Kecurigaan

1735 Words
POV Aji Saputra Aku berjalan diatas tanah berlapis humus dan daun kering, setelah melewati trotoar di pinggir jalanan beraspal yang sepi. Aku hendak mengambil jalan pintas ke tempat yang dialamatkan oleh Kakek tua itu, tak ada satupun kendaraan yang lewat, dan hal itu sangatlah wajar di daerah terpencil seperti ini. Hari ini aku tidak masuk sekolah, meminta izin untuk menjenguk sepupuku yang sakit, tapi tentu saja semua itu bohong. Lagipula adik ayah—Om Surya belumlah menikah, untung guru-guru di sekolahku tidak terlalu mengenal keluargaku. Terlebih lagi selama ini aku tak pernah absen dari sekolah, jadi mudah saja bagiku untuk meyakinkan guru tanpa dirundung dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyebalkan. Tempatku berada kini berada sepuluh kilometer jauhnya dari pusat kota, tidak ada transportasi umum yang lewat daerah ini, karena jalur ini hanya digunakan sebagai jalur alternatif saat libur hari raya. Tanpa transportasi umum, aku bukanlah apa-apa. Tanpa SIM ataupun sepeda motor, Aku terpaksa berjalan sejauh tiga kilometer lagi. Melewati jalur perbukitan yang dinaungi lebatnya hutan pepohonan jati. Aku harus menemui orang tua itu. Karena jika tidak, nyawa gadis kuntilanak itu takkan tertolong lagi. Ingatanku melayang pada kejadian tadi pagi. Aya nyaris membunuh dirinya dengan pisau silet yang ditemukannya di wadah tempat pensilku, mencoba memutuskan kepala dari badannya. Beruntung tubuhnya terlalu lemah, silet itu hanya menggores lehernya dan membuatnya mengalirkan darah hitam beserta belatung. Aku tidak terlalu memahami kondisinya, akan tetapi ada satu hal yang kumengerti. Tubuhnya mengalami pembusukan, hal itu seharusnya tidak terjadi. Paku Puntianak pemberian kakek tua itu tak mungkin gagal mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya. Aku teringat wajah Aya yang tersenyum getir ketika berkata bahwa jika paku puntianak yang di dalam tubuhnya mungkin saja palsu, akan tetapi aku tak mungkin mencabutnya. Karena hal itu mungkin malah akan semakin membahayakannya. Sebelum berangkat aku terpaksa mengunci Aya dikamarku dan mengambil barang-barang yang mungkin bisa digunakannya untuk membunuh dirinya. Aku terpaksa melakukan tindak pencegahan meskipun aku tak bisa menghilangkan rasa bersalahku karena meninggalkannya sendirian. "Pim... Pim..." Aku tersadar dari lamunanku, entah seberapa jauh aku berjalan. Tak jauh di depanku, sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Aku mencoba tak menghiraukan mobil itu, sampai kemudian jendela mobil terbuka, menampakkan sesosok bapak-bapak paruh baya dengan kumis dan jambang. "Maaf, permisi dik, adik mau ke tempatnya Mbah Slamet?" Dahiku berkerut penuh curiga, tahu darimana bapak ini kalau aku akan kesana? Apakah lelaki tua itu yang memintanya untuk menjemputku? Prediksi kematian yang membuat Kakek Slamet menyelamatkanku seharusnya sudah cukup menguatkan bukti akan kemampuan supranaturalnya. Tapi meskipun begitu, aku tetap harus berhati-hati. "Iya, saya mau pergi kesana. Ada apa memangnya pak?" "Ikut saya saja dik, kalau jalan kaki masih jauh. Ada sekitaran dua jam dan medannya menanjak" Aku terdiam, kecurigaanku masih belum hilang. Apa tujuan bapak ini kesana? Merasakan tatapan curigaku, bapak-bapak tua itu buru-buru membuka pintu mobilnya. Kulihat sepatu hitam bersih mengkilapnya terbuat dari kulit, kemeja yang menutupi perut buncit dan juga setelannya terlihat bersih, rapi, dan nampak mahal. Bapak-bapak ini pastilah orang kota, lantas untuk apa ia jauh-jauh ke tempat seperti ini? "Ah, nama saya Arman, panggil saja Pak Arman.” Jemari-jemari gempal berhiaskan cincin-cincin batu akik terulur padaku dan aku menyambutnya dengan kikuk. “Saya Aji.” “Jadi begini dik Aji. Seperti kamu, saya juga ada perlu dengan Mbah Slamet. Akan tetapi beliau hanya mengijinkan saya sowan jika saya mengajak seorang anak lelaki yang juga sedang menuju ke tempat beliau. Saya dari tadi muter terus enggak ketemu tempatnya Mbah. Sepertinya memang kalau bukan dengan nak Aji, Mbah Slamet tidak mengijinkan.” Seusai mendengarkan penjelasan itu aku bersedia masuk ke mobil milik Pak Arman, dengan persyaratan bahwa dia tidak boleh menanyakan alasanku pergi ke tempat Kakek Slamet. Setelah Pak Arman setuju, aku langsung duduk di kursi depan dan membiarkan kelenjar keringat di sekujur tubuhku beristirahat. Perjalanan penuh tanjakan dan kelokan di jalanan rusak membutuhkan waktu nyaris dua jam. Tak terdengar percakapan apapun di antara kami, hanya hening dengan suara pendingin udara yang mendesis. Pemandangan lembah dengan pohon-pohon karet seharusnya bisa kunikmati, akan tetapi pikiranku penuh oleh kekhawatiranku akan Aya. "Sebentar lagi kita sampai dik." Pandanganku yang terpaku pada kaca jendela samping, kini beralih pada kaca depan mobil. Kami mulai memasuki hutan jati lebat dengan suara lutung budeng yang bersahut-sahutan. Suasana menjadi gelap dan suram, mobil berbelok menuju sebuah jalan desa yang tak diaspal. Jalan itu hanyalah sebuah tanah datar penuh dedaunan kering yang hanya dapat dilalui oleh satu mobil. Beberapa menit setelah melewati jalan berkelok, sebuah rumah joglo tua terlihat dengan sebuah pendopo besar di sampingnya. Sementara itu halaman berumput luas membentang sampai ke badan jalan. Pak Arman memarkirkan mobil pada salah satu sudut halaman, tanpa berbicara sepatah katapun pak Arman bergegas membukakan pintu mobil untukku. Sekilas kulihat sorot matanya berkabut, mungkin karena masalah yang ingin diselesaikannya dengan bantuan Kakek Slamet amatlah pelik, begitu pikirku. Ketika kuinjakkan kakiku pada rerumputan, hidungku mendadak mencium aroma kemiri yang semerbak berada di udara, dan mataku mulai mencari-cari sumber bau yang menusuk penciumanku. Belum usai rasa keherananku akan bau kuat yang entah dari mana asalnya itu, mendadak sebuah suara terdengar lembut mendayu di telingaku. "Monggo pinarak. " Suara itu pastilah milik seorang anak kecil. Aku dan Pak Arman saling berpandangan seolah memastikan apakah kami berdua mendengarkan suara yang sama. Mendahuluiku Pak Arman langsung berjalan mendekati undakan tangga kayu menuju rumah joglo yang didesain seperti rumah panggung dengan pilar-pilar batu yang menyangganya. Sampai di dekat pintu rumah yang terbuka, sesosok gadis kecil dengan kebaya semerah darah berpadu dengan kain jarik batik berwarna cokelat muda muncul menyambut kami. Dari rambut hitam kemerahan milik gadis kecil itulah aku menyadari, dari mana bau kemiri tadi berasal. Dilihat dari wajah maupun tinggi tubuhnya, aku merasa bahwa usia gadis kecil itu mungkin sekitar sepuluh sampai dua belas tahun. Pada jam-jam sekarang ini gadis seusianya seharusnya berada di sekolah dasar. Akan tetapi aku mulai lelah bertanya-tanya, dan sepertinya mulai memaklumi keganjilan di sektiarku. Gadis kecil itu mempersilakan kami duduk di ruang tamu yang lebih tampak seperti ruang tunggu klinik dengan kursi panjang tempat orang-orang sakit menunggu diobati. Kemudian setelah memastikan kami duduk dengan nyaman, gadis kecil itu kembali masuk ke ruangan lain yang hanya tertutup oleh tirai berwarna merah. Mungkin disanalah Kakek Slamet melayani tamu-tamunya. Setelah menunggu beberapa saat, tirai itu kembali terbuka. Tapi kali ini bukan gadis kecil itu yang keluar. Melainkan seorang ibu tua dan anak laki-lakinya yang bertelanjang d**a. Kedatangan mereka diikuti oleh sosok yang kami tunggu kehadirannya. Dengan beskap hitam dan celana panjang gelap tak lupa blangkonnya, orang tua itu mengantarkan kedua tamunya sampai menuju daun pintu. Bersikap seolah tak acuh, Kakek Slamet dan tamunya bercakap dalam bahasa Jawa yang tak kupahami. Dari sorot mata kedua tamunya, nampak bahwa mereka sangat menghormati Kakek Slamet dan merasa benar-benar berterimakasih padanya. Sebelum pamit kedua tamunya itu bersimpuh, lalu segera pergi setelah tersenyum dan mengucap kata permisi dalam bahasa jawa kepada kami sebelumnya. Kain tirai terbuka untuk kedua kalinya, kali ini gadis kecil itu yang datang, membawa nampan kayu dan teko dari tanah liat diatasnya. Gadis itu tidak terlihat seperti gadis kecil seumurannya, ia terlihat seperti seorang wanita dewasa dimataku. Gerak-gerik tubuhnya, cara dia menatap kami dan gaya berbicaranya, semuanya membuatku merasa tidak sedang menghadapi seorang gadis kecil, melainkan wanita dewasa dalam bentuk seorang anak-anak. Di dekatnya, entah mengapa aku tidak bisa menurunkan kewaspadaanku dan otot-otot tubuhku tegang seolah ingin segera beranjak dari tempat ini. "Ngapunten Mbah, kula badhe nyuwun tulung.” Tanpa kusadari Pak Armin yang tadi duduk disampingku kini sudah berada di dekat Kakek Slamet, ia berjalan sambil membungkukkan badan, lalu diciumnya keriput pada punggung tangan Kakek Slamet “ Agnia! Tolong ambilkan itu." "Nggih Eyang." Mempercepat tempo berjalannya yang seperti putri keraton, gadis kecil bernama Agnia itu kembali memasuki ruangan di balik tirai setelah selesai menuangkan minuman ke dalam cangkir tanah liat. Tak sampai satu menit gadis itu kembali muncul sambil membawa sebuah kertas tua yang terikat oleh benang cokelat lusuh. "Gunakan benda ini, pasangkan di dekat pintu rumah dan jangan lupa laksanakan laku yang dulu pernah kuajarkan padamu." Kakek tua itu mengambil benda itu dari tangan Agnia, lalu menyerahkannya pada Pak Arman. Merasa sudah menyelesaikan masalah dari lelaki paruh baya itu, Kakek Slamet mendadak berjalan mendekatiku sambil menatapku dengan tatapan dingin. "Ngapunten Mbah, kita-kira berapa mahar yang harus saya berikan?" Pak Arman masih berdiri disana meski Kakek Slamet terlihat tak berkenan untuk berbicara dengannya lagi. "Berikan saja harga yang pantas. Orang kota sepertimu lebih paham soal seperti ini daripada orang sepertiku.” “Nggih mbah.” Di belakang punggung Kakek Slamet kulihat Agnia menarik ujung jas Pak Arman lalu memberi isyarat untuk meninggalkanku berdua dengan sang tuan rumah. “Dan kau, masuk!” Dengan isyarat mata, Kakek Slamet memintaku masuk ke ruangan di balik tirai. Dengan segera aku beranjak dari tempat dudukku meninggalkan minuman hangat yang perlahan menjadi dingin. Ruangan di balik tirai itu terlihat luas, meskipun remang, dengan bau asap dupa tercium dimana-mana. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah tempat duduk lesehan kayu dengan alas karpet. Benda-benda seperti dupa, tumbuhan-tumbuhan kering, dan hewan-hewan yang terawetkan berjejer memusat pada tempat duduk itu. Dari ruangan itu samar-samar aku mendengar pembicaraan Pak Arman yang memberikan uang muka pada Agnia, cucu Kakek Slamet. Sementara aku melihat ke ornamen hiasan wayang berbentuk raksasa yang tampak sedang memakan rembulan, Kakek Slamet masuk ke dalam ruangan tanpa suara. Ia menyuruhku duduk di hadapannya selagi tangannya sibuk menambahkan rempah ke dalam dupa. Otot-otot di tubuhku yang menegang perlahan melemas dan hal itu membuatku menghela nafas dalam-dalam. “Kau melakukan hal sia-sia Aji Saputra, aku tak pernah memerintahkanmu untuk mengubah kuntilanak itu menjadi manusia bukan?” Mendengar kata-kata itu otot-otot tubuhku kembali menegang, dan saat itulah aku mulai mempertanyakan keputusanku untuk mendatangi tempat ini. “Alasanku memberikan paku itu kepadamu adalah untuk memberikanmu keberanian untuk mendekati kuntilanak itu. Tak kusangka engkau malah selamat dan mengubah gadis itu menjadi manusia, wedhus!” Jantungku mendadak terasa berhenti. Jadi kakek tua ini ingin membuaku mati di tangan Aya? Tapi kenapa? “Itu semua salah Eyang sendiri bukan? Kalau saja Eyang mengijinkan Agnia mengawasi bocah itu, semuanya tak akan berakhir seperti ini.” Agnia mendadak masuk dengan membawa amplop cokelat di tangannya, senyumannya yang ramah dan anggun berubah menjadi senyum mengejek yang menyebalkan. “Ah aku belum memperkenalkan diriku kepadamu bukan bocah? Namaku adalah Agnia, Agnia Ifrit. Cucu semata wayang Kakek Slamet.” Sepasang mata cokelat itu perlahan menyala seperti api dengan tatapan sinis kepadaku. Dan dari mata itu aku bisa merasakan aura ganjil yang sama seperti saat aku melihat mata milik Aya. Sorotan mata itu, bukanlah mata milik manusia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD