Paku Puntianak

1620 Words
"Duduklah... Berdiri siaga disana takkan membuatmu bisa kabur dari sini. Karena cucu kecilku takkan ragu untuk membakarmu sampai menjadi abu." Bagai kerbau yang dicucuk rotan, Aku menurut begitu saja. Kuambil tempat duduk di depan Kakek Slamet yang duduk bersila dengan tenang dihadapan baskom air dari tanah liat. Bunga-bunga yang masih belum layu mengapung diatas air dalam baskom, Kakek tua itu menatap riak air dalam baskom itu dengan serius, seakan melihat sesuatu di dalamnya. "Aku tidak menjamin nyawamu selamat anak muda, tapi aku juga tak bisa memastikan apakah kau akan segera mati. Paku Puntianak yang kuberikan padamu kau gunakan untuk menundukkan makhluk itu bukan?" Aku mengangguk, kutundukkan wajahku sambil mencuri-curi pandang pada sekeliling ruangan. Aku mencoba membaca situasi, berusaha mencari celah pada tiga buah pintu di ruangan ini. Pintu pertama adalah pintu utama tempatku masuk tadi, lalu pintu di sebelah kananku tempat Agnia datang membawakanku minuman, dan satu lagi pintu misterius yang terhalang tubuh Kakek Slamet. Tak ada jalan keluar lain, Aku bisa langsung lari dari tempat ini akan tetapi aku tak mengenal daerah ini. Tempat ini jauh dari pusat kota, melarikan diri adalah hal bodoh yang harus kupikirkan paling akhir. Untuk saat ini, Aku akan mencoba mengikuti permainan kakek licik itu. "Untuk saat ini, Aku takkan mengatakan alasanku memberikan paku pusakaku padamu. Paku yang kuberikan padamu bukanlah Paku Puntianak biasa, paku itu memiliki sebuah nama, yakni Paku Puntianak Wesi Abang. Kau tahu sesuatu tentang demit anak muda?" Kugelengkan kepalaku, meskipun pernah mendengarnya, tapi aku pikir mereka sama seperti hantu yang merupakan roh orang mati. "Demit adalah makhluk yang telah lama tinggal di tanah ini sebelum nenek moyang kita menempatinya. Sosok mereka bersembunyi dari hiruk pikuk dunia manusia, dan terkadang muncul di hadapan kita hanya untuk mencari mangsa. Nenek moyang kita telah melakukan kontak dengan mereka selama ratusan tahun, dan salah satu warisan mereka adalah Paku Puntianak Puntianak sendiri adalah istilah yang mengacu pada demit perempuan yang memiliki rupa menawan untuk menarik mangsa dan meminum darah mereka. Salah satu jenis Puntianak adalah Kuntilanak, yakni gadis hantu yang telah kau tundukkan. Paku Puntianak dahulu digunakan untuk mempermudah nenek moyang kita membunuh Puntianak. Seperti yang telah diketahui oleh banyak orang, Puntianak adalah jenis demit yang sering mengganggu manusia. Selain itu, kemampuan supranatural mereka juga luar biasa. Namun dalam perkembangannya, Paku Puntianak digunakan untuk memanfaatkan mereka. Setelah Paku Puntianak ditancapkan pada bagian kepala mereka, Puntianak akan tetap hidup tanpa kekuatan selama tujuh hari. Sampai pada akhirnya, mereka akan membusuk karena aura mereka habis dihisap oleh Paku Puntianak. Dalam penggunaannya, Paku Puntianak memiliki beberapa peraturan. Peraturan Pertama. Puntianak hanya dapat disegel selama satu kali. Jika percobaan pertama mengalami kegagalan, maka percobaan kedua akan langsung membunuh Puntianak. Selain itu, Paku Puntianak biasa hanya bisa digunakan sekali. Warna Paku Puntianak yang asli berwarna keemasan, lalu sampai akhirnya berwarna kehitaman karena memakan ruh Puntianak. Dengan tingkat kesulitan penangkapan yang tinggi, bahan baku yang sulit, dan tidak efektifnya penggunaan Paku Puntianak, semua hal itu membuat Puntianak menjadi makhluk yang paling sulit ditangkap. Namun anak muda, semua hal itu tak berlaku pada Paku Puntianak Wesi Abang. Karena tujuan pembuatan Paku itu memang untuk membuat Puntianak berubah menjadi manusia seutuhnya yang dapat berbaur bersama masyarakat." Penjelasan Kakek Slamet seakan memberiku sedikit petunjuk, bahwa Ia takkan membunuhku. Karena aku yakin semua penjelasan itu takkan diperlukan oleh orang yang akan mati. "Lalu, kalau paku itu memang sepenting itu, kenapa Anda menyerahkannya padaku?" Kutatap mata Kakek Slamet dengan tatapan tajam. Orang tua itu telah membuatku dalam bahaya, dia benar-benar harus memberitahukan semua yang ia tahu tentang Aya. "Hal itu, untuk memancing seseorang benar begitu bukan Eyang?" Agnia yang berada di belakangku berjalan mendekati kakek tua itu. Ia duduk bersimpuh di sampingnya lalu menggamit lengan rentanya. "Aya, gadis kuntilanak yang berada di pohon beringin belakang rumahmu itu, dia terlihat bersembunyi dari sesuatu bukan?" Kuanggukkan kepalaku, semenjak aku menyadari keberadaannya. Ia tak pernah pergi dari sana, yang gadis itu lakukan hanyalah menyembunyikan keberadaannya dariku selama beberapa saat. Bahkan sampai sekarang Aku masih belum menyadari alasannya. Ketika dia mencoba meminum darahku, dia tidak datang kekamarku ketika Aku masih tertidur. Melainkan Ia memanggilku untuk mendekatinya. "Gadis itu bersembunyi dari orang-orang yang berusaha untuk menangkapnya, dan aku menggunakannya sebagai umpan bagi mereka. Gadis itu mungkin takkan menyangka bahwa kamu adalah salah satunya. Tapi jika kau tak menggunakan gadis itu untuk sesuatu yang tidak ia inginkan, maka semuanya akan baik-baik saja. Apa yang aku khawatirkan adalah seoran anak laki-laki bernama Chandra yang telah membuatnya terjebak di tempat itu, selain itu aku menggunakan gadis itu sebagai umpan tanpa sepengetahuannya. Pohon Beringin adalah objek netral tempat demit dapat menyembunyikan keberadaannya dari makhluk lain, dan alasan itulah yang menyebabkan gadis itu dapat bersembunyi disana" Ada yang aneh dari ucapan bibir keriput kakek tua itu, kalau kakek dia memang tahu tempat Aya bersembunyi, lantas kenapa Ia tidak melakukannya sendiri? "Keberadaanmu akan memancing gadis itu, lalu saat dia menyerangmu kau pasti akan melawannya. Tapi tak kusangka kau sendiri malah membuatnya menjadi budakmu. Aku dengan senang hati tentu saja bisa melakukannya tanpa bantuanmu, tapi darah tua sepertiku takkan cocok dengan lidah demit perempuan sepertinya" Semuanya kini berputar-putar dalam kepalaku. Apa yang aku lakukan mungkin hanya demi keegoisanku semata, tepat setelah Aku mengetahui fungsi dari Paku Puntianak aku malah menggunakannya demi keinginanku sendiri. Jika saja aku membiarkan gadis itu menghisap darahku, mungkin kini dia bisa bebas. Tapi apa yang kulakukan malah menjebaknya bersama diriku, dan memaksanya menjadi obat untuk kesendirian yang kuhadapi. Sudah terlalu terlambat kini bagiku untuk menyesal, karena kini Aya sudah menjadi tanggung jawabku. "Kau mungkin telah menggagalkan rencanaku bocah, tapi tak apa. Mungkin hal ini adalah petunjuk langit, kalau aku tidak boleh mengganggu gadis itu lagi. Tak peduli meskipun Ia kini bukanlah dirinya yang sebenarnya... Ahhh lupakan, kali ini Aku akan melepas tanggung jawabku pada gadis itu dan menyerahkannya padamu." "Tapi Eyang... Rasa-rasanya terdengar sangat tidak bijak, menyerahkan tanggung jawab sebesar itu, tanpa memberi tahu apa-apa kepada anak muda ini..." Sebuah tatapan licik mengarah padaku.  Agnia ya? Entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang berbeda darinya dibandingkan aku dan Kakek Slamet. Seakan-akan Ia bukanlah manusia seperti kami. Kakek tua itu sekarang bukanlah masalah bagiku, tapi bagaimana dengan cucunya? Gadis itu tampak bagaikan anak kecil berumur sepuluh tahun. Akan tetapi tak ada yang tahu seberapa bahayakah dirinya. Aku tak boleh gegabah "Kau benar sayang. Aji Saputra, mulai saat ini kau akan berada dalam bahaya jika masih bersikeras untuk memiliki gadis itu. Akan tetapi jangan khawatir. Aku akan berada pada pihak yang netral. Aku akan memberikan bantuan, asalkan hal itu tidak membahayakan pihak yang lainnya. Hal yang pertama yang akan kusampaikan adalah, Kuntilanak yang tersegel dengan Paku Puntianak Wesi Abang akan mengalami pembusukan lebih cepat, hal ini karena pada dasarnya aura dalam tubuh mereka tidak diserap, melainkan diletakkan pada kepala mereka. Itu berarti semua bagian tubuh selain kepalanya akan membusuk. Ada dua cara untuk mencegah hal itu terjadi, akan tetapi Aku akan menyarankan satu cara saja. Hal ini karena cara kedua hanya diketahui oleh gadis puntianakmu itu. Cara pertama adalah dengan menggunakan air campuran bunga tujuh rupa. Kau bisa membuatnya sendiri, tapi karena aku yakin hal itu sangat merepotkan dan kamu tak memiliki banyak waktu. Maka untuk saat ini aku akan memberimu secara gratis. Agnia ambilkan itu!" Agnia melepaskan tangannya dari bahu Kakek Slamet lalu berjalan menuju pintu yang ada di belakangnya. Tak beberapa lama kemudian Ia kembali membawa sebuah botol besar berisi air yang dicampur dengan bunga-bunga yang sangat kukenal. Mawar merah, cempaka kuning jingga, kantil putih, kenanga kuning, melati putih, sedap malam dan juga melati gambir. Semua bunga-bunga itu terperangkap dalam botol air kaca besar itu dengan cairan bening di dalamnya. Dalam hati aku merasa bersyukur, setidaknya sekarang aku tak perlu lagi mengkhawatirkan tentang pembusukan yang dialami gadis itu. ############# Aku kembali ke rumah tepat sebelum bumi menelan matahari. Setelah berhasil mengejar bus terakhir dan menghitung tiap detik yang kulewati disana, aku akhirnya pulang. Begitu kuinjakkan kakiku di tanah, aku segera berlari dan membuka pintu rumahku. Hampir saja aku mendobraknya jika saja aku tak menemukan kunci rumahku. Tanpa menunggu sedetikpun, kulemparkan tasku dan berlari ke lantai dua sambil membawa botol air kembang tujuh rupa dan kunci kamarku. Kutinggalkan Aya di kamarku dengan pintu dan jendela terkunci. Semua benda-benda yang bisa ia gunakan untuk memotong kepalanya juga sudah aku pindahkan. Kubuka pintu kamarku, kulihat Aya jatuh tersungkur di lantai. Ia nampaknya telah berusaha yang keras untuk mencoba menggapai jendela kamarku. Akan tetapi sayang, kakinya sudah membusuk tak terbentuk. Belatung, cacing, dan kelabang bergerak-gerak di tubuhnya yang telah menghitam mulai dari d**a sampai ujung kaki. Sementara itu gaun putihnya dikoyak-koyak oleh binatang-binatang menjijikkan itu. "Aji... Bunuh aku... Aku sudah tidak dapat tahan lagi..." Tak kuhiraukan kata-kata Aya. Tanpa berpikir panjang aku segera membopong tubuhnya yang masih terisisa di kamar mandi. Tubuhku kini seakan mati rasa, bahkan tak kurasakan bisa kelabang dan bau busuk yang muncul dari tubuh Aya. Kubaringkan tubuh Aya pada bak mandi, lalu kualirkan air yang telah tercampur oleh air kembang tujuh rupa, setelah itu kunyalakan air kran. Asap putih perlahan mulai muncul dan menyelimuti tubuh Aya. Ia masih mencoba berusaha berbicara, akan tetapi sayang sekali, kesadarannya semakin kabur. Kualirkan air ke dalam bak mandi sampai hampir penuh. Proses penyembuhan Aya masih berlangsung, tapi tentu tak secepat yang kubayangkan. Kulihat tulang-tulang pada tubuh Aya mulai terbentuk. Dengan telaten kubantu penyembuhannya dengan menyingkirkan daging busuk yang telah mati agar membantu penyembuhannya. Semua daging, serangga, dan kulit mati milik Aya kutampung dalam sebuah ember hitam berisi air. Setelah kurasa tubuh Aya dapat menyembuhkan dirinya tanpa kesulitan, aku segera keluar dari kamar mandi dan membuang semua kotoran dalam ember itu. Karena baju Aya telah koyak, aku terpaksa meminjam pakaian adik perempuanku tanpa izin darinya. Sementara itu, pakaian Aya kucuci. Aku tak tahu apakah pakaian ini masih berguna baginya atau tidak. Namun untuk berjaga-jaga lebih baik aku menyimpannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD