2. Sekolah baru

1540 Words
Vitta menoleh ke arah Anyelir yang berdiri dengan gugup dan memegang erat tali ranselnya. Setelah perdebatan yang cukup sulit antara orang tuanya dan juga orangtua Anyelir, akhirnya dengan sangat terpaksa dan berat hati, orang tua Anyelir menyetujui keputusan nekad yang diajukan Anyelir melalui Om dan Tantenya dengan berbagai syarat. Namun Vitta juga meragukan keputusan Anyelir untuk pindah ke sekolah baru yang terletak masih di kawasan kota Jakarta, hanya saja sekolah ini hanya sekolah negeri biasa yang jauh level nya dengan sekolah Anyelir yang lama. Tentu saja karena orangtua Anyelir menolak tegas keinginan nya untuk bersekolah di sekolah yang jauh dari kota. Itu akan sangat menjatuhkan harga diri dan martabat keluarganya serta menjadi gunjingan di kalangan pebisnis dan sosialita di sirkel kehidupan kedua orang tua Anyelir. Sekolah yang sekarang Anyelir pijak pun pilihan Ibu nya karena ini adalah sekolah yang masih bisa di katakan layak untuk Anyelir. Karena Anyelir menolak untuk di daftarkan di sekolah swasta bertaraf Internasional seperti yang sudah-sudah, yang katanya baik untuk masa depan Anyelir padahal hanya berisi anak-anak yang sok pamer kekayaan sana-sini dan kerap terjadi pembulian. "Lo yakin nih?" tanya Vitta untuk kesekian kalinya. Tampak sekali kalau Anyelir bahkan ragu melangkahkan kakinya dan lebih sibuk menoleh kesana-kemari dengan raut gugup yang ketara. "Mau gimana lagi, toh aku engga bisa kalau harus berhenti sekolah," jawab Anyelir pelan. Vitta menarik nafas berat dan menghembuskan nya. Anyelir memang sempat berpikiran gila untuk berhenti sekolah atau setidaknya home schooling yang jelas saja langsung ditolak mentah-mentah oleh kedua orang tuanya. "Ayo!" ajaknya. Mereka berjalan menelusuri koridor yang masih ramai karena bel masuk belum berbunyi. Beberapa pasang mata terang-terangan menatap ke arah mereka. Melihat wajah Anyelir dan Vitya yang sangat cantik membuat mereka merasa seperti sedang melihat aktris atau orang yang jelas berada di level hidup yang berbeda dari mereka. "Kayaknya lo terlalu mencolok deh, Nye," bisik Vitta sambil terus memperhatikan sekitarnya. Dia tetap berusaha tenang dan bersikap sewajarnya agar tidak membuat keadaan lebih mencolok dari yang sudah terjadi. Karena dia sadar betul kehadiran dirinya dan juga Anyelir menarik perhatian banyak orang. Inilah sulitnya mewarisi gen paras yang tidak biasa, apalagi Anyelir memiliki kulit putih pucat yang terlihat mencolok. Langkah mereka terhenti di depan ruang bertuliskan 'Kepala Sekolah'. Anyelir dan Vitta saling pandang sebelum akhirnya Vitta yang mengetuk pintu di depannya. "Masuk!" Seru seseorang dari dalam. Membuat Vitta dan Anyelir langsung membuka pintu dan berjalan masuk. "Oh, Anyelir Praba Dewana ya?" tanya seorang pria yang terlihat berumur sekitar 50an dengan senyum ramah ke arah mereka. Anyelir mengangguk dan berjalan mendekat diikuti Vitta di sampingnya. "Sudah tahu belum kelasnya?" tanya Bapak Kepala Sekolah yang ternyata bernama Guntur itu ramah. Anyelir menggeleng, "Belum, Pak." Pak Guntur tersenyum lalu menghubungi seseorang lewat interkom nya. "Bu Risa, Anak baru nya ada di ruangan saya. Bisa ibu kesini?" Lalu beberapa detik selanjutnya Pak Guntur meletakan kembali teleponnya dan tersenyum ke arah Anyelir dan Vitta. "Nanti, Bu Risa yang akan mengantar kamu ke kelas baru. Beliau Wali Kelas kamu, Anyelir," ucapnya hangat. Anyelir mengangguk dan tersenyum ramah. Ini tidak buruk, senyum yang ditunjukan Guntur sama sekali bukan senyum bisnis yang selama ini selalu ia lihat dari orang-orang di sekelilingnya. "Baik, Pak," jawabnya pelan dan sopan. Lalu Vitta yang sedari tadi menyimak, mulai membenahi duduknya dan berdehem kecil. "Pak, maaf sebelumnya. Tapi saya minta tolong untuk lebih memerhatikan Anyelir. Bukan maksud saya meminta Bapak untuk mengistimewakan Anye, tapi sepupu saya ini sempat mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan di sekolah lamanya," jelas Vitta blak-blakan. Anyelir menahan tangan Vitta, berniat memperingati sepupunya itu untuk tidak membuka alasan kepindahannya. Tapi sudah terlambat karena Vitta sama sekali tidak memperdulikan peringatan darinya. Pak Guntur tampak mengernyit dmaar setelah mendengar ucapan Vitta, "Benarkah? Tapi Pak Erlangga tidak menceritakan perihal itu saat mendaftarkan Anyelir," tanyanya heran. Anyelir dan Vitta saling pandang. Sudah pasti Ayah Anyelir itu tidak membahas perihal ini, karena sekalipun Erlangga tahu perihal perundungan yang dialami Anyelir, orang itu tidak akan mau menceritakan pada orang lain karena kaan merusak citra baiknya. "Iya, Pak. Kami..merahasiakannya," jawab Anye pelan. Pak Guntur tampak terkejut lalu menegakkan posisi duduknya dengan tatapan fokus ke arah Anyelir yang menunduk gugup. "Kalian merahasiakan soal penting seperti ini dari orangtua kalian?" tanyanya tak percaya. Anyelir semakin menunduk dalam. Dia tidak tahu harus menjawab apa, karena kenyataannya dia tidak pernah sekalipun menyembunyikan itu dan sudah pernah memberitahu orang tuanya meskipun tidak memperoleh hasil seperti yang diharapkannya. "Kami terpaksa menyembunyikan nya, Pak. Karena kalau pun kami menceritakannya maka hanya akan menimbulkan masalah baru. Lingkungan hidup kami tidak sesederhana orang lain," Vitta berinisiatif untuk menjawab. Pak Guntur menghela nafas pelan lalu mengangguk-angguk paham. "Baiklah, akan saya pantau kedepannya. Jangan khawatir," Nada bicara Pak Guntur sangat enak di dengar. Khas seorang Ayah, terdengar hangat dan menenangkan. Anyelir tersenyum lebar, begitupun Vitta yang merasa sedikit lega melihat respon dari pihak sekolah baru Anyelir. "Terimakasih banyak, Pak." Ucap Vitta dan Anyelir hampir bersamaan. ••• "Nah, ini dia teman baru kalian," ucap Bu Risa ceria. Tangannya menunjuk ke arah Anye yang hanya tersenyum tipis. "Cantik, silahkan perkenalkan nama kamu!" pintanya. Anye mengangguk dan tersenyum ke arah Bu Risa. "Selamat Pagi.. Nama saya Anyelir Praba Dewana, saya sebelumnya sekolah di SMA Guna Bakti," katanya dengan suara agak keras. Beberapa murid tampak saling pandang saat Anyelir menyebutkan nama sekolah lamanya. Membuat Anyelir meringis dalam hati. "Biaklah, apa ada yang mau di tanyakan ke Anyelir?" tanya Bu Risa kepada seluruh siswa. Lagi. Mereka saling pandang dan saling bisik. Sampai pada saat seseorang mengangkat tangannya. "Kamu blasteran ya?" tanya seorang murid dengan tampang menyenangkan dan senyum ramah. Melihat senyumnya, Anye secara tidak sadar juga ikut tersenyum. " Bisa dibilang..begitu," jawab Anye agak ragu. Dia belum terbiasa mendapat sambutan seperti itu, karena biasanya hanya tatapan sinis yang dia dapatkan dari teman sekelasnya. "Wah pantas cantik banget" "Iya, kayak barbie." "Kulitnya mulus banget." Bisik-bisikkan itu terdengar oleh Anyelir. Di dalam hatinya Anye berkata, ada dua kemungkinan yang akan terjadi, Teman-teman baru nya akan dengan senang hati menjadi temannya, atau mereka akan mengucilkan Anye karena menganggap Anye berbeda. Padahal menurutnya, teman-temannya di kelas ini juga tampak cantik. Tapi kenapa banyak orang yang beranggapan kalau dirinya berbeda? "Nah, Anyelir.. Silahkan kamu duduk di sebelah Renata," tunjuk Bu Risa ke salah satu murid yang rambutnya di gerai. Siswi yang sama dengan yang tadi bertanya tentang Apakah Anyelir blasteran atau bukan. Renata tersenyum lebar saat Anye berjalan ke arahnya. Sebelum duduk, mata Anye menoleh ke arah seorang siswa yang duduk di pojok kanan. Yang sedari tadi tidak tertarik dengan kehadiran Anye dan justru sibuk menatap keluar jendela. ••• "Ke kantin, yuk!" ajak Renata begitu bel istirahat berbunyi. Anye agak terkejut dengan ajakan itu, karena selama ini tidak pernah ada yang mau mengajak nya ke kantin bersama. Dan kalaupun dia ke kantin sendirian, dia hanya akan menjadi gunjingan anak-anak yang lain. "Lo engga laper?" tanya Renata karena Anyelir hanya menatapnya tanah menjawab. Anye nengerjapkan matanya lalu mengangguk. Dia segera memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tas dan beranjak berdiri. "Dia...engga di ajak juga?" tanya Anye menunjuk ke arah lelaki yang duduk di pojok kanan yang masih asik dengan buku nya. Renata ikut menoleh lalu kemudian dia mendekatkan diri ke arah Anye. "Dia Januari, dia agak aneh. Engga mau bergaul sama yang lain," bisiknya. Anye merasa tersindir secara tidak langsung. Lelaki itu mirip dirinya di sekolah lama, selalu memilih duduk seharian di kelas dan tidak beranjak seidikit pun. Belum sempat Anye menanggapi, Renata sudah lebih dulu menarik tangannya ke arah luar kelas. Sebelum benar-benar keluar, dia masih sempat menoleh ke arah lelaki itu dan tatapan mereka bertemu karena lelaki itu juga sekilas menoleh ke arahnya. Cepat-cepat Anye membuang pandangannya dan berjalan bersisian dengan Renata. "Namanya Januari?" tanya Anye saat mereka hampir berbelok ke arah kantin. Renata menoleh dan menaikan satu alisnya. "Cowok yang tadi," ucap Anye saat mendapati raut kebingungan di wajah Renata. "Oh.. iya. Aneh kan? Lebih sering di panggil Ari sih." Anye terdiam. Entah kenapa dia jadi penasaran tentang lelaki itu, apa mungkin dia juga korban bully seperti nya. "Kenapa dia engga pergi ke kantin atau kemana gitu?" tanya Anye lagi. Renata yang tadinya hanya menjawab sekenanya, kini memicingkan mata ke arah Anye. "Lo suka ya sama dia? Kok tanya-tanya?" Anye buru-buru menggeleng. Tidak ingin Renata salah paham. "Engga kok. Cuma penasaran aja," akunya jujur. Renata tampak mengangguk-angguk mengerti. "Dia itu, anak pemulung kata anak-anak. Gue sih engga tahu juga, tapi ya...gitu deh. Dia kayak yang punya ruangan sendiri yang engga mau di masukin sama siapapun." Anye makin terdiam. Dia pernah merasakan itu. Hanya terkungkung didalam hidup yang di buatnya sendiri. Merasa kesepian tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa karena memang tidak ada yang mau mendekatinya. "Mau pesen apa?" Anye terhenyak dari lamunannya. Dia bahkan sampai tidak sadar kalau dia sudah duduk di salah satu kursi panjang di kantin. "Samain sama kamu aja," katanya pada Renata. Renata mengangguk lalu berlalu ke arah penjual nasi goreng yang menurutnya terenak di kantin itu. Sedangkan Anye tanpa sengaja kembali melihat lelaki yang tadi jadi bahan pembicaraan nya bersama Renata itu tengah memanjat pohon yang ada di seberang danau buatan yang terletak di samping jejeran pedagang kantin. Dan itu, membuat Anye semakin tertarik untuk masuk ke dalam ruang buatan seorang Januari. |||••••|||
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD