Arian setelah selesai menyuapi ibunya. Dia berjalan ke luar dari kamar itu, berjalan ke dapur, menyalakan kembali tungku api untuk memanaskan katel berisi ramuan obat untuk ibunya. Setiap minggu, Arian selalu pergi ke kota hanya untuk membeli sekantung ramuan obat dari dokter. Harga ramuan dan beberapa jenis obatnya memang tidak terlalu mahal tapi dia harus meninggalkan ibunya selama dua hari untuk tiba di kota dengan memutari hutan. Tentu Arian harus melakukannya, karena di sini hanya itu satu-satunya akses jalan untuk menuju ke kota, dia harus membawa seekor keledai agar bisa sampai lebih cepat ke sana. Arian berjalan menuju ke samping rumahnya untuk mengambil beberapa kayu untuk menambah stok di dalam rumah yang akan dia gunakan semalaman untuk membuat perapian tetap menyala juga untuk menyalakan tungku di dapur. Tapi saat dia melihat tumpukan kayunya tidak sebanyak yang dia butuhkan, Arian mengusap wajahnya sebal. "Astaga, aku lupa membawa pulang kayu hari ini." Gumam Arian. Seharusnya dia membawa seikat kayu hari ini tapi karena Rodin terus memaksa untuk memenuhi pesanan Todd Terry juga, dia jadi melupakan apa yang harusnya dia pentingkan. Tanpa memberitahu ibunya, Arian pergi ke gudang di mana dia menyimpan kayu-kayu yang dia ambil dari hutan. Malam mungkin baru saja dimulai, tapi desa ini terlihat sangat sepi, bahkan tanda-tanda kehidupan di sana seolah tidak ada, kecuali lampu dan perapian mereka yang menyala. Arian masih saja terus bertanya soal kenapa warga di desa ini lebih takut pada dongeng bodoh yang seperti sudah melegenda? Padahal kalau saja mereka mau ke luar sebentar dan melihat bagaimana indahnya langit malam di musim gugur mereka akan tahu kalau hal itu konyol. Lihat di atas sana, bintang seolah bertabur seperti bunga ilalang kering yang tertiup angin. Sangat indah di tengah cuaca yang lumayan mengigit. Arian bahkan lupa mengambil jaketnya, kalau dia tidak bergegas mungkin dia akan membeku sebelum dia sempat mengambil beberapa ikat kayu untuk dia bawa pulang. Jalan kecil yang sudah lepas dari jalan utama desa langsung menuju ke gubuk kecil di mana Arian menyimpan kayu-kayunya, gelap. Setelah Arian berjalan cukup jauh dari pemukiman, dia terus berjalan ke arah jalan setapak menuju ke tepi hutan di sana tak ada cahaya apapun kecuali kegelapan, bahkan bintang di atas sana pun seolah enggan menyinari wilayah tersebut. Beruntung dia selalu menaruh lampu minyak di sana, menyalakannya sebelum dia dan Rodin meninggalkan gudang tersebut untuk pulang, dan dia bisa bersyukur karena itu benar-benar berguna di saat-saat seperti ini. Dari tempatnya berdiri sekarang, Arian bisa dengan jelas melihat lebatnya hutan di depan sana. Arian tahu mereka sering mengatakan kalau hutan itu selalu dikelilingi kegelapan, dia juga bukannya tidak sadar kalau setiap kali dia masuk ke dalam sana, hutan itu seolah tidak menerima cahaya mentari masuk ke dalamnya.  Hutan itu seperti sedang coba menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain selain penghuni di dalamnya. Hanya saja, Arian tidak pernah menemukan hewan-hewan seperti itu. Bahkan seekor kelinci pun tidak pernah dia lihat di hutan sebesar dan seluas itu selama dia masuk ke dalam hutan tersebut. Angin dingin berembus membawa awan tebal yang beriring. Perlahan, langit cerah berbintang di atas menghilang tertutup. Entah muncul dari mana tapi, Arian merasa kalau dia ketakutan sekarang. Karena dingin yang semakin membuatnya menggigil, Arian coba bergegas membuka rantai yang dia ikatkan pada pegangan pintu gudang tersebut dengan tangan setengah gemetar menahan dingin dan perasaan takut yang semakin lama semakin mencekamnya. s**l, seharusnya dia memakai jaketnya sebelum memutuskan datang kemari. Setelah berhasil membuka rantai gembok pintu gudang itu, Arian segera masuk dan mengambil beberapa potong kayu dan mengikatnya kuat untuk dia bawa pulang kemudian mengikat pintu itu lagi dengan rantai yang sama sebelum menggemboknya lagi. Hanya saja, belum sempat dia merapikan ikatannya dia mendengar suara yang sangat keras dari dalam hutan. Suara yang menggema seolah sedang menakuti siapapun yang mendengarnya. Gemetar, Arian pun menjatuhkan rantai yang seharusnya dia pasangkan pada pintu itu. Bahkan saat dia coba mengabaikan suara yang seperti raungan yang terdengar seperti dari seekor binatang buas yang sangat besar itu, Arian semakin merasa ketakutan. Bagaimana tidak, selama dia mengambil kayu-kayu di sana, dia tidak pernah melihat hewan apapun bahkan untuk hewan pemilik suara sekeras itu. Dengan sepasang tangan yang masih gemetar hebat, Arian mengambil rantai yang dia jatuhkan kemudian mengaitkannya sesegera mungkin agar bisa pergi dari sana secepat yang dia bisa. Hanya saja, saat Arian mencoba mengambil kayu yang baru saja dia keluarkan dari gudang, dia mendengar suara itu bergerak, seolah semakin dekat ke arahnya hingga dia bisa melihat bagaimana beberapa daun pohon saling bergesekan dan menimbulkan suara riuh yang mencekam. Selain itu Arian juga bisa dengan jelas mendengar derap langkah dan erangan yang terdengar seolah binatang itu sangat lapar. Bagaimana ini? Dia harus segera pergi dari sana! Tapi, kakinya kaku. Tenaganya seolah lenyap saat di balik kegelapan itu dia melihat cahaya merah dari sepasang mata yang menatapnya tajam. Dari jarak itu, Arian tahu kalau makhluk itu sedang mengincarnya. Tinggi makhluk itu mungkin sekitar dua meter, tersembunyi diantara rimbunnya pohon namun dari posisinya, Arian bisa mendengar deru napas makhluk yang seolah diselimuti kegelapan. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD