1. Vitta

1448 Words
Gadis cantik itu turun dari mobil dengan tergesa. Penampilannya yang hanya mengenakan kemeja flanel yang tidak terkancing dengan kaos putih sebagai dalamanya dan juga jeans baby blue yang tidak ketat, membuat beberapa pasang mata memandanginya dengan takjub. Bukan penampilan feminim tapi mampu membuat gadis itu tampak sangat mempesona. Dia menolehkan matanya ke kanan dan ke kiri seakan mencari sesuatu. Dan saat matanya menangkap pos satpam yang hanya berbentuk bangunan kotak itu, dia berjalan menghampiri. KKepalnya melongok, mendapati seorang pria paruh baya yang sedang menuliskan sesuatu di buku debur. "Permisi, Pak," Ucapnya membuat si Bapak mendongak. "Iya, Neng. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Satpam itu dengan ramah. Gadis itu balas tersenyum ramah, "Gudang seni dimana ya, Pak?" tanyanya kemudian. Pak Satpam sedikit mengernyit mendengar pertanyaan orang yang di anggap tamu olehnya ini. Biasanya orang yang datang kebanyakan menanyakan letak ruang guru atau pun kelas seorang siswa kenalannya, baru kali ini ada yang menanyakan letak gedung Seni. "Neng mau apa ke gudang?" tanya satpam itu penasaran. Gadis itu tampak kikuk, tidak mungkin di memberitahu maksud dan tujuannya mencari gedung seni pada pak Satpam karena itu pasti menimbulkan kericujan yang tidak perlu nantinya. Pandangannya menerawang mencari alasannya yang tepat, lalu di detik berikutnya dia memicingkan mata melihat seorang pria yang tengah berkerumun dengan siswi-siswi yang jumlahnya sekitar 5 orang. Kalau dia tidak salah lihat, sepertinya orang itu adalah orang yang dikenalnya. "Ah engga jadi, Pak. Orang yang saya cari udah ketemu," katanya tiba-tiba lalu pamit dan berlalu dari hadapan satpam yang masih memandang bingung ke arahnya. Langkahnya terkesan lebih santai dari sebelumnya lalu berhenti tepat di kerumunan yang sedari tadi menjadi tujuannya. "Permisi," sapanya agak keras demi menarik atensi semua orang di depannya. Pria dan beberapa siswi itu menoleh ke arahnya. Si pria sedikit terkejut melihat kehadiran gadis itu disana, sedangkan siswi yang lain hanya menatapnya bingung bercampur penasaran. "Vitta, kamu kok bisa disini?" tanya si pria heran. Gadis yang di panggil Vitta itu hanya tersenyum kaku lalu melirik ke arah siswi yang kini menatap bingung dan bergantian ke arahnya dan si pria tadi. Si pria yang mengerti langsung meminta agar murid-muridnya itu kembali ke kelas dan meninggalkan mereka berdua. "Aku tanya lagi, kamu sedang apa disini?" Si pria mengulang pertanyaannya. Vitta tampak tidak fokus karena pandangannya justru mengitari pelataran parkir yang saat ini sedang menjadi latar mereka. Tidak ramai karena bukan jam pulang sekolah dan hanya berisi anak-anak yang sedang mengobrol seperti yang dilakukan oleh pria di depannya tadi. "Nanti gue jelasin, sekarang tolong anterin gue ke gudang seni rupa," pintanya tanpa menatap pria yang ada di hadapannya itu. "Buat apa?" Vitta langsung menatap ke arah pria itu dengan kesal, "Bukan urusan lo, tapi sekarang gue minta tolong buat anterin gue ke gudang seni rupa. Kalau lo engga mau, biar gue cari sendiri," katanya lalu langsung berniat melangkah pergi dari hadapan pria itu sebelum tangannya tertahan oleh sesuatu. "Kebiasaan buruk kamu engga pernah ilang. Aku kan cuma tanya, engga bilang kalau aku engga mau anterin kamu," Kata si pria tak kalah kesal. "Ayo, ikut aku," ajaknya kemudian sambil menarik tangan Vitta, yang langsung di tepis pelan oleh gadis itu. Pria itu menghela nafas pelan lalu berjalan mendahului gadis keras kepala yang berjalan pelan di belakangnya. Di koridor yang cukup sepi, pria itu tiba-tiba berhenti membuat Vitta juga ikut berhenti. "Kamu jalan aja dulu lurus ke arah sana," tunjuknya ke arah sebuah pintu. "Aku mau ambil kunci dulu di TU," lanjutnya. Tapi belum juga melangkah, Vitta sudah lebih dulu membuka suara. "Kayaknya gudang itu engga di kunci," ucapnya yang membuat si pria mengernyit. "Ayo!" ajak Vitta lalu berjalan lebih dulu. Si pria sempat ragu, tapi kemudian mengekori gadis tomboy yang berjalan sedikit tergesa di depannya. Memandangi punggung mungil di depannya itu dengan tersenyum, mengingat sudah lebih dari 6 bulan mereka tidak pernah bertemu sejak kejadian itu. Vitta berhenti di depan ruangan yang sering disebut gudang seni itu. Tangannya menekan kenop pintu yang ternyata benar tidak terkunci dan melangkah pelan ke dalam. "Loh, kok kebuka?" tanya si pria heran. Tatapannya mengarah ke arah Vitta yang tampak tidak menggubris kebingungannya. Karena Vitta langsung melangkah masuk lebih ke dalam tanpa repot-repot menjawab pertanyaan dari pria yang sudah berjasa mengantarkannya ke tempat ini. Langkahnya menyusuri ruangan yang penuh dengan alat-alat seni yang tidak terpakai atau mungkin masih terpakai sewaktu-waktu. Matanya mengedar mencari apa yang menjadi tujuannya jauh-jauh datang ke sekolah ini. "Anye.." panggilnya pelan. Si pria yang sedari tadi hanya mengekor, mengernyit saat Vitta memanggil nama seseorang. "Anyelir..." panggilnya lagi. Lalu di detik berikutnya, seorang gadis dengan seragam SMA yang kotor keluar dari balik lemari dan berjalan tertatih ke arah Vitta. "Vitta.." lirihnya dengan bibir menampakan senyum tipis yang nyaris tidak terlihat. Vitta membulatkan matanya menatap tubuh Anyelir yang lumayan kacau, begitu juga dengan pria yang mengantarnya itu yang tidak kalah terkejutnya melihat keadaan Anyelir yang babak belur. Vitta berjalan mendekat dan meraih tubuh gadis malang itu ke pelukannya. "Kenapa bisa begini?" tanya Vitta lirih, dadanya bergemuruh mendapati sepupunya itu yang terluka parah. Sedangkan Anyelir hanya menggeleng kecil, "Aku mau pulang, Vit," cicitnya. "Kita perlu mengobati luka-lukanya dulu," sergah si pria, menarik perhatian kedua gadis di hadapannya. "Gue bisa ngobatin dia di rumah. Makasih Gani, karena lo udah bantu gue," ucap Vitta. Pria yang di sebut Gani itu menggeleng, "Aku engga bantu apa-apa dari tadi. Ayo, aku antar sampai ke mobil kamu," katanya lalu ikut memapah Anyelir yang sudah setengah sadar. ••• "Vitta, aku mau pindah sekolah aja." ucap Anyelir saat Vitta baru selesai mengobati lukanya. Vitta mendongak dan menatap kearah sepupunya yang selalu tampil lemah dan tidak berdaya itu. Hal yang sangat bertolak belakang dari kepribadian Vitta yang tidak mudah ditindas orang lain dan berani melawan siapapun yang tidak disukainya. "Itu ucapan gue yang selama ini lo jawab dengan 'Aku masih betah di sekolah itu'," sarkas Vitta. Anyelir tersenyum kecil sambil menggeleng pelan, "Maaf, tapi kali ini aku beneran mau pindah." Vitta menghela nafas pelan lalu duduk di sofa yang diduduki oleh Anyelir juga. "Nanti biar gue yang ngomong sama nyokap bokap lo. Apa gue juga yang musti cariin sekolah baru buat lo?" tawarnya. Anyelir tampak berpikir sebentar, "Kalau bisa, yang jauh dari kota," setujunya. Vitta mengernyit tapi kemudian memilih diam dan tidak bertanya lebih lanjut. Pandangannya terarah ke depan, memikirkan alasan apa yang akan dia gunakan untuk meminta ijin kepada Erlangga, Ayah dari Anyelir yang juga merupakan adik bungsu dari Ayahnya. Dia sangat tahu betapa ambisiusnya kedua orangtua Anyelir yang menginginkan putri semata wayangnya itu bersekolah di sekolah Internasional. Beda halnya dengan orangtua Azalea yang lebih open minded dan selalu mendengar kan pendapat dari anak-anaknya. Anyelir terbiasa hidup dalam tekanan, sehingga sedari kecil gadis itu tidak memiliki kepercayaan diri yang sebaik yang dimiliki oleh Vitta. Dia menoleh ke arah samping dan mendapati Anyelir yang tidur meringkuk di sofa. Tangannya terulur menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Anye. Dia tahu, dari kecil Anye selalu kesepian. Menjadi anak tunggal yang hanya di temani beberapa asisten rumah tangga membuat Anye tumbuh menjadi gadis yang pendiam. Kedua orangtuanya terlalu sibuk bekerja dan membiarkan Anye menyimpan segala macam masalahnya sendiri. Itulah yang membuat orang lain lebih mudah mem bully nya, karena Anye tidak tahu caranya melawan dan tidak punya keberanian untuk melawan. Beda dengan Vitta yang tumbuh di lingkungan yang di d******i laki-laki membuatnya menjadi pribadi yang tomboy dan tangguh untuk ukuran seorang wanita. Dua kakaknya adalah laki-laki, dan adik bungsunya juga laki-laki. Sehingga dia terbiasa hidup dengan gaya laki-laki walaupun ibu nya kerap kali mengajarinya kegiatan-kegiatan perempuan. Namun semua tidak bisa mengubah kepribadian Vitta yang sudah terlanjur manly. Vitta menaikan kaki Anyelir yang menggantung lalu membiarkan Anyelir tidur dengan nyaman. Kaki nya melangkah ke arah dapur dimana ibu nya yang cantik itu tengah memasak sesuatu untuk makan malam. "Mana Anye?" tanya Ibunya. "Tidur di sofa," jawab Vitta sambil tangannya mencomot keripik kentang yang sedang ibunya tiriskan. "Kenapa dia bisa luka gitu?" Vitta terdiam sebentar lalu mengalihkan tatapannya ke arah yang lain, berusaha agar tidak bertatap muka dengan Ibunya. "Keserempet katanya," jawabnya bohong. Hanya dia yang tahu apa yang di alami Anyelir. Dia sudah berniat melaporkan teman-teman Anyelir yang tega menyakiti sepupunya itu. Tapi Anyelir menolak karena kalau orangtuanya tahu, bisa-bisa Anyelir akan di ungsikan ke Swiss dan hidup bersama Neneknya yang galak itu. "Kok bisa sampai keserempet gitu sih?" Ibunya masih saja penasaran. "Mana Vitta tahu, Ma. Tadi dia cuma minta Vitta jemput di sekolahnya aja." Vitta menjawab sesantai mungkin agar Mamanya itu tidak menaruh curiga padanya. Ibunya tidak bertanya lagi dan sibuk menuangkan santan kental ke dalam opor yang di masaknya. "Ma.." Panggil Vitta. "Apa?" "Bantu ngomong ke Uncle sama Aunty kalau Anye mau pindah sekolah." |||••••|||
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD